Psikolinguistik Kajian Teoretik (Kumpulan BAB III - BAB X)
IKHTISAR BAB III
BAHASA DAN BERBAHASA
Bahasa dan berbahasa merupakan dua hal yang berbeda meskipun sama kaitannya. Bahasa adalah alat, sarana atau objek, sedangkan berbahasa adalah proses dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan.
1. Hakikat Bahasa
Bahasa secara deskriptif didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Bahasa dibangun oleh sejumlah sub sistem yaitu (fonologi, sintaksis dan leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang yang berupa bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Susunan dari sistem lambang bahasa bersifat arbitrer, yang artinya tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep yang dilambangkannya. Sifat-sifat lain bahasa yaitu konvensional, dinamis, produktif, unik, universal, dan manusiawi. Bahasa digunakan masyarakat untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan saling mengidentifikasi diri.
2. Asal-Usul Bahasa
Ada banyak para ahli menyampaikan pendapatnya mengenai asal-usul bahasa. Berikut pemaparannya:
1) F.B. Condillac (filsuf bangsa Perancis)
Condillac berpendapat bahwa bahasa berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Kemudian teriakan-teriakan ini berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, dan yang lama-kelamaan semakin panjang dan rumit.
2) Ahli agama
Sebelum pendapat Condillac muncul, ahli agama percaya bahwa bahasa berasal dari Tuhan. Tuhan telah melengkapi kehadiran pasangan manusia pertama (Adam dan Hawa) dengan kepandaian untuk berbahasa.
3) Von Herder (filsafat bangsa Jerman)
Menolak pendapat dari Condillac, Herder mengatakan bahwa bahasa itu tidak mungkin datang dari Tuhan karena bahasa itu sedemikian buruknya sehingga tidak sesuai dengan logika Tuhan Maha Sempurna. Menurut Herder bahasa terjadi dari proses onomatope, yaitu peniruan bunyi. Bunyi-bunyi alam yang ditiru menjadi benih yang tumbuh menjadi bahasa dengan dorongan hati yang kuat untuk berkomunikasi.
4) Von Schlegel (ahli filsafat bangsa Jerman)
Schlegel berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak mungkin bersumber dari satu bahasa. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan tergantung pada faktor-faktor yang mengatur tumbuhnya bahasa. Ada bahasa yang lahir dari onomatope, kesadaran manusia, dan sebagainya.
5) Brooks (1975)
Menurut Brooks bahasa lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia. Menurut hipotesis Brooks, bahasa mulanya berbentuk bunyi-bunyi tetap untuk menggantikan atau simbol bagi benda, hal, atau kejadian tetap di sekitar yang dekat dengan bunyi-bunyi itu yang kemudian dipakai oleh orang-orang di tempat itu. Awalnya bahasa merupakan satu kerangka atau struktur yang dibentuk dari empat unsur: bunyi, keteraturan (order), bentuk, dan pilihan.
6) Philip Lieberman (1975)
Menurut Lieberman bahasa lahir secara evolusi sebagai yang dirumuskan oleh Darwin (1859) dengan teori evolusinya. Semua hukum evolusi yang berlaku, dilalui juga oleh evolusi bahasa.
Dari sekian banyak pendapat para ahli dapat disimpulkan asal-usul bahasa yaitu berasal dari bunyi-bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia lewat naluri untuk berkomunikasi dengan membuat simbol-simbol pada benda atau keadaan sekitar dengan cara meniru hingga memberi penamaan dari benda satu ke benda lain, dari suatu hal ke hal yang lain yang seiring perkembangannya di atas kesadaran manusia bahasa mulai terbentuk kemudian mengalami konvensi pemaknaan sehingga dapat dikomunikasikan.
3. Fungsi-Fungsi Bahasa
Fungsi utama bahasa adalah sebagai sarana komunikasi manusia baik secara lisan maupun tulisan untuk menunjang kehidupan pribadi dan sosial individu dalam masyarakat.
Adapun lima fungsi dasar bahasa menurut Kinneavy:
1. Fungsi ekspresi: Perasaan senang, sedih, gembira, kagum, marah, jengkel, dan kecewa pada orang lain dapat disampaikan atau diekspresikan melalui penggunaan atau pemakaian bahasa pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Fungsi informasi: Bahasa sebagai penyampai pesan atau amanat yang ditujukan bagi orang lain
3. Fungsi eksplorasi: Bahasa digunakan untuk memberi gambaran jelas mengenai suatu hal, perkara, peristiwa atau keadaan.
4. Fungsi persuasi: Bahasa dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk mengajak orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal.
5. Fungsi entertainmen: Bahasa dapat digunakan dengan maksud menghibur, menyenangkan, memuaskan perasaan atau batin orang lain.
4. Struktur Bahasa
Bahasa dibentuk berdasarkan beberapa struktur di antaranya (fonem, morfem, kata, frase, klausa, hingga kalimat). Pemahaman tentang keterangan struktur dapat membantu terciptanya tata bahasa yang memadai. Dalam linguistik generatif transformasi struktur sama dengan tata bahasa. Sedangkan tata bahasa adalah "pengetahuan" penutur mengenai bahasanya (kompetensi). Kompetensi tersebut dimanfaatkan dalam pelaksanaan bahasa (performansi). Lalu dalam pelaksanaan bahasa tersebut, linguistik generatif transformasi menemukan konsep struktur bahasa dalam kalimat dapat dibedakan menjadi dua: 1) struktur-dalam (deep structure), dan 2 struktur-luar (surface structure).
a. Tata bahasa
Tata bahasa merupakan kompetensi yang "dinuranikan", yaitu dari rumus-rumus atau kaidah-kaidah yang jumlahnya terbatas dan digunakan untuk "membangkitkan" kalimat-kalimat dalam bahasa yang jumlahnya tidak terbatas. Itu berarti setiap kalimat yang bisa dibangkitkan pasti bisa "dimasukkan" dalam rumus atau kaidah itu.
Menurut teori linguistik generatif-transformasi setiap bahas terdiri dari tiga komponen yaitu, komponen fonologi, komponen sintaksis dan komponen semantik. Namun untuk bisa memahami ketiga komponen tersebut perlu dipahami dulu konsep struktur-dalam dan struktur-luar.
b. Struktur-Dalam dan Struktur Luar
Struktur dalam adalah struktur kalimat yang secara abstrak yang berada dalam aspek kognitif (otak) penutur sebelum diucapkan. Sedangkan struktur-luar diartikan struktur kalimat ketika diucapkan dan ketika diterima pendengar. Rumus transformasi dapat melalui mulut otak ke mulut dengan representasi yang berbeda yaitu pada struktur-dalam mengalami representasi dalam yang bersifat abstrak, dan pada struktur-luar mengalami representasi fonetik kalimat.
c. Komponen Tata Bahasa
Setiap tata bahasa menurut linguistik generatif transformasi dibangun oleh tiga komponen yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologi.
1) Komponen Sintaksis
Sintaksis diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang struktur kalimat yang dibentuk dari beberapa urutan dari yang terkecil, kata, frase, klausa hingga membentuk kalimat menurut aturan atau rumus bahasa yang digunakan. Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukan hubungan antar pola bunyi bahasa dengan maknanya dengan cara mengatur urutan kata, frase, atau kalimat dengan makna yang diinginkan penuturnya. Penutur bahasa akan merasakan natural dalam mengucapkan kalimat apabila pemenggalan kata dilakukan secara tepat sesuai dengan tata bahasa yang dinuranikan secara tidak sadar.
2) Komponen Semantik
Makna dalam kalimat tergantung pada beberapa faktor yang berkaitan yaitu: (a) makna leksikal kata yang membentuk kalimat, (b) urutan kata dalam organisasi kalimat, (c) intonasi, cara kalimat diucapkan atau dituliskan, (d) konteks situasi tempat kalimat itu diucapkan, (e) kalimat sebelum dan sesudah yang menyertai kalimat itu, dan (f) faktor-faktor lain. Urutan unsur kata-kata yang berbeda dapat mempengaruhi struktur kalimat, selain itu maknanya juga menjadi semakin rumit karena banyak kata yang memiliki lebih dari satu makna, dan makna ini pun bisa saja terlepas apabila kata itu berada dalam konteks frase yang berlainan.
Untuk menghasilkan gramatikal dan berterima secara semantik, teori linguistik generatif transformasi standar mengajukan teori fitur-fitur semantik (semantics features) atau penanda semantik (semantics marker), yang mengasumsikan bahwa setiap kata memiliki sejumlah fitur semantik yang membentuk keseluruhan makna kata.
3) Komponen Fonologi
Komponen fonologi adalah sistem bunyi suatu bahasa yang dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus fonologi dengan tugas mengubah struktur-luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi-bunyi bahasa yang didengar atau yang diucapkan oleh penutur.
5. Proses Berbahasa
Proses "produksi" atau "proses rancangan berbahasa" disebut enkode. Sedangkan proses penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebut proses dekode. Kode bisa diartikan isyarat atau tanda (sign) dalam penyampaian informasi; maka enkode berarti peristiwa atau proses pelahiran kode tersebut; dan dekode berarti peristiwa atau proses penerimaan kode tersebut.
Proses rancangan berbahasa produktif dimulai dengan enkode semantik yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni penyusunan konsep atau ide dalam bentuk satuan gramatikal. Diteruskan dengan enkode fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses enkode dilakukan di dalam otak kecuali representasi fonologinya yang terjadi di mulut (alat bicara atau artikulator).
Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi, yakni penerimaan unsur-unsur bunyi melalu alat pendengaran. Dilanjutkan dengan proses gramatikal yakni pemahaman bunyi itu sebagai satuan gramatikal. Lalu diakhiri dekode semantik yakni pemahaman akan konsep dan ide yang dibawa kode tersebut. Proses dekode terjadi dalam otak pendengar.
Di antara proses enkode dan dekode terjadi proses transmisi berupa pemindahan atau pengiriman kode-kode yang terdiri dari ujaran manusia atau kode bahasa (bahasa).
IKHTISAR BAB IV
HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR DAN BERBUDAYA
Berbahasa adalah menyampaikan pikiran atau perasaan dari penutur (orang yang berbicara) kepada orang lain (pendengar) yang terjadi dalam kehidupannya secara terus-menerus sehingga berbahasa juga mencerminkan berbudaya. Bahasa juga disebut sebagai produk kebudayaan karena bahasa lahir dari kebiasaan, yang membentuk tradisi dan berkembang menjadi budaya. Adapun kehidupan budaya seseorang yang menggunakan bahasa dalam penyampaiannya.
Kajian psikolinguistik memiliki dua hipotesis kontroversial yang terakumulasi menjadi sebuah pertanyaan: apakah bahasa atau pikiran, bahasakah, pikirankah yang lebih dulu ada atau kedua hadir bersamaan. Konklusi terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut dapat dijelaskah seperti berikut.
