Landasan Sosial-Budaya dalam Bimbingan dan Konseling

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
       Sebagai mahkluk sosial (zoon politicon) manusia tidak pernah hidup seorang diri, kapanpun dan dimanapun manusia hidup selalu membentuk kelompok atau koloni yang terdiri dari sejumlah anggota guna membangun kehidupan dalam segala bidang baik itu kesehatan atau keselamatan, ekonomi, politik dan sosial-budaya.
        Dalam kehidupan berkelompok itu manusia harus, mengembangkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai anggota demi ketertiban dan terjaganya pergaulan sosial bagi diri mereka. Ketentuan-ketentuan itu biasanya berupa perangkat nilai, norma-norma sosial maupun pandangan hidup yang terpadu dengan sistem budaya yang berfungsi sebagai rujukan hidup para pendukungnya. Seluruh pengaruh unsur-unsur sosial-budaya yang sama cenderung memiliki unsur subjektif yang sama. Demikian juga individu-individu yang berasal dari latarbelakang budaya berbeda cenderung memiliki perspektif dan cara yang berbeda dalam menyikapi berbagai hal yang dihadapinya. Apabila perbedaan tersebut tidak mampu dijembatani dengan baik, maka hal itu akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan sikap tidak saling menyukai yang dapat menghambat terciptanya sebuah kesepakatan.
       Bimbingan dan Konseling muncul sebagai upaya memberikan layanan kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok melalui proses inti terjalinnya komunikasi antara konselor dan juga konseli yang memiliki sifat antar budaya, yaitu berasal dari latarbelakang budaya yang berbeda sehingga sangat peka terhadap pengaruh dari sumber-sumber hambatan komunikasi. Perbedaan latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa yang menyangkut budaya menimbulkan masalah dalam hubungan konseling. Selain itu, arus modernisasi di samping memiliki dampak positif, seperti diperoleh kemudahan dalam bidang komunikasi dan transportasi disisi lain ternyata juga telah melahirkan dampak yang buruk atau negatif, yaitu dengan menggejalanya problema yang semakin kompleks, baik itu bersifat personal maupun kelompok atau sosial.
       Kehidupan yang terlalu berorientasi kepada kemajuan dalam bidang material (pemenuhan kebutuhan biologis telah menelantarkan supra empiris manusia, sehingga terjadi pemiskinan rohaniyah dalam dirinya. Kondisi ini sangat kondusif bagi perkembangan masalah-masalah pribadi dan juga sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang baik, seperti: perasaan cemas, stress, dan perasaan terasing, serta terjadinya penyimpangan moral atau sistem nilai dan norma. Masalah lain sebagai dampak negatif dari kehidupan modern ini adalah semakin kompleksnya jenis-jenis dan syarat-syarat pekerjaan, jenis dan pola kehidupan, jenis dan kesempatan pendidikan, persaingan antarindividu, dan sebagainya. Dengan demikian individu dituntut untuk lebih mampu menghadapi berbagai masalah seperti masalah penyesuaian diri, pemilihan pekerjaan, perencanaan dan pemilihan pendidikan, hungan sosial, keluarga, keuangan dan masalah pribadi.
       Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika ada sebagian individu dapat berhasil dengan sebaik-baiknya dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Namun dalam hal ini individu tertentu perlu mendapatkan bantuan yang memadai dalam bentuk pelayanan untuk mengatasi tentangan yang ditimbulkan oleh masalah-masalah atau persoalan. Selama ini sekolah tidak dapat melepaskan diri dari situasi kehidupan masyarakat dan mempunyai tanggung jawab untuk membantu para siswa atau peserta didik baik sebagai pribadi, maupun sebagai calon masyarakat. Sebagai suatu lembaga pendidikan formal, sekolah bertanggung jawab untuk mendidik dan menyiapkan siswa agar berhasil menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat dan mampu memecahkan masalah yang akan dihadapinya. Rutinitas belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang berlangsung di sekolah, namun sesungguhnya kegiatan itu belum cukup memadai dalam menyiapkan siswa berhasil terjun di masyarakat. Oleh karena itu sekolah hendaknya memberikan bantuan secara pribadi kepada siswa dalam memecahkan masalahnya dan membantu agar apa yang mereka terima di sekolah menjadi bekal untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri. Dalam situasi inilah bimbingan dan konseling akan terasa diperlukan sebagai suatu bentuk bantuan kepada siswa. Program bimbingan dan konseling membantu siswa untuk mencapai keberhasilan program pendidikan pada umumnya.

