Pengaruh Filsafat Bahasa Terhadap Linguistik
IKHTISAR FILSAFAT BAHASA
BAB 8
(PENGARUH FILSAFAT BAHASA TERHADAP LINGUISTIK)
Di dunia ini filsafat bahasa sudah dikenal oleh para filsuf Yunani jauh sebelum abad Masehi tepatnya pada masa Pra Sokrates. Pada masa itulah pemikiran para filsuf mulai bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa. Pada masa Herakleitos pemikiran para filsuf masih sangat kental dengan alam. Herakleitos membahas segala sesuatu tentang alam semesta dan seluruh minat Heraklesitos umumnya terpusat pada dunia fenomenal. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang definitif melainkan segala sesuatu yang ada senantiasa 'sedang menjadi' atau 'phanta rhei' artinya semua mengalir, di dalam dunia jasmani tidak ada sesuatu yang statis, selalu ada perubahan yang dinamis dan terjadi terus-menerus. Atas dasar pemikiran para filsuf yang pada saat itu mengedepankan cara berpikir radikal namun tetap rasional serta terbuka dan terus mencari kebenaran, muncul suatu pertentangan dari para filsuf yunani tersebut mengenai: 1) apakah bahasa itu fisis atau fisei' atau nomos. Hal itu juga diwujudkan dalam karya dialog filosofis seorang filsuf Yunani Plato yaitu dialog Cratylus dan Hermogenes yang berisi persoalan dikotomi tentang hakikat bahasa 'fisei' dan 'nomos'. Plato pada saat itu mengemukakan doktrinnya yaitu onomatopoeia yang menjadi jembatan dari jurang antara nama-nama dan benda-benda. Jika merujuk pada maksud dari fisis atau fisei sendiri, bahasa mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dengan taraf kewajaran yang harus diterima atau tidak dapat ditolak. Jika dalam ilmu semantik, kita memahami bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang diacunya yaitu istilah referen atau referensi yaitu sumber acuan atau hubungan antara referen dan lambang (bentuk bahasa) yang mewakilinya. Dengan kata lain setiap kata memiliki makna secara alami sehingga dikenal adanya onomatope atau tiruan bunyi. Sebaliknya, kaum konvensional berpendapat bahwa sifat bahasa itu 'nomos' atau konvensi. Menurut kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil kebiasaan atau tradisi-tradisi berupa 'tacit agreement’ yang berarti 'persetujuan diam'. Diam dalam penafsiran monolitik adalah persetujuan yang memiliki makna representatif bagi budaya dan keadaan psikologis manusia ketika itu. Oleh karena adanya anggapan bahwa bahasa diperoleh dari tradisi atau kebiasaan-kebiasaan sehingga bahasa sangat mungkin untuk berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Menurut kaum ini, onomatope hanya sebuah kebetulan saja sebab banyak juga ditemukan konsep benda, sifat dan keadaan yang sama dinyatakan dalam bentuk kata yang berbeda. Onomatope juga sebagai bentuk pengecualian dari sifat bahasa yang arbitrer atau dapat dikatakan onomatope adalah non arbitrer.
Pertentangan selanjutnya adalah apakah bahasa itu analogi, teratur atau anomali, tidak teratur. Kaum analogi yang terkenal pada masa itu adalah Plato dan muridnya Aristoteles. Menurutnya, bahasa itu bersifat teratur sehingga dalam penggunaannya seseorang bisa saja menata bahasa mereka. Anggapan kaum tersebut bila bahasa itu tidak teratur, maka bahasa bisa saja disusun dengan idiom-idiom bukan dari gabungan kata yang sudah mempunyai makna sendiri-sendiri. Jika memang bahasa tidak teratur seperti susunan idiom saja maka akan menambah tingkat keimplisitan dan ketaksaan bahasa sebagai suatu media penyampai maksud. Hal itu dikarenakan bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya.