1. Teori Wilhelm Von Humboldt
Von Humboldt seorang sarjana Jerman abad ke-19 menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan bahasa dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak dapat menyimpang dari garis-garis yang ditentukan oleh bahasa. Masyarakat yang mengubah pandangan hidupnya harus mempelajari bahasa lain, dengan begitu ia juga akan menganut cara berpikir dan budaya masyarakat itu.
Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian yaitu: bunyi-bunyi yang dibentuk oleh lautform dan pikiran-pikiran yang dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform). Dengan begitu dikenal adanya bentuk luar dan bentuk dalam. Bentuk luar adalah bunyi bahasa dan bentuk dalam adalah pikiran. Kedua bentuk inilah yang menentukan cara berpikir manusia. Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam otak (pikiran).
2. Teori Sapir- Whorf
Edward Sapir (1884 - 1939) linguis Amerika berpendapat bahwa manusia hidup di dunia, di bawah "belas kasih" bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupan bermasyarakat. Menurutnya telah menjadi fakta bahwa kehidupan masyarakat sebagian "didirikan" di atas tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itu, tidak ada dua bahasa yang sama yang dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Sapir juga menyatakan apa yang kita lihat, kita dengar kita alami, kita perbuat adalah karena sifat-sifat (tabiat) bahasa yang telah digariskan terlebih dahulu.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid Sapir menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir, bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Whorf menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Contoh anggota pemadam kebakaran yang menyatakan "kaleng kosong" bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Padahal ada cukup efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk bisa meledak. Jika isi kaleng di buang maka kaleng itu akan kosong, tetapi ilmu kimia tidak selalu membenarkan. Kaleng minyak kosong masih bisa meledak karena terkena panas. Jadi menurutnya jalan pikiran seseorang tampak dan ditentukan oleh bahasanya.
3. Teori Jean Piaget
Piaget sarjana Perancis justru berpendapat pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiran sebagai penentu aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa; bukan sebaliknya. Piaget (1962) juga mengembangkan "teori pertumbuhan kognisi" yang menyatakan seorang anak-anak dapat menggolong-golongkan benda-benda dengan cara berlainan. Sebelum anak-anak menggolong-golongkan benda tersebut dengan kata-kata yang serupa dengan benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan terjadi sebelum dia dapat berbahasa. Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang anak-anak mempelajari sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya kemudian baru melalui bahasa.
Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal berikut:
a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tapi dalam periode sensomotorik
b. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa
Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) adalah aksi atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Dalam jangka waktu sensomotor kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.
4. Teori L.S. Vigotsky
Vigotsky sarjana Rusia berpendapat bahwa ada satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan ada satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kedua garis ini saling bertemu, maka terjadi secara serentak pikiran bahasa dan bahasa berpikir. Mula-mula pikiran berkembang tanpa bahas dan bahasa berkembang tanpa pikiran kemudian keduanya bertemu saling bekerja sama dan mempengaruhi.
5. Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dengan pemikiran Chomsky (1957, 1965, 1968) mengajukan teori klasik hipotesis nurani. Kesimpulan dari teori ini adalah bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran). Hipotesis ini mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani, dan rumus itu dibawa sejak lahir.
Menurut Chomsky memperjelas pandangan teori Von Humboldt, sejalan dengan pandangan rasionalis, bahas-bahasa di dunia adalah sama karena didasari oleh sistem yang universal, dengan tingkatan di dalamnya yang disebut struktur-dalam (deep structure) dan struktur-luar (surface structure). Pada tingkat dalam itulah terdapat rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses yang memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja atau yang oleh Chomsky sebut inti proses generatif bahasa. Inti proses generatif yang merupakan alat semantik untuk menciptakan kalimat-kalimat baru yang tak terbatas jumlahnya dan dinamai "tata bahasa generatif".
Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur-dalam bahasa adalah sama, bersifat otonom (dapat berdiri sendiri), oleh karena itu tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran) pada umumnya, termasuk kecerdasan.
6. Teori Eric Lenneberg
Berkenaan hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus digunakan manusia dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Melalui penelitiannya Lenneberg menyimpulkan adanya cacat atau kerusakan pada kecerdasan yang parah tidak berarti pula terjadi kerusakan bahasa, begitu juga sebaliknya.
Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa:
1. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti otak, dan artikulator (alat ucap)
2. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal.
3. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada anak-anak yang cacat (disabilitas) seperti buta, tuli, misi dan orang tua pekak sejak lahir.
4. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain, karena bahasa sendiri bersifat manusiawi.
5. Setiap bahasa, tanpa terkecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantik, sintaksis dan fonologi yang universal.
Lenneberg menyimpulkan banyak bukti yang menunjukkan upaya manusia berbahasa didasari biologi yang khusus manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Dalam bukunya (1967), Lenneberg cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas.
7. Teori Bruner
Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Bahasa dapat membantu pemikiran manusia sehingga lebih sistematis. Bruner berpendapat bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang sama oleh karena itu bentuknya juga sangat serupa maka keduanya saling membantu. Selanjutnya bahasa dan pikiran adalah alat untuk melakukan aksi.
Selanjutnya bahasa berkembang ke arah keeksplisitan dan ketergantungan pada konteks, sehingga pikiran-pikiran dapat ditafsir dan dipahami tanpa pengetahuan situasi yang mendasari maksud dan tujuan penutur. Bahasa sebagai alat yang dapat merencanakan suatu aksi jauh sebelum aksi itu terjadi. Dengan cara yang sama pikiran berfungsi sebagai alat untuk membantu terjadinya peta-peta kognitif yang mengarah pada sesuatu yang ditempuh untuk mencari tujuan.
Di samping dua kecakapan yang melibatkan bahasa yaitu kecakapan linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis ini memungkinkan tercapainya peringkat abstrak yang berbeda-beda. Kecakapan analisis juga memungkinkan seseorang untuk mengalihkan perhatian dari yang satu kepada yang lain atau dari keseluruhan kepada bagian-bagiannya.
8. Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori atau hipotesis Sapir-Whorf adalah yang paling kontroversial dan menimbulkan kritik dan reaksi hebat, dari filsafat, linguistik, psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Beberapa di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut
1. Caroll (1963: 11, 19), mengatakan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa tidak mengakibatkan perbedaan dalam Wltanschaung (pandangan hidup, pikiran, logika), juga tidak benar ada satu pandangan hidup yang tidak terpisahkan dari satu bahasa tertentu. Kalaupun ada itu karena faktor sosial dan sejarah yang tidak ada sangkut paut dengan bahasa
2. Farb (1974) yang melakukan penelitian untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika dan tinggal di San Fransisco. Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan yang menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut.
3. Dalam mengkritik hipotesis Sapir-Whorf, Lenneberg (1953) mempersoalkan contoh Whorf tentang kaleng kosong bekas minyak bisa meledak. Lenneberg menyatakan bahwa orang yang menyatakan kaleng kosong itu bisa meledak tidak dapat membedakan antara kaleng kosong berisi gas yang mungkin masih bisa meledak.
4. Hall (1959) juga mengkritik hipotesis Sapir-Whorf dengan menyatakan bahwa kebudayaan Indian Hopi dikenal adanya bilik-bilik di dalam rumah, tapi anehnya di dalam bahasa Hopi tidak ada kata bilik itu.
IKHTISAR BAB V
TEORI-TEORI LINGUISTIK
Secara umum ada tiga paham yang berkembang dalam teori atau aliran linguistik yang berkaitan dengan psikologi. Paham-paham tersebut yaitu psikologi kognitif, behavioristik, dan pragmatik. Ada pun teori atau aliran yang dikemukakan oleh beberapa tokoh yang sejalan dengan ketiga paham yang berkembang tersebut. Tokoh dan teori-teorinya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Teori Ferdinand De Saussure
Ferdinand De Saussure (1858-1913) adalah seorang linguis Swiss yang biasa disebut sebagai Bapak atau pelopor Linguistik Modern. Bukunya yang terkenal yaitu Course de Linguistique Generale (1916) yang diterbitkan oleh murid-muridnya Bally dan Schehaye setelah beliau meninggal. Ferdinand De Saussure adalah tokoh yang menganut paham psikologi kognitif, behavioristik, dan pragmatik. Pandangan-pandangannya yang baru mengenai studi bahasa dimuat dalam bukunya itu. Pandangan-pandangan itu antara lain (1) telaah sinkronik dan diakronik dalam studi bahasa, (2) perbedaan langue dan parole, (3) perbedaan signifiant dan signifie', sebagai pembentuk signe' linguistique, dan hubungan sintagmatik, dan hubungan asosiatif atau paradigmatik (lihat Chaer, 1964).
De Saussure menjelaskan bahwa perilaku bertutur atau tindak tutur (speech act) sebagai rangkaian hubungan antara dua orang atau lebih. Perilaku bertutur ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian-luar dan bagian-dalam. Bagian luar dibatasi oleh mulut dan telinga, sedangkan bagian-dalam oleh jiwa dan akal yang terdapat dalam otak pembicara dan pendengar.
Di dalam otak penutur terdapat konsep-konsep atau fakta-fakta mental yang dihubungkan dengan bunyi-bunyi linguistik sebagai perwujudan yang digunakan untuk melahirkan atau mengeluarkan konsep-konsep tersebut. Baik konsep maupun imaji bunyi itu terletak dalam suatu tempat yaitu di pusat penghubung yang berada di dalam otak. Jika seorang penutur mengemukakan konsep terhadap pendengar, maka konsep itu “membukakan" pintu kepada pewujudannya yang berupa imaji bunyi yang masih berada di dalam otak dan merupakan fenomena psikologis. Kemudian dengan terbukanya pintu imaji bunyi ini, otak pun mengirim satu impuls yang sama dengan imaji bunyi itu kepada alat-alat ucap yang mengeluarkan bunyi; dan ini merupakan proses fisiologis. Kemudian gelombang bunyi itu bergerak dari mulut penutur melewati udara ke telinga pendengar; dan ini merupakan proses fisik. Dari telinga pendengar, gelombang bunyi bergerak terus masuk ke otak dalam bentuk impuls. Lalu terjadi pula proses psikologis yang menghubungkan imaji bunyi ini dengan konsep yang sama; seperti yang ada dalam otak penutur. Apabila pendengar berbicara dan penutur awal mendengarkan, maka proses yang sama akan terjadi pula.
Dalam perilaku berbahasa ini, dibedakan antara “pelaksana" yaitu pusat penghubung penutur dan telinga pendengar yang keduanya sebagai bagian yang aktif; dan penerima yaitu pusat penghubung pendengar dan telinga penutur yang kedua sebagai bagian yang pasif.