2. Masalah

2.1. Rumusan Masalah
Atas dasar batasan masalah yang telah kami rangkum, masalah yang telah kami rumuskan adalah sebagai berikut: 
1.) Apa yang dimaksud landasan sosial-budaya dalam bimbingan dan konseling?
2.) Apa saja faktor-faktor sosial-budaya yang menimbulkan kebutuhan akan bimbingan dan konseling?
3.) Apa saja permasalahan yang terjadi dalam landasan sosial-budaya bimbingan dan konseling?
4.) Apa solusi dari permasalahan yang terjadi dalam landasan sosial-budaya? 

3. Tujuan
        Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan landasan sosial-budaya dan implikasinya dalam pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, khususnya dalam bimbingan dan konseling antar budaya. 

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
 
1. Pengertian Landasan Sosial-Budaya dalam Bimbingan dan Konseling
       Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi keudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup. Sejak lahir seseorang sudah dididik dan diajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada disekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan seseorang tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam pembentukan perilaku dan kepribadian yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani” dengan baik, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan kehidupan pribadi dan sosialnya.
       Landasan sosial-budaya menunjukkan pentingnya gambaran aspek-aspek sosial-budaya yang mewarnai kehidupan seseorang. Aspek sosial-budaya inilah yang membentuk individu selain dari faktor pembawaan, tepatlah jika landasan ini menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.

2. Faktor-faktor Landasan Sosial-Budaya Penyebab Timbulnya Kebutuhan akan Bimbingan dan Konseling
         Kebutuhan akan bimbingan dan konseling timbul karena adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh individu yang terlibat dalam kehidupan masyarakat. Semakin rumit struktur masyarakat dan keadaannya, semakit banyak dan rumit pulalah masalah yang dihadapi oleh individu yang terdapat dalam masyarakat. Kebutuhan akan bimbingan dan konseling akan timbul karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Menurut (John J. Pietrofesa dkk., 1980; M. Surya & Rochman N., 1986; dan Rochman N., 1987). 

a. Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial-Budaya
       Pesatnya arus globalisasi dan perkembangan jaman disamping berdampak positif, tetapi juga melahirkan dampak yang kurang menguntungkan, yakni dengan menggejalanya berbagai problema yang semakin kompleks, baik yang bersifat personal maupun sosial. Kondisi ini ternyata sangat kondusif bagi berkembangnya masalah-masalah pribadi dan sosial yang terekspresikan dalam suasana psikologis yang kurang nyaman seperti perasaan cemas, stres dan perasaan terasing serta penyimpangan moral atau sistem nilai. Masalah lain sebagai dampak negatif dari kehidupan modern adalah semakin beragamnya jenis-jenis dan syarat pekerjaan, pola kehidupan, kesempatan, persaingan individu dan sebagainya. Dengan demikian individu semakin dituntut untuk lebih mampu mengahadapi berbagai masalah-masalah seperti, penyesuaian diri, pemilihan pekerjaan, masalah sosial dan masalah pribadi. Dalam hal ini individu tentu perlu mendapatkan bantuan yang memadai dalam usaha setiap tantangan yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapinya. Manusia hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan beranekaragam budaya dengan lingkungan sosial yang beranekaragam pula. Perbedan itu bisa menimbulkan subjektifitas budaya sehingga akan berpengaruh pada upaya pemberian bantuan (bimbingan dan konseling).
       Proses bimbingan dan konseling merupakan proses komunikasi dan pemecahan masalah antara konselor dan konseli. Proses konseling yang bersifat antar budaya (konselor dan konseli dari budaya yang berbeda) sangat peka terhadap pengaruh dan sumber-sumber hambatan komunikasi seperti bahasa dan lain sebagainya. Perbedaan latar belakang ras atau etnis, kelas sosial ekonomi dan bahasa biasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling. Oleh karena itu seorang konselor harus bisa menjaga netralitas sosial-budaya dalam memberikan bantuan bimbingan dan konseling.