Sebaliknya kaum anomali menentang pernyataan tersebut dengan menyatakan pendapat bahwa bahasa itu tidak teratur atau irreguler. Mereka membandingkan keteraturan bahasa dengan ketidakteraturan bahasa bahasa asing yaitu bahasa Inggris pada bentuk jamaknya. Perbandingan tersebut sebenarnya sudah menyentuh bahasa secara sistematis/sistemik. Meski bahasa memiliki sifat universal tapi salah satu hal yang tidak bisa disangkal yaitu masing-masing bahasa memiliki sistem yang berbeda. Contohnya book (buku) menjadi books dalam bentuk jamaknya tetapi child berubah menjadi children bukan childs; serta bentuk past tense kata write menjadi wrote bukan writed.
Catatan:
1 Analogi: persamaan atau persesuaian dua benda atau dua hal yang berlainan (bentuk kiasan)
Kesepadanan bentuk bahasa yang mendasari bentuk bahasa lain
Kesamaan bentuk, susunan, atau fungsi dengan asal-usul yang tidak memiliki hub. kekerabatan
Kesamaan ciri dari dua buah benda yang dapat dijadikan dasar perbandingan.
2 Anomali: tidak seperti yang pernah ada; bentuk penyimpangan
Bentuk penyimpangan atau kelainan dari sudut pandang konvesi gramatikal atau aspek semantis bahasa
Penyimpangan dari keseragaman sifat fisik, sebuah eksplorasi.
A. Linguistik Modern dan Filsafat Bahasa
Munculnya linguistik modern ditandai dengan terbitnya salah satu karya buku dari Bapak Linguistik Modern yaitu Ferdinand De Saussure berjudul “Course de Linguistique Generale" (1916) yaitu pada awal abad ke-20 Masehi. Bersamaan dengan hal tersebut muncul filsafat analitika bahasa. Pandangan De Saussure sangat berbeda dengan para linguis lain sebelumnya, yaitu tentang kajian bahasa secara sinkronik (kajian bahasa pada masa tertentu) dan diakronik (kajian bahasa dari beberapa masa sepanjang kehidupan bahasa), perbedaan antara langue dan parole, perbedaan signifiant (bentuk) dan signifie (makna), dan hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Pada pembahasan awal mengenai bahasa secara sinkronik dan diakronik. Untuk mendapatkan objektivitasnya, bahasa sendiri dikaji secara sinkronik sehingga masih dapat ditemukan kebersamaan data-data empiris karena keberadaan penutur yang masih ada/hidup. Berbeda dengan pengkajian bahasa secara diakronik yang dapat dipastikan sulit dalam mengumpulkan data empiris dari masa lalu yang tidak dapat mempertahankan keberadaan para penuturnya.
De Saussure juga membedakan antara langue dan parole. Langue adalah bahasa sebagai satu sistem. Sebagai satu sistem bahasa memiliki pola dan aturan tertentu. Bahasa dibangun dengan dua sistem besar yaitu sistem bunyi dan sistem makna yang menjadi inti dari sebuah bahasa. Sedangkan parole adalah bahasa yang diujarkan atau dituturkan, sifatnya konkret (bahasa dalam bentuk nyata). Kajian linguistik sebenarnya melibatkan kedua-duanya, dalam arti kajian linguistik adalah langue dengan parole sebagai objeknya.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan dengan jelas bahasa dikaji secara sinkronik dengan parole sebagai data empirisnya. Oleh karenanya pengkajian tersebut sangat dekat dengan bentuk (form) dari sebuah bahasa yaitu dengan fokus utama struktur bahasa dan tidak dapat terlepas dari makna dan konteks situasi. Dengan fokus dan penekanan terhadap struktur bahasa itulah paham ini disebut sebagai 'linguistik strukturalis'.
Dalam pengkajian linguistik pada tataran semantik, de Saussure juga mengemukakan pendapat bahwa setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen yaitu, signifiant (yang mengartikan) yang berwujud runtutan bunyi berupa rangkaian fonem-fonem pembentuk kata dan signifie (yang diartikan) berwujud pengertian atau konsep. Menurut teori de Saussure ini makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki tanda linguistik atau tanda bahasa. Jika makna tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan kata atau leksem maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki setiap kata atau leksem. Begitupun bila identitas tanda linguistik tersebut disamakan dengan morfem, maka makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki morfem baik morfem bebas maupun morfem terikat (morfem dasar maupun morfem afiks).