De Saussure juga membedakan antara parole, langue, dan langage. Ketiganya bisa dipadankan dengan kata “bahasa" dalam bahasa Indonesia. Parole adalah bahasa yang konkret yang keluar dari mulut seorang pembicara. Karena sifatnya yang konkret, maka parole bisa didengar. Sedangkan langue adalah bahasa tertentu sebagai satu sistem tertentu seperti bahasa Inggris atau bahasa Jawa (Simanjutak, 1987 menggunakan istilah bahasa). Jadi sifat langue abstrak; hanya ada dalam otak penutur bahasa yang bersangkutan. Lalu langage adalah bahasa yang pada umumnya sebagai alat interaksi manusia seperti tampak dalam kalimat “Manusia punya bahasa, binatang tidak". Jadi langage ini juga bersifat abstrak.
Menurut De Saussure linguistik murni mengkaji langue, bukan parole maupun langage. Teori linguistik De Saussure tidak mengikutsertakan parole. Alasan De Saussure mengkaji langue adalah sebagai berikut.
1. Langue bersifat sosial, sedangkan parole bersifat individual. Kedua sifat itu bertentangan. Langue berada di dalam otak. Belajar langue bersifat sosial dalam pengertian sinkronik, sedangkan parole bersifat idiosinkronik karena ditentukan secara perorangan.
2. Langue bersifat abstrak dan tersembunyi di dalam otak, sedangkan parole selalu bergantung pada kemauan penutur dan bersifat intelektual.
3. Langue adalah pasif, sedangkan parole adalah aktif.
Jadi, menurut De Saussure linguistik harus mengkaji langue karena langue adalah fakta sosial, sedangkan parole merupakan perlakuan individual, dan hanya merupakan embrio dari langage. Dengan kata lain, apa yang keluar dari mulut penutur dalam bentuk kalimat-kalimat selalu berubah-ubah dan bersifat idiosinkretis. Sebaliknya masyarakat yang dipertalikan satu sama lain oleh langue akan tercipta suatu average yang merupakan tanda atau lambang yang sama dan berpola; dan digabungkan dengan konsep-konsep yang sama dan berpola, serta tidak berubah-ubah dari satu individu ke individu lain. Oleh karena itu langue menurut definisi De Saussure adalah satu sistem tanda atau lambang yang arbitrer, dan digunakan untuk menyatakan ide-ide, dan mempunyai aturan-aturan. Dengan kata lain, langue merupakan satu sistem nilai murni yang terdiri dari pikiran yang tersusun dan digabungkan dengan bunyi.
Yang paling penting dalam teori linguistik De Saussure adalah mengenai signe' linguistique atau tanda linguistik karena bahasa merupakan sebuah sistem tanda. Menurut De Saussure tanda linguistik adalah sebuah maujud psikologis yang berunsur dua haitu signifie' atau konsep atau petanda; dan signifiant atau imaji bunyi atau penanda (istilah petanda dan penanda dari Kridalaksana, 1989). Kedua unsur ini, signifie' dan signifiant terikat erat sehingga yang satu selalu mengingatkan yang lain, atau sebaliknya. Ada beberapa ciri signe' linguistique yaitu sebagai berikut.
Pertama, tanda linguistik bersifat arbitrer, maksudnya, hubungan antara satu petanda/konsep dengan satu penanda/imaji bunyi bersifat kebetulan. Namun, tanda linguistik itu tidak dapat diubah (immutable); tetapi sistem bahasa dapat diubah.
Kedua, penanda (signifiant) dari suatu sigine' linguistique itu merupakan satu bentangan (span) yang dapat diukur dalam satu dimensi atau merupakan satu garis, satu perpanjangan. Ini berarti bahwa bahasa dapat dianggap sebagai satu deretan atau urutan (sequence).
Ketiga, signe' linguiatique mempunyai pergandaan yang tidak dapat dihitung. Dengan kata lain, tanda linguistik jumlahnya tidak terbatas.
Menurut De Saussure, metode yang sesuai dalam analisis linguistik adalah segmentasi dan klasifikasi. Dengan kedua metode ini seorang linguis akan menentukan pola-pola untuk mengklasifikasikan unit-unit yang dianalisis. Pola-pola itu bisa sintagmatik, yaitu pola yang tersusun berturut-turut dalam satu arus ujaran, atau juga paradigmatik, yaitu hubungan-hubungan antara unit-unit yang menduduki tempat yang sama dalam arus ujaran.
Pembentukan kalimat menurut De Saussure bukan semata-mata urusan langue, tetapi lebih banyak menyangkut urusan parole. Pembentukan kalimat merupakan satu proses penciptaan bebas, tidak dibatasi oleh rumus-rumus linguistik, kecuali dalam hal yang menyangkut bentuk kata dan pola bunyi.
2. Teori Leonard Bloomfield
Leonard Bloomfield (1887-1949) seorang tokoh linguistik Amerika sebelum mengikuti aliran behaviorisme, ia adalah seorang penganut paham mentalisme yang sejalan dengan teori psikologi Wundt. Kemudian ia menentang paham mentalisme mengikuti aliran perilaku atau behaviorisme yang berpengaruh terhadap perkembangan linguistik Amerika. Bloomfield menerangkan makna (semantik) dengan rumus-rumus behaviorisme. Unsur-unsur linguistik diterangkannya berdasarkan distribusi unsur-unsur tersebut di dalam lingkungan (environment) di mana unsur-unsur itu berada. Distribusi dapat diamati secara langsung sedangkan makna tidak dapat.
Teori linguistik Bloomfield dapat dipahami lebih jelas jika melihat anekdot “Jack dan Jill" berikut ini.
S ---------- r - - - - - - - s ------------ R
S ---------- r - - - - - - - s ------------ R
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Penjelasan:
(1) Jill melihat apel (S= stimulus)
(2) Otak Jill bekerja mulai dari melihat apel hingga berkata pada Jack.
(3) Perilaku atau kegiatan Jill sewaktu berkata kepada Jack (r= respons)
(4) Bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill sewaktu berbicara kepada Jack (- - - -)
(5) Perilaku atau kegiatan Jack sewaktu mendengarkan bunyi-bunyi atau suara yang dikeluarkan Jill (s= stimulus)
(6) Otak Jack bekerja mulai dari mendengar bunyi atau suara Jill sampai bertindak
(7) Jack bertindak memanjat pohon, memetik apel, dan memberikan apel kepada Jill (R= respons)
Berdasarkan keterangan di atas maka yang menjadi data linguistik bagi teori Bloomfield adalah perilaku berbahasa atau lambang bahasa (r - - - - - - - - s) dan hubungannya dengan makna (S----------R). Apa yang terjadi di dalam otak Jill mulai dari (1) hingga (2) sampai dia mengeluarkan tidaklah penting karena keduanya tidak dapat diamati. Begitu juga dengan proses yang terjadi di dalam otak Jack setelah dia mendengarkan bunyi-bunyi itu yang membuatnya bertindak (5 dan 6) adalah juga tidak penting bagi teori Bloomfield ini.
Menurut Bloomfiekd bahasa merupakan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang harus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Lalu, bagi Bloomfield bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran yang terdiri dari potongan-potongan perilaku (tabiat) yang disusun secara linear.
Teori linguistik Bloomfield didasarkan pada andaian-andaian dan definisi-definisi karena kita tidak mungkin mendengar semua ujaran di dalam suatu masyarakat tutur. Jadi, tidak mungkin dapat menunjukkan bahwa pola-pola yang kita temui dalam beberapa bahasa berlaku juga pada bahasa-bahasa lain. Ini harus diterima sebagai suatu andaian. Kita tidak mungkin menunjukkan bahwa lambang-lambang ujaran dihubungkan dengan makna karena tidak mungkin mengenal satu per satu makna itu dalam data.
Menurut Bloomfield bahasa itu terdiri dari sejumlah isyarat atau tanda berupa unsur-unsur vokal (bunyi) yang dinamai bentuk-bentuk linguistik. Setiap bentuk adalah sebuah kesatuan isyarat yang dibentuk oleh fonem-fonem (Bloomfield, 1933: 158).
Dalam teori linguistik Bloomfield ada beberapa istilah/term yang perlu dikenal, yaitu berikut ini.
Fonem adalah satuan bunyi terkecil dan distingtif dalam leksikon suatu bahasa suatu bahasa seperti bunyi [u] pada kata bahasa Indonesia |bakul| karena bunyi itu merupakan bunyi distingtif dari kata |bakal|.
Morfem adalah satuan atau unit terkecil yang mempunyai makna dari bentuk leksikon. Contohnya pada kalimat Amat menerima hadiah terdapat morfem Amat, me, terima, dan hadiah.
Frase adalah unit yang tidak minimum yang terdiri dari dua bentuk bebas atau lebih. Contohnya dalam kalimat Adik saya sudah mandi terdapat dua buah frase yaitu frase adik saya dan frase sudah mandi.
Kata adalah bentuk bebas yang minimum yang terdiri dari satu bentuk bebas dan ditambah bentuk-bentuk yang tidak bebas. Misalnya pukul, pemukul, dan pukulan adalah kata, sedangkan pe-, dan-an bukan kata; tetapi semuanya pe-, -an dan pukul adalah morfem.
Kalimat adalah ujaran yang tidak merupakan bagian dari ujaran lain dan merupakan satu ujaran yang maksimum. Misalnya Amat duduk di kursi, Amat melihat gambar, dan Ibu dosen itu cantik.
Bloomfield dalam analisisnya berusaha memenggal bagian-bagian bahasa itu serta berusaha menjelaskan hakikat hubungan di antara bagian-bagian itu. Lebih jauh lagi beliau juga menerangkan tentang tata bahasa serta memperkenalkan banyak definisi, istilah, atau konsep yang terlalu teknis untuk dibicarakan di sini seperti konsep taksem, semem, tagmem, episemem, dan lain-lain. Oleh karena itu, teori Bloomfield disebut juga linguistik taksonomik karena memotong-motong bahasa secara hierarkial untuk mengkaji bagian-bagiannya atau strukturnya (lebih jauh lihat Chaer, 1994).
3. Teori John Rupert Firth
John Rupert Firth (1890-1960) adalah seorang linguis Inggris yang berpendapat bahwa dalam kajian linguistik yang paling penting adalah konteks. Dalam teori Firth ada konteks fonologi, morfologi, leksikon, dan situasi. Bahasa adalah susunan dari konteks-konteks ini. Tiap konteks memiliki peranan penting sebagai lingkungan untuk unsur-unsur atau unit-unit tiap tingkat bahasa. Susunan konteks-konteks ini membentuk satu keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang membentuk arti yang dapat dibedakan dan dianalisis.
Menurut Firth struktur bahasa terdiri dari lima tingkatan yaitu fonetik, leksikon, morfologi, sintaksis, dan semantik. Yang menjadi unsur dalam tingkatan fonetik adalah fonem, tingkatan morfologi adalah morfem, tingkatan sintaksis adalah kategori-kategori sintaksis, dan tingkatan semantik adalah kategori-kategori semantik. Firth lebih memusatkan perhatian pada tingkatan fonetik dan tingkatan semantik.