b. Perubahan Konstelasi Keluarga
        Pada tahun 1970 keluarga di Amerika mengalami perubahan yang cukup berarti, seperti: melemahnya otoritas pria (suami), meningkatnya tuntutan kesamaan hak bagi kaum perempuan, dan meretaknya kedekatan hubungan antar anggota keluarga. Masalah-masalah tersebut diikuti oleh permasalahan lain yaitu semakin meningkatnya angka perceraian dari tahun 1970 sampai tahun 1980-an, dan kecenderungan pola orang tua tunggal (one/single-parent) dan suatu kelurga. Suatu artikel yang berjudul “Typical American Famili-A Vinishing Institution” menyimpulkan hasil penelitiannya dan sejumlah pemikiran dari para ahli nasional tentang keluarga yan isisnya sebagai berikut:
1) Anak-anak diasuh secara berbeda dan sering dilakukan oleh orang luar (outsiders).
2) Ibu merasa dihantui oleh perasaan bersalah pada saat meninggalkan anak-anaknya untuk pergi bekerja.
3) Perceraian dan masalah lain yang menyertai terus meningkat.
4) Keluarga kehilangan fungsi ekonomi, karena kaum perempuan menjadi lebih mandiri dalam bidang finansial (perempuan banyak yang bekerja dan berkarir)
5) Pasangan suami-isteri cenderung kurang berminat untuk mempunyai anak (penundaan memiliki anak karena alasan tertentu)
Masalah lain yang menerpa keluarga di Amerika sebagai berikut:
1) Meningkatnya pelecehan seksual terhadap anak-anak yang disetimasi mulai 5% sampai 15% dari penduduk Amereika. Tindak pelecehan melibatkan para anggota keluarga atau orang-orang yang dikenal oleh keluarga. Dalam banyak kasus pelecehan dipicu oleh suatu masalah seperti: minuman keras, ketidakberfungsian keluarga dan ekonomi yang murat-marit.
2) Masalah pemukulan terhadap isteri merupakan peristiwa yang cukup sering terjadi dalam keluarga. Kasus ini diperkirakan terjadi sekitar satu juta peristiwa dalam satu tahunnya.
3) Banyak Orangtua yang datang pada konselor untuk mendiskusikan kesulitannya dalam berkomunikasi dengan anak. Dan masalah penyimpangan yang dilakukan oleh anak seperti penyalahgunaan obat terlarang dan minum minuman keras.
Terkait dengan masalah disfungsional keluarga, Stephen R. Covey (1997) mengemukakan kejadian sekitar 30 tahun yang lalu tentang perubahan situasi keluarga yang sangat kuat dan dramatis, peistiwa tersebut sebagai berikut:
1) Angka kelahiran anak yang tidak sah meningkat menjadi 400%.
2) Persentase orangtua tunggal (single parent) telah berlipat ganda.
3) Angka perceraian yang terjadi telah berlipat ganda, banyak pernukahan yang berakhir pada perceraian.
4) Peristiwa bunuh diri di kalangan remaja meningkat sekitar 300%.
5) Skor tes bakat skolastik para siswa turun sekitar 73 butir.
6) Masalah nomor satu para wanita Amerika pada saat itu adalah tindakan kekerasan (pemerkosaan). Sekitar empat juta wanita telah mendapat perlakuan kasar dari pasangannya.
7) Seperempat remaja yang melakukan hubungan seksual terkena penyakit kelamin sebelum menamatkan sekolahnya di Sekolah Menengah Atas.
        Ketidakberfungsian keluarga melahirkan dampak negatif bagi kehidupan moralitas anak mendapatkan perhatian dari organisasi wanita se-Asia Pasifik (Pan Pasific South East Asia Women's Association atau “PPSEAWA”) yaitu dengan adanya konferensi yang ke-20 di Kuala Lumpur Malaysia yang menyimpulkan bahwa “Kerusakan yang terjadi dalam keluarga di abad ke-20 semakin buruk. Perceraian dan perpisahan nyata-nyata menempati posisi tinggi. Diperkirakan 40-50% generasi mendatang akan menjadi keluarga broken home, akibat perceraian kedua orangtua dan pada akhirnya mereka hanya bisa memiliki satu orangtua saja atau orangtua tunggal (single parent). Oleh karenanya tidak perlu kaget apabila seringkali terjadi kenakalan remaja pada anak-anak, remaja tentang kekerasan, tindak kriminal yang semakin mewabah, juga ketergantungan para pemuda pada obat-obatan terlarang yang tidak dapat terkontrol di sebagian besar negara di dunia ini (Suara pembaharuan: 27 November 1997).
       Senada dengan pernyataan di atas, Kartini Kartono (Pikiran Rakyat, 11-12-1995) mengemukakan bahwa pesatnya arus globalisasi telah berpengaruh pada kehidupan keluarga menjadi atomistik dan cenderung mengecilkan keutuhan keluarga. Di masyarakat modern, baik ayah ataupun ibu masing-masing sibuk mencari nafkah, bekerja atau mengejar karir, sedangkan anak-anak sekolah, mencari kawan seusianya, bereksperimen, serta mencari pengalaman. Keadan ini menyebabkan komunikasi diantara mereka (orangtua dan anak) menjadi sangat longgar dan tidak intim, bersifat formalistik dan sekilas. Anak-anak tidak punya kesmpatan untuk berdialog dengan orangtua secara akrab dan terbuka. Masing-masing anggota dalam satu keluarga akhirnya banyak yang merasa kesepian, tidak punya kawan bicara, dan merasa terabaikan. Menurunya fungsi-fungsi komunikasi dalam keluarga terutama pada anak dan orangtua menyebabkan merosotnya prestasi pendidikan anak usia sekolah dan meningkatnya kasus kenakalan remaja yang mengarah pada brutalitas serta sadisme terutama di kota-kota besar yang lebih sering terpengaruh arus globalisasi. Jadi disini keluarga sangat berperan dalam menentukan pembentukan watak, kebiasaan hidup, dan kepribadian anak.
         Kecenderungan gambaran kehidupan keluarga di atas, sangat tidak diharapkan, karena bagaimanapun keadaan keluarga sangat berpengaruh pada kehidupan masyarat dan kehidupan masyarakat sangat berpengaruh dalam membangun bangsa dan negara. Kestabilan, keharmonisan keluarga yang diwarnai dengan nilai-nilai agama akan melahirkan pemuda-pemudi yang berakhlak mulia dan berdampak pula pada kehidupan masyarakat yang harmonis. Namun jika yang terjadi sebaliknya maka, malapetaka akan menimpa hubungan anggota keluarga, masyarakat pada umumnya juga bangsa dan negara. Untuk memelihara keutuhan dan keharmonisan hubungan keluarga memang tidaklah mudah, karena banyak sekali faktor yang turut mempengaruhinya, baik itu faktor bersifat internal (yakni keluarga itu sendiri) maupun faktor eksternal. Ketidaksiapan dan ketidakmampuan keluarga dalam menghadapi faktor-faktor tersebut menjerumuskannya pada lembah keretakan yang berujung pada perceraian dan ketidakberfungsian keluarga,
       Faktor Internal terkait dengan sikap serta perlakuan orangtua, atau ketidakberfungsian keluarga. Djawad Dahlan (1989) mengemukakan bahwa termanifestasikannya rasa cinta dalam tingkah laku setiap anggota keluarga yang tanpa pamrih akan dirasakan oleh anak atau anak didik sebagai contoh teladan dari orangtua yang memberi arti bagi kehidupan pribadi anak yang mandiri. Keluarga akan memperlihatkan pamornya sehingga anak akan merasa aman hidup bersama orang tua yang berwibawa. Yaumil C. Akhir (Djuriah M. Utja, 1995) dalam membahas fungsi keluarga, mengemukakan bahwa terdapat beberapa fungsi keluarga yaitu: (a) funsi keagamaan, (b) fungsi sosial-budaya, (c) fungsi cinta kasih, (d) fungsi perlindungan, (e) fungsi reproduksi, (f) fungsi sosialisasi dan pendidikan, (g) fungsi ekonomi, dan (h) fungsi pembinaan lingkungan.
Keluarga yang fungsional (normal) memiliki tanda-tanda dan ciri-ciri sebagi berikut:
1) Saling memperhatikan dan mencintai
2) Bersikap terbuka dan jujur
3) Orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan mengakui pengalamannya.
4) Ada sharing masalah diantara anggota keluarga
5) Mampu berjuang mengatasi masalah kehidupannya
6) Saling menyesuaikan diri (beradaptasi) dang mengakomodasi
7) Orangtua mengayomi atau melindungi anak-anak
8) Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik
9) Keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya.
10) Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadinya
Apabila suatu keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi di atas dengan baik, maka dalam keluarga tersebut berkembang situasi kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah dan para anggota keluarganya akan memiliki sikap saling mengasihi, mencitai dan saling bahu-membahu (membantu).
Sementara keluarga yang disfungsional (tidak normal) akan ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Adanya pengekangan dorongan dan penindasan perasaan.
2) Mengalami kematian emosional, dingin dalam pergaulan, kurang adanya kehangatan dan persahabatan dalam jalinan hubungan, kemuramam dan kesedihan akan terus terjadi.
3) Kurang bisa beradaptasi dengan perubahan keadaan.
4) Tidak berfungsinya struktur keluarga.
Bagi keluarga yang mengalami disfungsional seperti diatas, seringkali dihadapkan kepada kebuntuan dan kesulitan mencari jalan keluar dan pemecahan masalah yang dihadapinya. Sehingga jika tidak mendapat antuan dari luar maka masalah yang dihadapi akan semakin parah. Salah satu bantuan yang memfasilitasi keluarga dalam pemecahan masalah adalah layanan konseling keluarga (family conseling) yang diberikan oleh konselor profesional.