Namun para linguis strukturalis tidak menghiraukan pendapat tersebut karena menurutnya makna adalah hal yang tidak dapat diobservasi secara empiris, juga makna bukan bagian sentral dari bahasa melainkan bagian periferal. Jadi bisa dikatakan objek linguistik modern secara epistemologi adalah bahasa sebagai bahasa terlepas dari konteks kehidupan manusia. Kajian para linguis strukturalis tidak berurusan dengan aspek lain di luar bahasa seperti, afeksi, emosi, konteks sosial, seni, budaya dan sebagainya. Secara ontologis paham strukturalis melihat bahasa sebagai suatu gejala empiris sama dengan gejala alam lain.
B. Filsafat Bahasa Biasa dan Pragmatik
Filsafat bahasa biasa sebenarnya bertumpu pada pemikiran Wittgenstein periode II yaitu yang termuat dalam bukunya Philosophical Investigation mengenai perkembangan teori language game. Dari sanalah sumber teori bagi perkembangan filsafat yang disebut “filsafat bahasa biasa". Bahasa tidak lagi dikaji dari segi struktur formalnya saja melainkan juga fungsi hakiki bahasa yaitu penggunaannya dalam kehidupan. Kemunculan Wittgenstein tampaknya membawa pengaruh bagi kemunculan filsuf-filsuf lain dari Inggris pada saat itu di antaranya, Gilbert Ryle, J.L Austin, Peter Strawson. Dari Inggris kemudian berkembang di Amerika Serikat dengan tokohnya Max Black, John Searle, H. P. Grice, Norman Malcolm, dan W.P. Alston.
G. N. Leech seorang pragmatik Inggris dalam bukunya Principles of Pragmaties (1983) menegaskan bahwa linguistik berkembang ke arah yang belum pernah diteliti, yaitu disiplin yang menyangkut bentuk, makna, dan konteks. Perkembangan yang cukup radikal juga terjadi di Amerika Serikat sebagai reaksi dari konsep analisis sintaksis model Chomsky, yang mengembangkan semua ilmu linguistik termasuk ilmu fonologi dan semantik yang dianggap relevan dengan kerangka kajian sintaksis. Reaksi keras juga datang dari George Lakoff dan Robert Ross yang menegaskan bhwa kajian sintaksis tidak dapat dilepaskan dari pemakaian bahasa (Leech, 1983: 2). Perkembangan pragmatik ini menemukan bentuknya sewaktu John Searle mengembangkan Speech Act (1969) yang merupakan bidang baru dalam kajian bahasa sehubungan penggunaannya dalam komunikasi verbal manusia.
Ketika Ross dan Lakoff menancapkan klaim dalam pragmatik pada akhir tahun 60-an, mereka menemukan persilangan persilangan yang relavan dari para filsuf filsafat bahasa yang sejak lama mengembangkan aspek penggunaan bahasa. Pengaruh ini diakui oleh Leech bahwa inspirasi perkembangan pramatik telah dirintis oleh para ahli filsafat bahasa seperti Austin (1962), Searle (1969), dan Grice (1975). Apa yang dikembangkan para ahli itu menjadi lahan yang luas bagi pembahasan linguistik yang tadinya diwarnai kajian yang bersifat struktural dan sintaktik menemukan lahan baru yang luas bagi kajian makna bahasa yang berhubungan dengan pragmatik.
Lahan baru itu sebenarnya tidak ditemukan oleh linguis melainkan ahli filsafat bahasa. Refleksi dan hubungan langsung mereka dengan bahasa berdampak signifikan dan juga permanen pada perkembangan linguistik modern khususnya bidang pragmatik.