Fonem dapat dikaji dalam hubungannya dengan kata. Konteks fonologi terbatas pada bunyi-bunyi yang terdapat dalam kata. Bentuk yang meragukan pada satu tingkat, tidak selalu meragukan pada tingkatan lain. Misalnya bentuk [kəpala] dalam bahasa Indonesia. Pada tingkatan fonetik bentuk ini meragukan sebab ada beberapa makna kepala dalam bahasa Indonesia.
Arti atau makna menurut teori Firth adalah hubungan antara satu unsur pada satu tingkatan dengan konteks unsur itu pada tingkatan yang sama. Jadi, arti tiap kalimat terdiri dari lima dimensi yaitu.
1. Hubungan tiap fonem dengan konteks fonetiknya (hubungan fonem satu sama lain dalam kata.
2. Hubungan kata-kata satu sama lain dalam kalimat.
3. Hubungan morfem pada satu kata dengan morfem yang sama pada kata lain, dan hubungannya dengan kata itu
4. Jenis kalimat dan bagaimana kalimat itu digolongkan
5. Hubungan kalimat dengan konteks situasi.
Ada dua jenis perkembangan ilmu linguistik yang selalu dikaitkan dengan Firth, yaitu (a) teori konteks situasi untuk menentukan arti, (b) analisis pasodi dalam fonologi. Teori konteks situasi menjadi dasar teori linguistik Firth yang menolak setiap usaha untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam kehidupan manusia dan budaya. Firth menekankan bahwa makna adalah jantung dari pengkajian bahasa.
Arti gramatikal adalah peranan dari unsur-unsur tata bahasa dalam konteks gramatikal yang mendahului dan mengikuti unsur-unsur itu dalam kata atau konstruksi (gagasan) dan dari unsur-unsur tata bahasa yang bersamaan dalam paradigma-paradigma. Arti menurut kolokasi adalah abstraksi sintagmatik.
Arti fonologi adalah peranan atau hubungan dari unsur-unsur fonologi dalam konteks fonologi dari struktur kata-kata dan unsur-unsur lain yang bersamaan secara paradigmatik yang dapat berperan dalam konteks serupa.
Sebagai linguis Firth dikenal juga sebagai tokoh analisis pasodi atau fonologi pasodi. Menurut Firth analisis pasodi digunakan untuk menganalisis bahasa dan membuat pernyataan-pernyataan yang sistematis dari analisis yang didasarkan pada penelitian mendalam terhadap data bahasa serta menggunakan istilah-istilah dan kategori-kategori yang sesuai. Analisis pasodi menganggap ada dua jenis fonologi yaitu
a. Unit-unit fonematik yang terdiri dari konsonan-konsonan segmental dan unsur-unsur vokal yang merupakan maujud-maujud yang dapat saling menggantikan dalam bermacam-macam posisi pada suku kata yang berlainan.
b. Pasodi-pasodi yang terdiri dari fitur-fitur atau milik-milik struktur yang lebih panjang dari satu segmen, baik berupa perpanjangan fonetik, maupun sebagai pembatasan struktur secara fonologi seperti suku kata atau kata. Pasodi-pasodi ini merupakan maujud yang menjadi ciri khas suku-suku kata secara keseluruhan dan tidak dapat saling menggantikan.
Ke dalam perpanjangan fonetik ini termasuk semua fonem supra-segmental dari fitur-fitur seperti nasalisasi, glotalisasi, retrofleksi yang biasa diikutsertakan dalam analisis fonetik terutama analisis fonetik menurut linguistik struktural Amerika. Secara singkat disimpulkan bahwa yang dimaksud pasodi menurut Firth adalah struktur kata serta ciri-ciri khas lagu kata itu sebagai sifat-sifat abstraksi dari keseluruhan fonologi bahasa itu. Jadi yang termasuk ke dalam fitur-fitur pasodi dari kata adalah (1) jumlah suku kata, (2) hakikat suku katanya: terbuka atau tertutup, (3) kualitas suku-suku kata, (4) urutan suku-suku kata, (5) urutan bunyi-bunyi vokal, (6) tempat, hakikat, dan kuantitas bunyi-bunyi penting, (7) kualitas “gelap atau “terang” dari suku-suku kata, (8) ciri-ciri hakiki lagu suku kata dan juga potongan kalimat tempat kata itu terdapat, dan (9) semua sifat yang menyangkut struktur suku kata dalam kata, potongan kalimat dan keseluruhan kalimat.
4. Teori Noam Chomsky
Dalam sejarah pertumbuhannya, teori Chomsky dibagi atas empat fase yaitu, (1) fase generatif transformasi klasik yang bertumpu pada buku Syntactic Structure (1957-1964); (2) teori standar yang bertumpu pada buku Aspect of the Theory of Syntac (1965-1966); (3) fase teori standar yang diperluas (1967-1972); dan (4) fase sesudah teori standar yang diperluas (1973 sampai kini), seperti teori penguasaan dan ikatan (government and binding theory) yang berkembang sejak tahun 80-an. Adanya fase-fase itu adalah karena adanya kritik, reaksi, dan saran dari berbagai pihak yang menyempurnakan teori itu.
Menurut Chomsky untuk dapat menyusun tata bahasa dari suatu bahasa yang masih hidup (masih digunakan dan ada penuturnya) harus ada suatu teori umum mengenai apa yang membentuk tata bahasa itu. Teori umum itu adalah teori ilmiah yang disusun berdasarkan satu korpus ujaran yang dihasilkan oleh bahasawan asli bahasa itu. Dengan korpus tersebut dapat ditarik kesimpulan umum atau kaidah umum tata bahasa untuk memprediksi ujaran (kalimat) yang dihasilkan penutur asli bahasa. Begitu pun teori ini harus bisa digunakan pada kalimat-kalimat baru yang dihasilkan dari penutur pada satu kesempatan yang sesuai. Sedangkan penutur lain dapat memahaminya dengan segera meskipun kalimat itu baru juga bagi mereka (Chomsky, 1969: 7).
Teori linguistik Chomsky menyangkut adanya padangan penutur-pendengar yang ideal dalam masyarakat tutur yang betul-betul merata dan sama. Keduanya harus mengetahui dan menguasai bahasanya dengan baik. Terjadinya suatu tindak tutur memerlukan adanya interaksi dari berbagai faktor. Dalam hal ini kompetensi atau kecakapan linguistik dari penutur-penutur yang menyokong terjadinya tuturan, hanya merupakan salah satu faktor saja.
Chomsky juga membedakan kompetensi (kecakapan linguistik) dan performansi (pelaksanaan atau perlakuan linguistik). Kompetensi adalah pengetahuan penutur-pendengar mengenai bahasanya; sedangkan performansi adalah pelaksanaan berbahasa dalam bentuk menerbitkan kalimat-kalimat dalam keadaan nyata. Pada kenyataannya, tuturan tidaklah betul-betul merupakan respons dari kecakapan. Bisa saja terjadi kesalahan di awal percakapan, penyimpangan pada kaidah tata bahasa atau perubahan di tengah-tengah percakapan.
Menurut Chomsky yang penting bagi linguis adalah menelaah data-data penuturan (berupa kalimat-kalimat), kemudian menentukan kaidah yang telah diterima atau dikuasai oleh penutur-pendengar dan yang dipakai dalam penuturan yang sebenarnya. Maka menurutnya teori linguistik itu bersifat mental karena teori ini mencoba menemukan realitas mental yang menyokong perilaku berbahasa yang sebenarnya.
Kompetensi atau kecakapan adalah suatu proses generatif bukan “gudang" yang berisi kata, frasa, atau kalimat seperti konsep langue dalam teori linguistik De Saussure. Kompetensi merupakan satu sistem kaidah atau rumus yang disebut tata bahasa dari bahasa penutur itu.
Tata bahasa suatu bahasa adalah uraian (deskripsi) kompetensi penutur-pendengar yang ideal; dan harus mampu memberi uraian struktur tiap kalimat yang tak terbatas jumlahnya serta menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat dipahami oleh penutur-pendengar yang ideal. Dari segi semantik tata bahasa suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi bahasa dan makna bahasa. Dari segi daya kreativitas tata bahasa adalah sebuah alat perancang khusus yang menerangkan pembentukan kalimat gramatikal dengan jumlah tak terbatas, dan menjelaskan struktur tiap kalimat itu. Alat perancang inilah yang dinamai “tata bahasa generatif oleh Chomsky, untuk membedakan dari pernyataan deskriptif yang hanya menggunakan sekumpulan unsur yang muncul dari uraian-uraian struktur yang konteksnya beragam. Tata bahasa generatif sebagai alat perancang merupakan satu sistem rumus yang digunakan dalam gabungan baru (belum pernah dicoba) untuk membentuk kalimat-kalimat baru. Rumus-rumus ini dapat digunakan untuk menentukan struktur dan bentuk fonetik kalimat, dan menunjuk penafsiran-penafsiran semantik kalimat baru (yang baru didengar), serta menolak urutan struktur yang bukan milik (bahasa itu".
Kesimpulannya, konsep Chomsky mengenai bahasa yakni bahasa adalah sejumlah kalimat, panjang setiap kalimat adalah terbatas dan dibina oleh sejumlah unsur yang terbatas. Bahasa itu sendiri merupakan perilaku yang diatur oleh rumus-rumus.
IKHTISAR BAB VI
TEORI PEMBELAJARAN DALAM PSIKOLOGI
Pembelajaran dapat dilakukan pada suatu lembaga formal terstruktur maupun suatu lembaga insidental. Apabila dilaksanakan pada lembaga formal terstruktur maka pembelajaran disebut suatu proses pembiasaan atau pelaziman yang dilakukan untuk memperoleh pola tingkah laku yang baru. Pembelajaran yang dilakukan secara insidental disebut sebagai sebuah pelatihan yang juga dilakukan untuk memperoleh pola tingkah laku baru meskipun kualitasnya tidak sebesar lembaga formal terstruktur.
Teori-teori pembelajaran berkembang pada abad ke-20, yang tampaknya saling bertentangn dan juga melengkapi dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar.Pertama, yang bersandar pada teori Stimulus – Respons dari psikologi behaviorisme; dan kedua, yang bersandar pada teori psikologi kognitifisme.
1. Teori-Teori Stimulus – Respons
Teori stimulus – respons memiliki dasar pandangan bahwa perilaku itu termasuk, perilaku berbahasa bermula dengan adanya stimulus (rangsangan, aksi) yang menimbulkan respons (reaksi, gerak balas). Teori ini berawal dari hasil eksperimen Ivan P. Pavlov, ahli fisiologi Rusia terhadap anjing peliharaannya.
a. Teori Pembiasaan Klasik dari Pavlov
Teori pembiasaan klasik ini merupakan teori pertama dalam kelompok teori stimulus-respons. Teori ini dikemukakan oleh Ivan P. Pavlov (1848 - 1936). Pavlov merancang eksperimen dengan menyembunyikan lonceng sebelum anjing diberi makanan. Sebelum pembunyian lonceng saja, tanpa diikuti makanan tidak pernah membuat anjing mengeluarkan air liurnya. Namun dengan diberi makanan, anjing itu mengeluarkan air liurnya. Yang anjing pelajari bahwa bunyi loceng bermakna makanan akan muncul, jadi air liurnya keluar. Pavlov mengambil kesimpulan anjing itu dilazimkan bertindak terhadap rangsangan baru.