c. Perkembangan Pendidikan
       Demokrasi di bidang kenegaraan menyebabkan demokratisasi dalam bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Hal ini berarti pemberian kesempatan pada setiap orang untuk menikmati pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun badan swasta dalam suatu negara. Oleh karena kesempatan yang terbuka ini menyebabkan berkumpulnya murid-murid dari beberapa kalangan yang berbeda latar belakang (agama, etnis, keadaan sosial, adat-istiadat dan ekonomi). Hal semacam ini menimbulkan bertumpuknya masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang terlibat dalam kelompok campuran itu. Tidak sedikit konflik dan masalah yang terjadi. Kelompok tersebut terdiri atas orang yang mulanya tidak hendak bersatu, sedangkan kesempatan terbuka memaksa mereka bergaul bersama. Hal ini menyebabkan kelompok kecil yang berusaha memisahkan diri dari kelompok besar dan menambah runcingnya pertentangan sehingga memerlukan pemecahan masalah yang sungguh-sungguh. Pemecahan dapat dilaksanakan dengan bimbingan bagi anggota kelompok (murid sekolah). Pada tahun 1970 terjadi perubahan yang dramatis di sekolah-sekolah negeri di Amerika yaitu meningkatnya perhatian terhadap penuntasan keterampilan belajar yang fundamental seperti (membaca, menulis, berbicara, dan aritmatik/matematika).
Akibat dari pelaksanaan falsafah demokrasi dan perkembangan teknologi, program pendidikan harus disesuaikan dan dikembangkan dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Perkembangan pendidikan tampak dalam tiga arah yakni arah meninggi, meluas, dan mendalam.
       Arah meninggi tampak dalam bertambahnya kesempatan dan kemungkinan bagi murid untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan bimbingan murid-murid untuk memilih sekolah lanjutan yang paling tepat sesuai dengan kemampuan murid. Arah meluas tampak dalam pembagian sekolah dalam berbagai jurusan khusus dan sekolah kejuruan, yaitu kebutuhan akan bimbingan untuk memilih jurusan yang khusus sesuai bidang studi yang tepat bagi murid. Dan arah mendalam tampak dalam berkembangnya ruang lingkup dan keragaman disertai pertumbuhan tingkat kerumitan bidang studi yaitu masalah bagi murid untuk mendalami bidang studi dengan tekun.