Mulanya para filsuf sibuk dengan masalah bahasa yang berkonsentrasi pada ungkapan bahasa yang didefinisikan dengan logika dan kalimat dalam bahasa alami. Para tokoh yang mengembangkan pemikiran ini antara lain, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Rudolf Carnap serta tokoh positivme logis. Wittgenstein dalam karyanya Tractatus Logico Philosophicus (1961) yang mengembangkan “teori gambar" menganggap bahasa merupakan gambaran perwakilan logis dari realitas dunia, sehingga antara bahasa dengan dunia memiliki kesesuaian logis. Konsekuensinya, semua ungkapan bahasa yang tidak menggambarkan secara logis akan dunia pada hakikatnya tidaklah bermakna (Palmquis, 2000: 205). Begitu juga Russel dan tokoh filsuf positivisme logis lainnya memiliki pola pemikiran yang sama. Pengaruh pandangan ini membawa ke arah suatu pemikiran bahwa pembicaraan tentang bahasa hanya terbatas pada fregmentasi persoalan logika. Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang benar selalu dikaitkan dengan justifikasi kebenaran logika. Pemikiran tersebut menjadi pudar setelah munculnya pemikiran Wittgenstein II dalam buku Phylosophical Investigation dengan paradigma yang berlawanan dengan bahasa ideal berdasarkan logika. Wittgenstein II dalam pemikirannya justru mendasarkan objek materia filsafatnya pada bahasa sehari-hari, bukan bahasa yang ideal. Dia mengamati bahasa sehari-hari yang digunakan oleh manusia.
Sejak saat itu berkembanglah paham filsafat yang objek materianya bahasa sehari-hari yang digunakan manusia, sehingga popular disebut sebagai filsafat bahasa biasa. Yang menentang keras terhadap bahasa dalam hubungannya dengan logika adalah J.L Austin. Dia mengembangkan filsafat bahasa biasa seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal How to Things with Words (Mey, 1993: 23). Selain sebagai tokoh filsafat bahasa Austin juga berjasa sebagai peletak dasar-dasar pemikiran filosofis, pada pengembangan linguistik pragmatik. Bahkan banyak buah pikirannya diangkat dalam kajian linguistik pragmatik. Antara lain mengenai tutur konstatif dan tutur performatif; dan tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tidak tutur perlokusi (Wijana, 1996: 17-19, 29).
C. Language Game dan Linguistik
Pemikiran filsafat Wittgenstein II mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan linguistik pragmatik. Pada waktu itu bidang linguistik struktural sudah mengalami kejenuhan epistemologi seperti yang diistilahkan Khun telah mengalami “krisis" (Khun, 1970: 67). Maka pada tingkat tertentu linguistik struktural sudah gagal mendeskripsikan hakikat bahasa dalam fungsi hakikinya sebagai wahana ungkapan dan pemikiran manusia dalam berkomunikasi. Bahasa hanya dipahami dari salah satu aspeknya yang sempit yaitu aspek strukturalnya, sehingga aspek maknanya dalam penggunaannya dalam kehidupan manusia tidak dikaji. Oleh karena itu, gerakan ilmiah yang menentang keras terhadap sintaksis linguistiknya merupakan kemajuan yang sangat positif dalam ilmu linguistik, terutama dalam upaya mengungkap hakikat bahasa dalam kehidupan manusia yang sangat kompleks.
Hadirnya pemikiran filsafat Wittgenstein II dengan inti teorinya yang disebut language game atau “tata permainan bahasa", membawa angin segar bagi pengembangan linguistik pragmatik. Bahasa sehari-hari atau bahasa biasa yang objek material kajiannya kaya dengan masalah dalam kaitannya dengan penggunaan dalam kehidupan manusia. Bahasa tidak lagi dikaji secara parsial struktural dan logis apriori, telah bergeser pada suatu kajian makna dan dimensi bahasa yang berkaitan dengan kehidupan manusia yang begitu kompleks. Wittgenstein telah meletakkan dasar-dasar kajian pragmatik mengenai bahasa yang tidak hanya bersifat simbolis lagi bagi kehidupan manusia tetapi juga menghasilkan dan menunjukkan kebudayaan manusia. Menurut Wittgenstein, dalam setiap aspek kehidupan ada aturan-aturan sendiri yang diungkapkan melalui bahasa. Maka konsekuensinya, bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Secara kritis pemikiran Wittgenstein II ada relevansinya yang cukup signifikan terhadap pengembangan pragmatik, baik pada aspek ontologi, epistemologi, maupun aspek aksiologi. Jadi pemikiran Wittgenstein merupakan sumber inspirasi bagi kemungkinan pengembangan pragmatik.
Komentar
Posting Komentar