Air liur keluar hanya karena mendengar bunyi lonceng disebut respon yang dibiasakan; sedangkan rangsangan atau stimulus yang menyebabkannya bunyi lonceng yang disebut stimulus yang dibiasakan.
Eksperimen Pavlov terdiri dari empat elemen terpisah dalam teori pembiasaan klasik yaitu: (1) stimulus yang tidak dibiasakan (STD); seperti makanan yang membangkitkan reaksi mengeluarkan air liur; (2) respons yang tidak dibiasakan (RTD); seperti reaksi mengeluarkan air liur bila STD muncul; (3) stimulus yang dibiasakan (SD) seperti bunyi lonceng, peristiwa yang sebelum dilazimkan tidak membangkitkan respons yang dikehendaki; dan (4) respons yang dibiasakan seperti mengeluarkan air liur setelah hanya mendengar bunyi lonceng, perilaku yang dipelajari anjing setelah terjadi stimulus yang dilazimkan.
Eksperimen Pavlov beranggapan bahwa pembelajaran merupakan rangkaian panjang dari respons-reapons yang dibiasakan (RD). Banyak pakar psikologi modern beranggapan bahwa bukan rangkaian respons yang dilazimkan; melainkan hasil usaha yang diatur secara kooperatif oleh bagiannya yang terlibat. Namun konsep respons yang dibiasakan (RD) ini amat penting dalam membicarakan tiap-tiap teori pembelajaran. Dengan kata lain, teori Pavlov disebut Teori Pembiasaan Klasik akan tetap dirujuk sebagai contoh atau perbandingan.
Menurut teori Pembiasaan Klasik ini, seseorang membentuk respons-respons yang dibiasakan berhubungan erat dengan sistem yang digunakan. Teori ini percaya adanya perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir dalam kemampuan belajar. RD diperkuat dengan ulangan-ulangan yang teratur dan intensif. Pavlov tidak tertarik dengan “pengertian" atau “pemahaman" atau apa yang disebut insight (ketepatan melihat hubungan-hubungan dalam pikiran). Akhirnya bagi Pavlov respon yang dibiasakan adalah unit pembelajaran yang baik.
b. Teori Penghubungan dari Thorndike
Teori penghubungan (connectionism theory) diperkenalkan Edward L. Thorndike (1874 – 1919) ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Dimulai dari eksperimen trial and error. Dalam eksperimen tersebut Thorndike menempatkan kucing dalam sebuah sangkar besar. Sangkar itu dapat dibuka dengan menekan engsel. Usaha kucing untuk keluar dengan mencakar ke sana ke mari, lalu kainya kebetulan menginjak engsel sehingga pintu sangkar terbuka dan kucing bisa keluar. Eksperimen ini diulang oleh Thorndike dan kucing itu berperangai sama. Setelah eksperimen ini dilakukan berulang-ulang hingga jumlah waktu untuk kucing bisa membuka pintu sangkar sedikit, akhirnya ia mampu membuka pintu sangkar tanpa mencakar ke san ke mari.
Dari eksperimen ini pendapat Thorndike bahwa pembelajaran merupakan proses menghubung-hubungkan di dalam sistem saraf dan tidak ada hubungannya dengan insight atau pengertian. Karena itulah teori pembelajarannya disebut connectionism atau S – R bond theory (teori gabungan stimulus – respons). Yang dihubung-hubungkan dalam sistem saraf adalah peristiwa-peristiwa fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Kedua jenis peristiwa dihubung-hubungkan ke dalam beberapa macam gabungan seperti, (1) peristiwa mental dengan peristiwa fisik, (2) peristiwa fisik dengan peristiwa mental, (3) peristiwa mental dengan peristiwa mental, dan (4) peristiwa fisik dengan peristiwa fisik. Yang dimaksud dengan peristiwa mental adalah segala hal yang dirasakan dengan pikiran, sedangkan peristiwa fisik adalah segala rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons).
Dari eksperimennya terhadap kucing, Thorndike merumuskan kaidah atau hukum pembelajaran yang utama, yaitu (1) the low of exercise (hukum latihan), (2) the low of effect (hukum akibat). Yang dimaksud dengan the low of exercise adalah hukum pembentukan kebiasaan atau tabiat (the low of habit formation) yang terbagi dua, yaitu the low of use (hukum guna) dan the low of disuse (hukum jarang guna). Yang dimaksud the low of use seperti terjadi pada contoh berikut. Jika dalam situasi, rangsangan (P) diikuti oleh tingkah laku (L) maka hubungan antara (P) dan (L) semakin diperkuat exercise atau latihan ulangan. Jadi hubungan antara kucing dalam sangkar (P) dan kucing yang lepas dari sangkar (L) senakin diperkuat karena sering dilakukan. Sebaliknya, jika dalam situasi ini (P) jarang diikuti (L) maka hubungan keduanya akan lemah.
Yang dimaksud dengan the low of effect adalah yang dikenal dengan reinforcement atau penguatan. Jika suatu perilaku memberi hasil memuaskan, maka hubungan situasi dengan perilaku itu akan diperkuat. Perilaku itu cenderung diulang. Sebaliknya jika hasil tidak memuaskan, maka perilaku itu tidak akan atau jarang terjadi lagi.
Jadi teori ini pada dasarnya menyarankan tiga prinsip yang dirumuskan sebagai berikut.
1. Jika suatu organisme bersedia melakukan suatu tindakan, maka menyelesaikan suatu perbuatan itu akan menimbulkan kepuasaan hati.
2. Jika satu urutan rangsangan (stimulus) – gerak balas (respons) diikuti oleh satu keadaan yang memuaskan hati, maka hubungan S – R itu akan diperkuat; sementara pengganggu akan menghentikan pengulangan itu.
3. Hubungan-hubungan S – R dapat diperkuat melalui latihan-latihan.
c. Teori Behaviorisme dari Watson
Teori behaviorisme diperkenalkan oleh John B. Watson (1878 – 1958) ahli psikolog berkebangsaan Amerika. Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan klasik Pavlov dalam bentuk baru yang lebih terperinci serta didukung oleh eksperimen baru dengan binatang terutama tikus dan anak kecil (bayi). Watson dikenal sebagai bapak behaviorisme karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus – Repons Bond (S – R bond) yang juga dalam persaingan dengan teori strukturalisme dan mentalisne Wundt. Menurut behaviorisme oleh Watson tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku; dan sedikit pun tidak ada kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji psikologi menurut teori ini adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons); sedangkan hal-hal yang terjadi dalam otak tidak berkaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran, menurut Watson tidak ada perbedaan antara manusia dan hewan.
Oleh karena kesadaran tidak termasuk benda yang dikaji oleh behaviorisme, maka psikologi ini telah menjadikan ilmu mengenai perilaku manusia ini menjadi sangat sederhana dan mudah dikaji. Karena semua perilaku menurut behaviorisme ternasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jadi, gerak balas telah diamati dan diketahui naka rangsangan pun dapat diprediksikan. Begitu juga jika rangsangan telah diamati dan diketahui maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Dengan demikian setiap perilaku itu dapat diprediksikan dan dikendalikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap semua perilaku. Jadi, semua perilaku dipelajari menurut hubungan stimulus – respons.
Untuk membuktikan kebenaran teori behaviorismenya terhadap manusia, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert seorang bayi berumur 11 bulan. Albert adalah seorang bayi yang senang bermain tikus putih berbulu halus dan cantik. Dalam eksperimen ini, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap Albert ingin mendekati dan memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut pada tikus putih itu dan juga pada kelinci putih. Bahkan semua benda berbulu putih. Dengan eksperimen itu Watson menyatakan bahwa dia telah berhasil membuktikan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku seseorang secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus – respons, Watson mengemukakan dua prinsip penting, yaitu (1) recency principles (prinsip kebaruan), dan (2) frequency principles (prinsip frekuensi). Menurut recency principles jika stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberi umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang. Menurut frequency principles apabila stimulus dibuat lebih sering menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.
d. Teori Kesegeraan dari Guthrie
Teori kesegeraan atau kedekatan (dalam bahasa Inggris disebut temporal contiguity atau contigous conditioning) diperkenalkan E. R. Guthrie. Menurut Guthrie kesegeraan hubungan di antara satu gabungan stimulus – respons akan memperbesar kemungkinan berulangnya pola pasangan stimulus – respons ini. Terjadinya respons yang segera dari suatu gabungan stimulus – respons merupakan pembelajaran itu sendiri. Respons merupakan kunci pembelajaran dalam teori ini, dan bukannya penguatan (reinforcement). Guthrie juga menegaskan bahwa penguatan tidaklah begitu penting karena penguatan hanya berfungsi sebagai satu faktor yang mencegah organisme mencoba respons yang lain.
Selain faktor kesegeraan, Menurut Guthrie, perlu juga diingat bahwa suatu pola stimulus akan mencapai puncak kekuatan hubungannya pada waktu stimulus itu berpasangan dengan satu respons untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, Guthri berpendapat bahwa pembelajaran tidak berlangsung secara perlahan-lahan atau berangsur-angsur tetapi secara coba-tunggal (single-trial). Oleh karena itu, latihan dan ulangan diperlukan untuk membiasakan stimulus baru untuk menimbulkan respons yang dikehendaki. Jika respons yang dikehendaki ini terjadi berulang-ulang, maka organisme akan cenderung kurang untuk memberikan respons yang lain.
Pembelajaran coba-tunggal (single-trial learning) yang dianjurkan oleh Guthrie memerlukan pengaturan keadaan sedemikian rupa sehingga stimulus-stimulus yang diberikan menimbulkan respons-respons yang betul. Oleh karena itu, kesalahan-kesalahan harus dihilangkan dengan cara mengkaji stimulus dengan seksama agar menimbulkan respons yang betul bersama-sama stimulusnya.
e. Teori Pembiasaan Operan dari Skinner
Teori pembiasaan operan (pembiasaan instrumental) diperkenalkan B. F. Skinner ahli psikologi Amerika sebagai tokoh utama neobehaviorisme bentuk baru dari teori behaviorisme.
Teori tentang pembiasaan operan (operan condotioning) dijelaskan dengan percobaan Skinner terhadap seekor tikus. Dalam sebuah kotak (kotak skinner) terdapat sebuah kaleng makanan, dan di luar kotak terdapat semacam alat untuk menjatuhkan biji-biji makanan ke dalam kaleng itu. Setiap kali biji makanan itu jatuh ke dalam kaleng akan terdengar bunyi “ting" yang nyaring; dan bunyi “ting" menandakan ada makanan jatuh ke dalam kaleng tersebut. Seekor tikus dimasukkan ke dalam Biji-biji makanan jatuh ke dalam kaleng jika sebatang besi yang disisipkan ke dalam kotak itu dipijak oleh tikus. Pada waktu itu tikus lapar dan secara kebetulan batang besi dipijak olehnya, biji-biji makanan pun jatuh ke dalam kaleng. Setelah beberapa kali tikus mengetahui apabila ia menekan batang besi, maka makanan jatuh ke dalam kaleng.