d. Dunia Kerja
       Dewasa ini, masalah karir menjadi komponen layanan bimbingan yang lebih penting dibandingkan masa sebelumnya. Fenomena ini disebabkan oleh adanya perubahan dalam dunia kerja terutama di tahun 1970-an. Perubahan itu diantaranya sebagai berikut:
1) Semakin berkurangnya kebutuhan terhadap para pekerja yang tidak memiliki keterampilan.
2) Meningkatnya kebutuhan terhadap para pekerja yang profesional dan memiliki keterampilan teknik.
3) Berkembangnya berbagai jenis pekerjaan sebagai dampak dari penerapan teknologi maju.
4) Berkembangnya perindustrian di berbagai daerah.
5) Berbagai jenis pekerjaan yang baru memerlukan cara-cara pelayanan yang baru.
6) Semakin bertambahnya jumlah para pekerja yang masih berusia muda dalam dunia kerja.

e. Perkembangan Kota Metropolitan
        Situasi seperti diatas membuat kemungkinan akan lebih buruk lagi di masa depan yang disebabkan oleh kecenderungan semakin tumbuhnya kota-kota di abad ke-21 dan akan semakin diperparah dengan meledaknya arus urbanisasi. Sehubungan dengan hal ini, Saeful Dullah (Potret Pertumbuhan Kota di abad ke-21, Pikiran Rakyat, 14-9-1996) yang merupakan dampak buruk dari pertumbuhan kota dikemukakan sebagai berikut:
1) Umumnya migrasi orang desa ke kota di negara berkemang lebih banyak dimotivasu dengan niat untuk “mengadu nasib”, ketimbang untuk “memenuhi kebutuhan pekerjaan” sebagaimana banyak hal yang terjadi dalam proses urbanisasi di negara-negara industri pada abad ke-19.
2) Tidak mengherankan apabila masalah pengangguran dan kemiskinan dengan segala akibat sosial yang ditimbulkannya diproyeksikan akan semakin menjadi masalah yang serius bagi sejumlah kota besar di negara berkembang.
3) Keadaan akan semakin serius karena banyaknya tenaga kerja dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak memenuhi kebutuhan lapangan kerja di kota
4) Masalah pemukiman yang ditandai dengan menjamurnya pendirian rumah gubuk yang ilegal atau tidak memiliki sama sekali tempat berlindung, merupakan masalah pelik lain yang akan membuat lingkungan semakin buruk yaitu di kota-kota besar di negara berkembang.
5) Masalah lain adalah terbatasnya kemampuan penyediaan air bersih dibandingkan jumlah permintaan kebutuhan. Ironisnya penduduk miskin kota terpaksa harus membeli air jauh lebih mahal daripada mereka yang berbeda pada kelas menengah ke atas.
6) Yang paling menyedihkan lagi adalah bahwa Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2000, setiap tahunnya tidak kurang dari 5 juta anak akan meninggal akibat lingkungan yang semakin buruk.
Kondisi seperti di atas, akan menjadi malapetaka kehidupan menyangkut masalah-masalah psikologis seperti gejala “maladjustment” dan “ pathologic” (gangguan jiwa dan sakit jiwa). Gangguan jiwa merupakan gambaran khas sebuah kota metropolitan yang diperkirakan angkanya akan semakin membesar setiap tahunnya. “perkembangan metropolitan yang cepat, lengkap dengan berbagai masalahnya sering tak mampu diadaptasi masyarakat dengan baik, sehingga memicu timbulnya ketegangan. Menurut Dr. Yusmansyah Idris, Sp.Kj. (Republika, 12-12-03) masalah kesehatan jiwa di Indonesia menduduki urutan kedua setelah penyakit menular ditengah-tengah masyarakat yang mencapai 22%, sedangkan masalah kesehatan bberkisar 10-15% dari total penduduk 210 juta jiwa. Menurutnyaa 3/1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa ringan (seperti cemas, gelisah dan depresi).

