Lets Make Poems


Puisi Nyanyian Jiwa




Tangis Setetes Sayatan Hati
Oleh
Raudatus Syarifa


Jangan tancapkan perih di pelupuk mata
Keluh bimbang melihat di atas merasa
Batas-batas itu kobaran api
Hendak padam usai tepis menepi
Jerit demi jerit terlewati
Isak tangis setetes sayatan hati
Luruh kebekuanmu sejadi-jadi

Seimpas balas dari rimbun hujaman duri
Air mata menabuh luka dalam nyanyian pilu
Yang mengalun di lembah jiwa
Kini sisa khayal tergerus sepi

Bab Penguasa
Oleh
Raudatus Syarifa

Penguasa tetaplah penguasa
Dalam habitat sesungguhnya harimau adalah harimau dan kelinci tetaplah kelinci:
Yang kecil dan rendah,
Yang lemah dan pasrah
Yang paksa tunduk pada yang berkuasa.
Yang tak buas dan pandai memangsa.
Yang menanam kematian dalam dirinya sendiri.
Hanya kepercayaan yang menjadikannya tegar.
Dari segala yang mengancam.
Dari situasi mencekam.
Dari kecam-mengecam
Dialah kelinci dengan beban tubuh yang ia topang
Tak begitu berat
Daripada menjadi keparat.




Pesan dari yang Kau Anggap Perempuan Jalang
Oleh
Raudatus Syarifa

Aku titisan dewi yang melahirkanmu
Dari rahim kotor dan lendir yang kau hirup.
Aku wariskan padamu darah suci untuk membuatmu mengerti
Bahwa kesucian bukan hanya berasal dari anggapan mereka
Kesucian adalah diri yang kaulihat ketika kaudilahirkan dan merengek
Kesucian adalah tatapan pertamamu di dunia
Kesucian adalah darah yang mendaging tanpa hasutan, cibiran, dan kata-kata hina yang meracau
Aku tanamkan tulang yang membantumu tegar
Tegakkan keyakinanmu, tataplah dunia dengan segala yang suci dalam pikirmu juga hatimu
Aku menjelma menjadi ribuan tiang yang ada di sepanjang jalan
Tempat para preman, berandal, dan bajingan bersatu memusuhimu.
Mereka yang berkonfrontasi dengan segala kebaikan
Mereka yang mengelabui kelemahan demi senyum iblis
Mereka yang meradang, menginjak, bahkan tak segan merobohkanmu
Jadilah kokoh sampai tak ada jiwa lemah dalam dirimu
Jadilah kokoh sampai tak ada yang bisa menghancurkanmu


Merdeka Membungkus Bajuku yang Lusuh
Oleh
Raudatus Syarifa



    Sebenarnya terlalu dini menyebut ini merdeka saat aku hanya tahu perihal tertawa bersama bajuku yang lusuh dan Ibuku yang tak berkutik seketika menatapku, ia lebih suka menimpali senyumku dengan senyum palsu dan kadang membuang tatapannya yang tak ikhlaskan singgah sejenak di antara bajuku yang lusuh, wajah cemong, dan rambut terurai, tak tersisir rapi. Aku hanya bermain di dalam hidupku, dan tak tahu menahu tentang bagaimana hidup seolah mempermainkan Ibu dan Bapakku, yang langkahnya rapuh dengan garis wajah utuh yang menggambarkan betapa hebatnya sebuah pemikiran keras, yang menentang garis hidup. Aku lebih senang berlari dan tertawa tanpa sekelumit pun beban. Suatu ketika aku berpikir, lebih bagus bendera daripada bajuku yang kukenakan ini.
    Aku bertanya pada Ibuku, “Bu adakah benda yang bisa menyulap bajuku ini?” Ibu menjawab dengan nada lirih dan pasrah, “Nak meski kaucuci bajumu dengan air mata Ibumu, tak ada yang akan berubah anakku. Kau akan tahu ini ketika nanti dirimu menjadi angkuh pada kehidupan. Tapi Ibu sungguh tak ingin melihat keangkuhan itu dalam dirimu. Biar nanti bajumu ini menjadi lap kotor fungsinya tetap sama adalah membersihkan.” Ucap Ibu dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca.




Aku menangkapmu dari nasib yang membuatmu jatuh, tapi kau malah tertawa seperti orang yang mengingkar.
Aku tahu kau bukan seperti pecundang yang hanya bisa tertawa ketika kau mulai tersudut di lembah paling dalam, atau kau malah lari seperti ada ombak yang sedang menghampiri
Kau hanya menjauh dari kepedihan hati yang seniantasa menanti dan memburu dalam diri. Keluh dan kesahmu adalah nafas dari lelahmu
Namun, adakalanya kau terdiam. Entah apalagi yang ada dalam pikirmu saat ini. Mungkin kau kembali menata kepastian yang bukan pada tempatnya.
Kembalilah, racik doa sesukamu

Pergolakan Malam
Oleh
Raudatus Syarifa

Petang ini membuat kilau mataku mengalir.
Menjadi setetes air  yang belum saatnya mengembun
Izinkan aku melontar kembali mantra-mantra yang membangunkan jiwa dari kubur kebencian

Aku tak ingat ke-berapa kali sudah ritual ini berlangsung
Saat kalap membuat hati kembali berberai.
Segala beku pun membekuk dingin

Sedingin kata dari hela-hela nafas 
Yang memecah keheningan
Dan runtuh di wajahku yang kuyu




Komentar

Postingan Populer