Biji itu adalah penguat (reinforcer); peristiwa penekanan batang besi adalah peristiwa penguatan (reinforcing event); munculnya masskan disebut rangsangan penguat (reinforcing stimulus); sedangkan perilaku tikus disebut perilaku yang dibiasakan (conditioned response).
Perilaku yang dibiasakan bersifat “operan" atau “instrumental". Tingkah laku yang operan mempunyai pengaruh terhadap lingkungan; dan lingkungan yang dipengaruhi ini memberikan hadiah sebagai penguatan kepada pelaku yang mengeluarkan perilaku tersebut. Hadiah yang menjadi penguatan tersebut yang menyebabkan tikus cenderung menekan besi itu.
Dari percobaan itu, Skinner menarik kesimpulan bahwa penguatan (reinforcement) selalu menambah kemungkinan berulangnya perilaku. Karena itu, ia berpendapat bahwa penguatan (reinforcement) harus dilakukan sebelum tingkah laku lain mengganggu agar mendapat hasil maksimal. Selanjutnya, karena penekanan akan perlunya penguatan menjadi dasar teori ini. Maka teori pelaziman instrumental disifatkan sebagai S – R – R yaitu stimulus – respons – reinforcement. Dalam hal percobaan tersebut perilaku yang dibiasakan yaitu menekan batang besi yang bersifat instrumental untuk mendapat hadiah, yakni biji makanan atau kemungkinan mendapat hukuman.
Skinner percaya bahwa proses pembelajaran yang utama antara hewan dan manusia sama. Jadi, mesin pengajarannya juga sama, yakni berdasar prinsip pembelajaran melalui penguatan. Bagi Skinner dalam pembelajaran guru adalah arsitek pembentukan tingkah laku siswa agar dapat bertutur sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa itu. Tujuan pembelajaran itu dibagi dalam tugas-tugas kecil yang diperkuat satu demi satu agar rangkaian perbuatan (operan) sehingga dapat menambah kemungkinan perbubatan ini berulang di kemudian hari. Guru harus benar-benar memperhatikan watu yang tepat untuk memberi penguatan; begitu juga selang pemberiannya harus diatur dengan baik.
Menurut Skinner yang penting diperhatikan adalah hubungan stimulus dan respons yang langsung dapat diamati, jangan memperhatikan hubungan mental antara keduanya larena hubungan itu tidak dapat diamati. Mengenai perilaku berbahasa (verbal behavior) yakni perilaku yang dapat diperkuat melalui perantara orang lain, Skinner telah memperkenalkan satu analisis fungsional menyangkut masalah dalam perilaku berbahasa. Analisis fungsional adalah pengenalan alan variabel-variabel yang mengawasi dan mengatur perilaku berbahasa, bagaimana variabel-variabel saling berhubungan untuk menentukan respons berbahasa tertentu. Variabel ini harus diuraikan berdasarkan pengetahuan mengenai stimulus respons, penguatan, dan “ perampasan" kembali yaitu apabila hadiah yang diberikan diambil kembali, dihentikan atau ditunda pemberiannya. Menurut Skinner perilaku berbahasa manusia dapat diprediksi dan dikendalikan dengan cara mengamati dan memanipulasi lingkungan fisik seseorang itu. Pendapat uni berdasarkan pada hasil eksperimen yang dilakukan terhadap hewan, dengan keyakinan bahwa penemuan-penemuan eksperimen dengan hewan itu dapat juga dilakukan terhadap manusia tanpa kesulitan. Dengan kata lain, proses pembelajaran pada hewan sama dengan pembelajaran manusia. Bagi Skinber perbedaan makhluk atas nanusia dan hewan tidak berlaku dalam eksperimen-eksperimennya.
Bagi Skinner perilaku berbahasa lebih banyak dipengaruhi atau disebabkan oleh rangsangan (stimulus) dari luar serta pengukuhan (reinforcement) dari rangsangan.itu. Dia juga tidak menerima akan adanya “kepandaian yang dibawa sejak lahir" dalam pembelajaran berbahasa itu semata-mata diperoleh sebagai hasil rangsangan dan pengukuhan terhadap rangsangan itu. Mengenai akuisisi atau pemerolehan bahasa ibu oleh kanak-kanak Skinner berpendapat bahwa pemerolehan itu berlangsung secara berangsur-angsur mengikuti peristiwa-peristiwa tertentu.
f. Teori Pengurangan Dorongan dari Hull
Teori pengurangan dorongan atau ketegangan termasuk kelompok teori S-R, diperkenalkan oleh Clark Hull (1952) yang dibentuk berdasarkan teori Pavlov. Yang dimaksud dorongan atau ketegangan dalam teori ini adalah “keadaan tegang" (tension state) sementara yang dialami oleh organ (tubuh manusia) yang diaktifkan, didorong, atau digiatkan oleh keperluan fisik seperti keadaan lapar atau haus. Teori ini mempunyai empat peringkat pembelajaran: (a) peringkat pertama berupa variabel bebas yang dapat berdiri sendiri; (b) peringkat kedua dan ketiga berupa variabel penengah; dan (c) peringkat keempat berupa variabel tidak bebas (tidak berdiri sendiri).
Ke dalam peringkat variabel bebas (yang dapat berdiri sendiri) termasuk pengalaman-pengalaman, ganjaran-ganjaran, dan sejumlah rangsangan. Ke dalam peringkat variabel penengah termasuk dorongan atau ketegangan, motivasi yang berupa ganjaran, kekuatan yang mengikat rangsangan respons apabila terjadi rangsangan. Lalu ke dalam peringkat variabel yang tidak bebas (tidak berdiri sendiri) adalah termasuk frekuensi terjadinya respons, kecepatan respons, dan ketahanan respons itu.
g. Teori Mediasi dari Osgood
Teori mediasi atau penengah (mediation theory) termasuk ke dalam golongan teori S – R diperkenalkan oleh Osgoogld (1953 – 1962). Teori mediasi ini merintis lahirnya teori-teori kognitif karena mengakui adanya faktor mediasi atau penengah di antara rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons). Walau begitu kecenderungan teori ini ke arah behaviorisme masih lebih besar daripada ke arah kognitifisme. Oleh karena itu, dimasukkan ke dalam golongan tepri S – R, namun karena keprogresifannya teori ini juga masuk golongan teori neobehaviorisme.
Teori mediasi atau penengah yang disarankan oleh Osgood menjelaskan pembelajaran menurut rumus:
S - rm - sm - R
Menurut rumus itu S adalah stimulus, rm adalah respons mediasi atau respons penengah, sm adslah stimulus mediasi atau penengah, dan R adalah respons. rm dan sm terjadi pada otak (organ) manusia. Menurut rumus itu, organ tidak hanya “diserang" oleh satu stimulus utama (S) tertentu saja, tetapi juga oleh beberapa stimulus tambahan di sekitar stimulus utama tadi secara serentak.
Osgood juga menjelaskan proses pemeroleham semantik berdasarkan teori mediasi atau penengah ini. Menurutnya makna merupakan hasil proses prmbelajaran dan pengalaman seseorang dan merupakan satu proses mediasi yang melambangkan sesuatu. Makna sebagai proses mediasi pelambang dan satu bagian yang distingtif dari keseluruhan respons terhadap satu objek yang telah dibiasakan pada kata untuk objek itu. Makna ini sebagai satu proses mediasi yang bertindak sebagai sm untuk merangsang seseorang memberi respons dengan cara tertentu pada objek asli terutama memberikan respons linguistik (bahasa)
Osgood juga memperkenalkan konsep sign (tanda atau isyarat) sehubungan dengan makna ini. Sign adalah satu pola rangsangan yang memunculkan satu respons penengan dalam organ (manusia). Menurut Osgood kata-kata adalah sign yang dibiaskan pada bagian tertentu dari keseluruhan respons objek asli dan berfungsi dalam perilaku sebagai proses mediasi pelambang.
h. Teori Dua Faktor dari Mouwer
Secara lengkap teori ini bernama teori dua faktor yang disempurnakan (revised two factor theory). Teori ini masih golongan teori S – R diperkenalkan oleh D. Hobart Mouwer (1960). Disebut teori dua faktor yang disempurnakan karena ada dua jenis pengukuhan, sedangkan sebelumnya satu jenis pengukuhan. Kedua jenis pengukuhan itu adalah:
(1) Pengukuhan bertambah (incremental reinforcement)
(2) Pengukuhan berkurang (decremental reinforcement)
Pengukuhan bertambah disebut hukuman kedua atau tambahan karena perasaan takut atau kecewa telah ditambahkan atau dibangkitkan dengan pengukuhan ini. Menurut Mouwer hanya perasaan (emosi) yang dapat dibiasakan, sedangkan perilaku tidak. Jadi, setiap respons yang dilazimkan adalah satu respons emosi yang bertindak sebagai dorongan yang merangsang seseorang untuk bertindak. Maka, dengan menambah rasa takut (hukuman tambahan) pengukuhan akan semakin tertingkatkan karena individu akan bertindak lebih sungguh-sungguh untuk mengelakkan hukuman tambahan ini. Menurut teori Mouwer, perasaan takut dan mengharapkan sesuatu, begitu juga perasaan lega dan kecewa merupakan reaksi penengah atau mediasi yang telah dilazimkan terhadap rangsangan yang berhubungan dengan gerak balas (respons) yang membangkitkan ganjaran atau hukuman. Pengukuhan berkurang merupakan ganjaran karena berkurangnya pengukuhan ketegangan yaitu disebabkan oleh perasaan takut menjadi berkurang; dengan demian pengharapan dan perasaan lega telah dibangkitkan. Pada waktu ganjaran terjadi, maka seseorang akan merasa lega begitu satu sign muncul, menandakan bahwa peristiwa yang tidak diinginkan telah dielakkan.
Perlu juga disebutkan bahwa semua perasaan (emosi) dalam pengukuhan bertambah maupun berkurang, telah dibiasakan sebelumnya pada rangsangan-rangsangan lingkungan atau respons-respons yang berkaitan dengan rangsangan itu. Ditekankan bahwa dalam teori Mouwer, reaksi atau respons mediasi diwakili oleh emosi-emosi akan membentuk tabiat dan bukan respons fisik. Oleh karena reaksi mediasi atau penengah yang dilazimkan membentuk tabiat, respons tersebut tidak diberi ganjaran, tetapi karena peniadaan reaksi pengharapan yang berfungsi sebagai pengukuhan tambahan.
Dari keterangan di atas, Mouwer yakin bahwa pembiasaan emosi pengharapan dan emosi ketakutan merupakan kunci proses pembelajaran. Emosi-emosi ini bertindak sebagai rangsangan mediasi atau penengah yang merangsang individu untuk bertindak atau merespons.