f. Perkembangan Komunikasi
       Dampak media massa (terutama televisi) terhadap kehidupan manusia sangat besar. Televisi telah menjadi pusat hiburan bagi keluarga. Anak-anak juga para remaja rata-rata menghabiskan waktu tiap hari sekitar 6 jam untuk menonton televisi. Propaganda atau iklan di televisi telah menebalkan sikap konsumerisme masyarakat. Disamping itu program-program yang ditayangkan sedikit merusak nilai-nilai pendidikan karena adanya adegan kekerasan, mistik dan a moral. Hal ini sangat penting bagi orangtua untuk membimbing anak dalam mengembangkan kemampuan anak untuk menilai setiap tayangan yang ditonton secara kritis, Dalam hal ini layanan bimbingan memfasilitasi berkembangnya kemampuan anak dalam mengambil keputusan.

g. Seksisme dan Rasisme
       Seksisme merupakan paham yang mengunggulkan salah satu jenis kelamin dari jenis kelamin lainnya. Sementara rasisme merupakan paham yang mengunggulkan ras yang satu dari ras lainnya. Di Amerika , seksisme masih merupakan fenomena umum dikalangan masyarakat. Fenomena ini nampak dari sikap orang tua yang masih memegang budaya tradisional dalam pemilihan karir bagi anak wanita, membatasi atau tidak memberikan kebebasan kepada anak wanita untuk memilih karir yang diminatinya. Berdasarkan persoalan itu, maka program bimbingan mempunyai peranan penting dalam upaya membantu orangtua agar memiliki pemahaman bahwa wanita memiliki peluang yang sama dengan anak laki-laki dalam memilih karir yang diminati.
       Rasisme masih menyelimuti iklim kehidupan masyarakat Amerika. Selama tahun 1978-1979 para pemimpin kulit hitam sudah bersikap apatis dalam melawan perlakuan diskriminatif (rasisme) terhadap mereka. Perlakuan diskriminatif (rasisme) berupa seperti adanya pembatasan pemberian kesempatan bekerja pada kalangan muda kulit hitam yang menyebabkan sekitar 25% kalangan muda kulit hitam menjadi pengangguran.

h. Kesehatan Mental
       Masalah kesehatan mental di Amerika Serikat ternyata semakin marak, dan tidak dapat dihentikan. Data tentang ini dilaporkan oleh Coleman yang melakukan survey pada tahun 1974, yang menunjukkan bahwa:
a) 10 juta orang Amerika mengalami gangguan jiwa (neurotik).
b) dua juta orang mengalami sakit jiwa (psikosis), 200.000 orang atau lebih mencoba melakukan bunuh diri.
c) empat juta orang atau lebih memiliki kepribadian anti sosial.
d) 1,5 juta remaja atau orang dewasa melakukan kejahatan yang serius..
e) 500.000 orang berurusan dengan lembaga-lembaga pengadilan.
f) sembilan juta orang kecanduan minuman keras (alkohol).
g) satu juta orang atau lebih menyalahgunakan obat-obatan terlarang, dan
h) 5,5 juta anak-anak dan orang dewasa mengalami gangguan emosional.
Terkait masalah ini, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga perusahaan dituntut untuk menyelenggarakan program layanan bimbingan dan konseling dalam upaya mengembangkan mental yang sehat dan mencegah serta menyemuhkan mental yang kurang atau tidak sehat.

