Membaca Suatu Keadaan di Sebuah Desa


Aku ingin menulis kepedihan membaca keadaan sebuah desa dengan hawa panas yang membuat jiwa dan raga orang-orang yang menjajakinya sebenarnya tak tenang dengan nafasnya yang menghirup udara gersang. Sekali lagi hatiku ringkih meragukan sebuah kondisi buruk bernama kehidupan. Aku bertanya pada diri sendiri yang tak pernah menjalani keadaan yang sama, apakah benar kehidupan yang semacam ini merupakan harapan serta dapat menjamin kehidupan di masa mendatang, mendulang generasi-generasi muda dengan raga yang mumpuni setidaknya untuk tidak lemah berjalan menata kehidupan. Hatiku betul-betul teriris, kurasa ini bukanlah bentuk ketidakpedulian saja tapi ada juga campur baur perasaan pasrah memandang kehidupan dari posisi paling bawah dan di atas raga dan jiwa yang ingin tetap hidup mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Berpikir untuk menjadi mesin waktu yang sebenarnya tak setuju dengan setiap detiknya yang tak membawa perubahan. Untuk pemikiran sederhana saja mereka harus berumit-rumit ria dengan angin yang membawa ombak menyapu penghasilan rutin mereka sehari-hari. Kadang dalam wajahnya juga aku melihat kejemuan dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Tak ada rasa risih dengan lingkaran sampah-sampah hasil karya manusia. Sering kali sampah itu berlari terbawa angin, ada pula yang terbawa air ke sana ke mari hingga berujung pada kemadekan cara berpikir dalam mencari sebuah solusi. Menurutku mereka tak kekurangan lahan untuk membangun budi baik dalam menanggulangi sampah-sampah dengan cara yang benar. Hanya saja mereka memaksa untuk tidak sia-sia menunggu tangan-tangan bijak yang bersedia memberi uluran tangan. Dengan wajah bertanya-tanya mana jawaban bagi suara kami yang memilih janji? Janji yang kau semat dengan sebiji bukti. 
        Setiap malam juga dengan penerangan yang minim hidup mereka pun diburu ombak. Ombak yang terjal di setiap malam juga menghantam tembok ketakutanku yang hanya memiliki jarak sejengkal dengan debur-debur panjang yang tak menjamin kapan tibanya sebuah kematian. Pikirku yang lain mungkin dosa tak hanya dibuat oleh orang-orang dengan kesengajaan tapi juga karena tiada lagi jalan untuk keluar dari keterbatasan ruang yang sempit hingga tak pernah maju selangkah lebih baik. Tak ada yang janggal karena di beberapa hari, aku sudah mengamati berkali-kali cara mereka mencoba terbiasa. Tapi sesungguhnya hatiku ingin sekali berontak dari jiwaku yang tetap diam menahan pertanyaan kapan semua akan berubah? Karena jujur saja ketakutan terbesarku adalah jika suatu hari desa itu tenggalam bersama keadaan yang terus menerus seperti itu. 

Komentar

Postingan Populer