Teori Mouwer cenderung kepada behaviorisme karena emosi-emosi terlwbih dahulu dibiasakan terhadap rangsangan lingkungan sebelum mendapat kekuatan sendiri untuk membangkitkan reaksi. Teori Mouwer lebih maju sedikit dari behaviorisme Watson, karena mengakui adanya proses mediasi atau penengah. Oleh karena itu, teori ini termasuk neobehaviorisme oleh Osgood.
Teori Mouwer diterapkan juga dalam pengkajian pemerolehan bahasa Teori pemerolehan bahasa ibu disebut self satisfaction theory (teori pemuasan diri). Menurut Mouwer mulanya bayi mendengar kata pertama dari ibunya, meniru kata-kata ibunya, untuk merasakan kehadiran ibu yang dicintai karena telah memperoleh kasih sayang. Jadi, emosi kasih sayang pada ibunya bertindak sebagai pengukuhan tambahan yang membangkitkan respons atau emosi cinta. Kemudian peniruan kata-kata berfungsi sebagai pengukuhan utama karena dengan meniru bayi memperoleh apa yang diinginkan. Dengan demikian pengucapan kata-kata menjadi bagian dari tabiatnya.
Mengenai pemerolehan semantik (makna), teori Mouwer sama dengan Osgood. Kata- kata yang dimiliki anak kaitannya dengan sebuah objek atau situasi yang bermakna; dan sebagian respons terhadap kata dan objek atau situasi telah dibiasakan sebagai respons penengah atau mediasi. Bagian respons yang dibiasakan menjadi makna kata bagi kanak-kanak. Apabila anak mendengar kata-kata itu, maka bagian respons akan dibangkitkan.
2. Teori-Teori Kognitif
Teori-teori kognitif pada awal kelahirannya dimulai dengan penggunaan teori S – R dan teori Gestalt yang dilakukan oleh Tolman dkk. Yang dimaksud teori kognitif adalah pengkajian bagaimana cara pengalaman mempengaruhi persepsi. Dengan kata lain, teori kognitif mencoba mengkaji proses-proses akal atau mental yang berlaku pada waktu proses pembelajaran berlangsung.
a. Teori Behaviorisme Purposif dari Tolman
b. Teori Medan Gestalt dari Wertheimer
c. Teori Medan dari Lewin
d. Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget
e. Teori Genetik Kognitif dari Chomsky
IKHTISAR BAB VII
ASPEK NEUROLOGI BAHASA
Pada dasarnya keseluruhan proses berbahasa yang bersifat dua arah bisa terjadi apabila alat-alat fisiologi pada manusia sebagai penutur dan pendengar dalam keadaan sehat-normal, dan hal itu tentu saja dikendalikan oleh otak baik dari proses pengiriman hingga penerimaan dari penutur kepada pendengar dan sebaliknya. Selain itu otak juga sebagai pengendali gerak dan aktivitas manusia.
1. Struktur, Fungsi, dan Pertumbuhan Otak
Otak (serebrum dan serebelum) adalah salah satu komponen penting dalam sistem susunan saraf manusia. Komponen lainnya yaitu sumsum tulang belakang atau medula spinalis dan saraf tepi. Pertama, otak berada dalam ruang tengkorak, medula spinalis berada di dalam ruang tulang belakang sedangkan saraf tepi (saraf spinal dan saraf otak sebagian berada di luar kedua otak tadi.
Otak bayi ketika dilahirkan hanya 40% dari otak orang dewasa, sedangkan primata seperti kera dan simpanse 70% dari otak dewasa. Dari perbandingan tersebut, tampak bahwa manusia dikodratkan untuk mengembangkan otak dan kemampuannya secara cepat. Saat dewasa, manusia memiliki otak seberat 1350 gram, sedangkan simpanse dewasa hanya memiliki berat otak 450 gram. Meskipun ada manusia kerdil yang termasuk “nanocephalic" yang berat otaknya hanya 450 gram.
Perbedaan lain antara manusia dengan makhluk lainnya yang terletak pada struktur dan fungsinya. Ada bagian-bagian otak manusia yang sifatnya manusiawi seperti bagian pendengaran, ujaran, pengontrolan alat ujaran dan sebagainya. Sebaliknya otak makhluk lain berhubungan dengan insting yang dalam otak manusia tidak banyak.
Bagian otak terdiri dari dua hemisfer (belahan) yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh korpus kolosum. Bagian hemisfer terbagi lagi menjadi dua bagian besar yang disebut lobus yang terdiri dari lobus frontalis, lobus parietalis, lobus eksipitalis dan lobus temporalis.
Permukaan otak disebut sebagai korteks serebri yang tampak berkelok-kelok dan membentuk lekukan (disebut sulkus), dan benjolan (disebut girus). Dengan adanya sulkus dan girus, permukaan otak korteks serebri menjadi lebih luas.
Korteks serebri berperan penting baik pada fungsi elementer, seperti pergerakan, perasaan, dan pancaindra, maupun pada fungsi yang lebih tinggi dan kompleks yaitu mental atau fungsi luhur atau fungsi kortikal (dari kata korteks). Fungsi kortikal antara lain terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa).
Girus terletak pada hemisfer kiri dan kanan yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Korteks hemisfer kanan menguasai fungsi elementer dari sisi tubuh sebelah kiri, dan korteks hemisfer sebelah kiri menguasai fungsi tubuh sebelah kanan. Andai korteks presental hemisfer kanan sebagai pusat pergerakan tubuh rusak, maka kelumpuhan akan terjadi pada sisi tubuh sebelah kiri.
Isi pikiran, memori, emosi, bicara-bahasa merupakan hasil dari kerja otak yang berupa manifestasi psikologis yang utuh. Fungsi kortikal mempunyai lokalisasi kortikal yang utama, tetapi hasil kerjanya merupakan suatu sistem fungsional dengan bagian-bagian lain dari otak.
Perkembangan dan pertumbuhan otak manusia menurut Volpe (1987), tahap-tahapnya yaitu:
1. Pembentukan tabung neural
2. Profilerasi selular untuk membentuk calon sel neuron dan glia
3. Perpindahan selular dari germinal subependemal ke korteks
4. Deferensiasi selular menjadi neuron spesifik
Perkembangan tahap 1 sampai 4 pada masa kandungan, dan tidak dipengaruhi oleh dunia luar, sedangkan tahap 5 dan 6 berlangsung terus setelah lahir, dan dipengaruhi oleh dunia luar atau keadaan sekitarnya (Goodman, 1987).
2. Fungsi Kebahasaan Otak
Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang kidal. Hemisfer kiri adalah hemisfer yang dominan bagi bahasa sehingga korteksnya disebut korteks bahasa. Hemisfer dominan lebih berat, lebih besar girusnya dan panjang. Hemisfer kiri mempunyai arti penting bagi bicara-bahasa, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal (verbal memory). Sebaliknya hemisfer kanan berperan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat (gesture), baik yang emosional maupun verbal.
Hemisfer kiri (hemisfer dominan) dalam fungsi bicara-bahasa dipengaruhi oleh aktivitas hemisfer kanan, sehingga pembicaraan seseorang cenderung tidak monoton, tak ada pasodi, tak ada lagu kalimat, tanpa menampakkan adanya emosi, tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.
Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Perancis, Paul Broca menemukan pasien yang tidak dapat berbicara, hanya dapat mengucapkan “tan-tan”. Setelah pasien itu meninggal dan dibeda terjadi di kerusakan di daerah frontal, daerah itu disebut daerah Broca (sesuai dengan penemunya). Jadi kerusakan pada Broca itu menyebabkan seseorang mendapat kesulitan dalam menghasilkan ujaran.
Broca juga melaporkan pada daerah yang sama hemisfer kanan tidak menimbulkan pengaruh yang sama. Penemuan ini menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak di belahan atau hemisfer kiri otak; dan daerah Broca berperan penting dalam proses atau perwujudan bahasa.
Satu daerah lagi yang terlibat dalam proses ujaran adalah daerah kortek ujaran superior atau daerah motor suplementer. Bukti bahwa daerah itu dilibatkan dalam artikulasi ujaran fisik berasal dari ahli bedah saraf.
3. Teori Lateralisasi
Dari teori Broca dan Wernicke dapat ditarik kesimpulan yang menyatakan adanya spesialisasi atau semacam pembagian kerja pada bagian daerah-daerah otak (korteks serebrum) manusia. Satu teori dapat ditarik secara jelas bahwa belahan korteks dominan (hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk mengukur penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah, dalam studi neurolinguistik hal ini disebut lateralisasi (lateralization).
Adapun beberapa eksperimen yang dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi yaitu.
a. Tes Menyimak Rangkap (Dichotic Listening)
b. Tes Stimulus Elektris (Electrical Simulation of Brain)
c. Tes Grafik Kegiatan Elektris (Electris-Enchepalo Graphy)
d. Tes Wada (Tes Amysal)
e. Teknik Fisiologi Langsung (Direct Physiological Technique)
f. Teknik Belah-Dua Otak (Bisected Brain Technique)
4. Teori Lokalisasi
Teori lokalisasi atau yang lazim disebut pandangan lokalisasi (localization view) berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan di daerah Wernicke. Beberapa wilayah dalam otak ada kaitannya dengan kegiatan berbahasa. Hand and writing adalah wilayah yang mengendalikan tangan kanan, speech dan face adalah wilayah yang mengendalikan saraf saluran ucapan, auditory adalah wilayah yang memproses bahasa lisan terutama melalui telinga kanan. Tactile adalah wilayah yang memproses informasi pengindraan melalui kulit, saraf, dan tangan kanan. Sedangkan visual adalah wilayah yang memproses bahasa tulis. Di bagian tepi terdapat yang bernama frontal, parental, occipital, dan temporal yang keempatnya tidak punya pengaruh dalam proses bahas-ujar.
Beberapa teori yang menunjukkan teori lokalisasi ini, antara lain sebagai berikut.
a. Teknik Stimulus Elektrik
b. Teknik Perbedaan Anatomi Otak
c. Cara Melihat Otak dengan PET (Positron Emission Tomography).
5. Hemisfer yang Dominan
Sebuah teori menyatakan bahwa otak mempunyai daerah konvergensi bahasa (language convergence zones). Teori tersebut mengatakan bahwa:
1. Setiap orang memiliki pola otak yang unik, yang mendasari kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Hasil temuan membuktikan bahwa wanita memiliki pola otak yang membuat IQ verbalnya lebih besar dibandingkan pria.
2. Bahasa pertama (bahasa ibu) seseorang berkaitan dengan jaringan sel saraf, sedangkan bahasa kedua berkaitan dengan otak.