i. Perkembangan Teknologi
       Dengan perkembangan teknologi yang pesat, timbul dua masalah penting yang menyebabkan kerumitan struktur dan keadaan masyarakat yaitu: (1) penggantian sebagian tenaga kerja dengan alat mekanis-elektronik dan hal ini menyebabkan pengangguran karena tenaga kerja sudah tidak terlalu dibutuhkan, (2) bertambahnya jenis-jenis pekerjaan dan jabatan baru yang menghendaki keahlian khusus dan memerlukan pendidikan khusus pula bagi orang yang hendak menjabatnya. Kedua masalah ini timbul bagi orang yang bersangkutan terutama murid-murid sekolah untuk mendapatkan pengetahuan tentang pilihan jabatan dan cara memilihnya dengan tepat. Dan merupakan kebutuhan mereka bagi yang mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan dari orang lain atau badan berwenang untuk memecahkannya. Disinilah bimbingan itu akan terasa sangat dibutuhkan.

j. Kondisi Moral dan Keagamaan
       Kebebasan menganut agama sesuai keyakinan masing-masing individu menyebabkan setiap individu berpikir dan menilai agama yang dianutnya. Penilaian terkadang berdasarkan nilai-nilai moral umum yang dianggap paling baik dan hal semacam ini kadang menimbulkan keraguan akan kepercayaan yang diwarisi orangtua mereka. Pada saat itulah, terutama para kaum muda memberikan penilaian terhadap keyakinan agama itu sendiri didasarkan atas kesenangan pribadi yang akan membawa kepada perasaan tertekan oleh norma-norma agama ataupun nilai moral yang dianut oleh orangtua dan masyarakat lingkungan sekitarnya. Perbandingan akan tampak antara norma agama dari orangtua dan masyarakat sekitar dengan norma yang telah diciptakan oleh kelompok mereka sendiri. Dengan begitu pilihan-pilihan yang sulit akan dihadapi mereka dan membuat penentuan adalah hal yang tidak mudah bagi mereka. Makin sulit ragam ukuran penilaian maka, makin besar pula konflik yang dihadapi individu yang bersangkutan dan kebutuhan akan bimbingan adalah hal yang baik untuk menanggulanginya.

k. Kondisi Sosial Ekonomi
       Perbedaan yang besar dalam faktor ekonomi antara kelompok campuran menimbulkan masalah yang berat yang sangat dirasakan oleh individu yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Di kalangan mereka, terutama anak-anak tidak mustahil akan timbul kecemburuan sosial, perasaan rendah diri dan tidak nyaman bergaul serta perasaan asing dan merasa ada jurang perbedaan dari kelompok atau kalangan orang-orang kaya. Untuk menanggulangi masalah ini memerlukan adanya bimbingan, baik terhadap mereka yang datang dari golongan tidak mampu maupun sebaliknya.

3. Permasalahan yang Tejadi dalam Landasan Sosial-Budaya
       Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003), mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuaian diri antar budaya yaitu:

a. Perbedaan Bahasa
       Dalam perbedaan bahasa ini dapat menimbulkan permasalahan yang terjadi dalam bimbingan dan konseling yaitu ketiadaaan penguasaan bahasa asing yang dipakai oleh konselor atau guru pembimbing dalam proses konseling dengan latar budaya berbeda akan menyebabkan komunikasi dapat berhenti sama sekali atau tersendat-sendat yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman.

b. Komunikasi Non-Verbal
       Dalam menggunakan bahasa non-verbalpun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat dan tanda-tanda yang sama dalam bahasa non-verbal lainnya yang tidak banyak menolong, bahkan seringkali isyarat dan tanda-tanda yang sama dalam bahasaa non-verbal memiliki arti berbeda-beda bahkan bertentangan dalam budaya dan dalam melakukan konseling. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan dalam bimbingan dan konseling yaitu masih adanya konselor atau guru yang kurang memahami bahasa non-verbal konseli atau murid yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Hal ini menyebabkan sulitnya mengetahui penanganan apa yang dapat membantu menyelesaikan permasalahannya.

c. Stereotipe
       Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subjektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan yaitu menyebabkan seorang konselor memandang sesuatu (khususnya orang lain) menurut kemauan orang yang memandangnya berdasarkan anggapan-anggapan yang sudah tertanam pada dirinya dan orang tersebut biasanya tidak mau menerima kenyataan-kenyataan yang berbeda dari anggapannya sehingga mempersulit proses konseling berjalan dengan baik.

d. Kecenderungan Menilai
     Penilaian terhadap orang lain memang sering dilakukan oleh individu-individu yang melakukan komunikasi. Kecenderungan menilai ini baik yang menghasilkan penilaian positif maupun negatif, seringkali didasarkan pada standar objektif, dan sering pula merangsang timbulnya reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dari pihak-pihak yang menilai. Masih banyaknya guru-guru pembimbing ataupun guru-guru BK yang menghadapi siswanya yang melakukan kesalahan kemudian langsung memberikan penilaian terhadap siswa tersebut tanpa mencari tahu apa penyebab permasalahan itu timbul. Membuat guru tersebut sebenarnya tidak paham dimana letak kesalahan yang membuat siswa itu memiliki permasalahan.

e. Kecemasan
       Sumber hambatan komunikasi dan penyesuaian yang lain ialah kecemasan yang ada pada pihak-pihak yang berinteraksi dalam suasana antarbudaya. Kecemasan muncul ketika seseorang individu memasuki budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antarbudaya dapat menyebabkan dia tidak tahu sama sekali, dimana dan kapan ia harus berbuat sesuatu. Pada saat melakukan proses konseling masih ada konselor yang mengalami kecemasan karena hambatan komunikasi dan penyesuaian dengan kliennya yang berbeda latar belakang budaya sehingga proses konseling akan berjalan kaku tanpa komunikasi yang lancar.

4. Solusi dari Permasalahan-Permasalahan yang Terjadi dalam Landasan Sosial-Budaya
      Solusi utama dari permasalahan yang terjadi dalam landasan sosial-budaya yaitu dengan adanya konseling profesional yang bersifat antarbudaya atau bahkan multibudaya yang merupakan kebutuhan yang amat mendesak bagi terselenggaranya pelayanan yang etis dan hal ini merupakan bagian yang integral dari tugas profesional bimbingan dan konseling. Selain itu, meskipun agaknya tidak mungkin mengharapkan sebagian besar konselor memiliki keakraban dan keterampilan yang tinggi terhadap spektrum sosial-budaya yang luas dan berbeda-beda, adalah tetap dimungkinkan, dan bahkan menjadi kewajiban kita, untuk menekankan (kepada seluruh konselor) penting dan perlunya sikap menghargai dan menjadi pertimbangan utama segenap aspek lingkungan sosial-budaya yang unik dan berpengaruh terhadap tingkah laku klien.
       Tuntutan tentang kompetensi konselor di atas membawa implikasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor untuk menghilangkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam landasan sosial-budaya. Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) oleh konselor perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial-budaya klien yang berbeda-beda. Hal ini merupakan solusi kedua agar para konselor dan guru pembimbing mengetahui secara mendalam tentang berbagai unsur konseling antarbudaya.

BAB III
PENUTUP
 
1. Kesimpulan
       Karakteristik sosial-budaya masyarakat yang majemuk tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia terutama di Indonesia, karena kita sebagai warga negara Indonesia harus berakar pada budaya bangsa sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling harus dilandasi oleh pertimbangan keanekaragaman sosial-budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial-budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju. Landasan sosial budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu yang pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Latar belakang sosial yang berbeda itu tidak dapat disamaratakan penanganannya, karena masalah yang datang dari satu individu dengan individu lainnya sudah pasti berbeda sesuai apa yang sedang ia hadapi. Akar budaya asli yang sekarang masih hidup dan memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat yang berbudaya asli itu patut, dikenali, dihargai dan dijadikan pertimbangan utama dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Hal yang semestinya menjadi tanggung jawab para konselor baik yang ada di bawah naungan lembaga pendidikan maupun tidak, di seluruh tanah air.

2. Saran
       Dalam makalah kami yang berjudul “Landasan Sosial-Budaya dalam Bimbingan dan Konseling, tentunya banyak sekali kekeliruan yang tanpa sengaja dilakukan kami sebagai penulis, maka dari itu kami berharap kepada dosen pendamping maupun para pembaca untuk dapat memberi kritik dan saran yang membangun, sebagai evaluasi penulis, agar kedepan mampu menulis, makalah maupun karya ilmiah yang lebih baik lagi, dan tidaak mengulang kesalahan serupa pada tulisan kami. 

DAFTAR PUSTAKA
 
Pietrofesa, J.J. et.al. (1980). Guidance An Intrduction. Chicago Rand McNally College Publishing Company.
Prayitno dan Amti, Erman. (2003). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Depdikbud.
Surya, M. dan Natawidjaja, Rochman. (1986). Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Yusuf, Syamsu., dan Nurihsan, A. Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://umiaeesyah.blogspot.co.id/2013/12/landasan-sosial-budaya-dalam bimbingan.html?m=1

Komentar

Postingan Populer