3. Aspek-aspek lain dari kemampuan berbahasa seperti nomina dan verba ternyata diproses pada bagian otak yang berbeda.
6. Otak Wanita
Majalah Femina edisi bulan Juni 1999 menurunkan artikel berjudul “Otak Kita, Keunggulan Kita", dan yang dimaksud dengan kita di sini adalah wanita. Dalam tulisan itu diakui memang ukuran otak pria lebih besar antara 10-15% daripada otak wanita. Konon karena lebih besar ini, otak pria dikira lebih unggul. Padahal temuan mutakhir di bidang neurologi menegaskan bahwa dalam beberapa hal, otak wanita lebih unggul. Telah dibuktikan bahwa otak wanita berfungsi secara berbeda dengan otak pria, dan dalam beberapa hal perbedaan itu membuat wanita lebih unggul. Letak keunggulan otak wanita dijelaskan sebagai berikut.
a. Otak Wanita Lebih Seimbang
Asumsi adanya perbedaan cara kerja otak pria dan wanita itu dikukuhkan oleh perbedaan kepadatan sel-sel saraf atau neuron pada suatu daerah di otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terlepas dari soal ukuran, daerah tertentu otak wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan otak pria. Makin banyak jumlah neuron di suatu daerah, makin kuat fungsi otak di sana. Contohnya kesan “cerewet” (dalam arti ) yang ada pada wanita maka dapat dikatakan wanita memiliki kemampuan verbal yang tinggi, yang dapat dilacak ke otaknya. Daerah otak wanita yang mengurus kemampuan kognitif tingkat tinggi (antara lain kemampuan berbahasa) lebih. Banyak neuronnya dibandingkan dengan daerah yang sama pada otak pria.
Anak-anak perempuan lebih cepat pandai berbicara, membaca, dan jarang mengalami gangguan belajar dibandingkan anak laki-laki, para ahli juga memperkirakan ada kaitannya dengan kemampuan wanita menggunakan kedua belah hemisfernya (kiri dan kanan) ketika membaca atau melakukan kegiatan verbal lainnya. Sedangkan pria hanya menggunakan salah satu hemisfernya (biasanya sebelah kiri).
Penggunaan otak kiri dan kanan serentak membuat wanita dewasa lebih lincah dalam soal verbal dibandingkan pria. Terbukti dalam waktu yang sama, wanita dapat menyebut lebih banyak huruf serta jauh lebih cepat dalam mengingat huruf dibandingkan pria. Begitu juga saat stroke, cedera otak tidak terlalu mengganggu kemampuan berbahasa wanita kalaupun terganggu akan lebih cepat pulih dibanding pria.
Menurut Mark George M.D., ahli neurologi Medical University South Caroline, Amerika Serikat apa pun yang dilakukan wanita bagian otaknya yang bekerja selalu lebih luas dibandingkan pria. Dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) pada pria tampak kegiatan neuron-neuron berupa nyala hanya pada bagian tertentu, sedangkan ketika otak wanita digunakan daerah yang menyala sangat luas. Karena serat-serat yang menyumbat antardaerah di otak wanita lebih tebal dibandingkan pria. Dengan begitu, para peneliti menyimpulkan wanita memiliki kemampuan memadukan banyak aspek kognitif dalam berpikir, bukan hanya rasio, tetapi juga emosi dan insting. Ada juga yang mengatakan kemampuan itu seperti intelegensi emosional atau intuisi wanita walau masih kesimpulan kontroversial.
b. Otak Wanita Lebih Tajam
Menurut
c. Lebih Awet dan Selektif
pun beberapa eksperimen yang dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi yaitu.
7. Peningkatan Kemampuan Otak
8. Pemberhasaan Hewan
IKHTISAR BAB VIII
GANGGUAN BERBAHASA
Gangguan berbahasa secara garis besar dibagi menjadi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, gangguan akibat faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat faktor medis adalah akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu (1) gangguan berbicara, (2) gangguan berbahasa, dan (3) gangguan berpikir. Ketiga gangguan tersebut dapat diatasi jika penderita mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak maka akan sukar.
1. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonial), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
1) Gangguan Akibat Faktor Pulmonial
Gangguan berbicara ini dialami para penderita penyakit paru-paru yang kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga berbicaranya diwarnai oleh masa yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah
2) Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya dari segi semantik dan sintaksis ucapannya masih bisa diterima
3) Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih digerakkan. Untuk mencegah rasa pedih tersebut maka ketika berbicara aktivitas lidah akan dikurangi. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan fonem menjadi tidak sempurna, sehingga kata atau kalimat yang diucapkan tidak terdengar jelas. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (gangguan artikulasi).
4) Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit tersebut tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini).
b. Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial (berbagai faktor) bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan bicara, antara lain sebagai berikut.
1. Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan" sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari-hari kasus ini sering dijumpai; dan dalam praktik kedokteran kasus ini sering ditemui. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
2. Berbicara Propulsi
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan gerakan-gerakan. Mereka sukar sekali memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak yang maju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara, ciri khas akan tampak. Artikulasi terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap. Pada saat itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya tersendat-sendat, terus menerus, dan akhirnya tersendat-sendat lagi. Oleh karena itu disebut propulsif.
3. Berbicara Mutis
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekal. Sebagian dari mereka memang dianggap membisu , yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik dan sebagainya. Dunia ilmiah belum dapat menjelaskan apa mutisme itu, oleh karena itu, tak heran kalau kita mendapat berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme. Orang yang tidak dapat berkomunikasi verbal dinyatakan sebagai mutistik. Seseorang yang membisu sebagai tindakan proses non verbal dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan histeria lain adalah mutisme elektif karena membisunya ditujukan kepada orang tertentu, misalnya kepada guru atau pacarnya. Dewasa ini, apa yang dulu dikenal sebagai mutisme kinetik lebih dikenal sebagai locked-in syndrome. Dalam hal ini si penderita yang masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan hampir semua organ yang masih berfungsi. Hanya gerakan voluntar, pikiran, minat, keinginan, dan semua fungsi luhur lainnya sudah tidak bekerja sama sekali. Mutisme lai yang tidak dapat disembuhkan disebut mutisme idiopatik, yakni mutisme yang belum diketahui penyebabnya.
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu apalagi bisu-tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi. Sehingga tidak bisa memproduksi ujaran-ujaran berbahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga ia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena tidak pernah mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga tidak bisa menirukan ujaran-bahasa itu.
Pasien golongan pertama, alat artikulasinya rusak atau mengalami kelainan, sedangkan alat dengarnya normal. Kalau fungsi hemisfer otak dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi. Hanya saja jika diajak bertutur dia akan menjawab atau bertanya dalam bahasa isyarat, atau dalam bahasa tulis (jika sudah belajar menulis).
Pasien golongan kedua yang bisu dan tuli karena alat artikulasi dalam alat pendengarannya rusak, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih akan dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat atau dengan “membaca bibir" . Untuk dapat berkomunikasi tentunya memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus yang memakan banyak waktu.
Pasien golongan ketiga yang menjadi bisu karena kerusakan atau kelainan alat dengarnya, kalau fungsi hemisfer otak yang dominannya normal, masih bisa dilatih untuk memproduksi ujaran-bahasa secara tidak sempurna karena tidak bisa mendengar suara ujaran-bahasa itu. Pelatihan dilakukan dengan cara memperhatikan, memegang, dan merasakan “gerakan mulut" pelatih bicaranya. Ini memerlukan waktu yang cukup lama.
Ketiga golongan pasien kasus kebisuan tidak berkaitan dengan fungsi otak. Hanya barangkali perkembangan fungsi otak yang terganggu.
c. Gangguan Psikogenik
1. Berbicara Manja
Disebut berbicara hanya karena orang yang melakukannya terkesan meminta perhatian untuk dimanja. Berbicara manja ditandai dengan adanya perubahan pada cara berbicaranya. Seperti fonem atau bunyi [s] yang dilafalkan sebagai bunyi [c] pada kalimat “Saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja, ya" sehingga diucapkan “Caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah caja, ya". Dengan berbicara demikian, orang tersebut mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati pada orang tua pikun dan jompo (biasanya wanita). Gejala tersebut memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral.
2. Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang (Inggris: lisp; Belanda: lispelen). Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika terjadi pada pria.
3. Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena seringnya tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suka kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Sering kali pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat meskipun dengan susah payah juga. Usahanya yang gagal mengucapkan kata pertama membuat pembicara merasa letih dan kecewa.
Hal-hal berikut dianggap memiliki peranan yang menyebabkan terjadinya kegagapan itu.
1) Faktor-faktor “stres" dalam kehidupan keluarga
2) Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak
3) Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan
4) Faktor neurotik famial
Dulu ada anggapan bahwa gagap terjadi karena adanya pemaksaan untuk menggunakan tangan kanan pada anak-anak yang kidal. Namun kini, anggapan tersebut tidak dapat dipertahankan. Menurut Sidharta (1989) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki daripada kaum perempuan, dan lebih banyak pada golongan remaja daripada golongan dewasa (Chauchard, 1983).
4. Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau meniru apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latah berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Yang sering dihinggapi latah adalah perempuan berumur 40 ke atas. Awal mula timbulnya latah, menurut mereka yang terkena latah, adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan sepanjang belut. Latah berkorelasi dengan kepribadian histeris. Kelatahan ini merupakan “excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku porno yang pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
3. Gangguan Berbahasa
Berbahasa adalah berkomunikasi dengan media atau sarana utamanya yaitu bahasa. Kemampuan berbahasa manusia sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir itu. Anak yang lahir dengan artikulasi dan auditori yang normal akan dapat meniru kata-kata, dan mendengar dengan baik kata-kata yang diperdengarkan di dekat telinganya. Pada awalnya anak hanya terdengar meniru (mengimitasi) apa yang didengarnya, sehingga ucapan yang ditirukan itu mirip, tetapi lambat laun akan tegas dan jelas. Proses produksi kata-kata berlangsung sejalan dengan proses pengembangan, pengenalan, dan pengertian (gnosis dan kognisis). Dalam perkembangan tersebut kata-kata menjelma menjadi perkataan yang berupa abstraksi (kata-kata yang mengandung makna dan memberi gambaran). Seperti yang dikatakan sebelumnya media utama berbahasa adalah bahasa itu sendiri. Untuk berbahasa maka diperlukan data atau kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata sebagai bagian dari bahasa. Itu berarti bagian atau daerah otak yang paling berfungsi dengan baik yaitu Broca dan Wernicke. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya akan menyebabkan gangguan berbahasa yang disebut afasia. Dalam hal ini Broca sendiri menamai gangguan tersebut afemia.
Perkembangan gerakan voluntar pada otak mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian menjadi luwes, yang ternyata tidak terjadi pada kedua belahan otak (hemisferium) secara sama. Mekanisme neuronal mendasari penypurnaan gerakan voluntar dengan lebih lengkap dan lebih rumit pada salah satu belahan otak saja. Oleh karena itu, terdapat orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak sebelah kiri daripada sebelah kanan, atau sebaliknya. Contohnya orang kidal dan tidak kidal. Belahan otak (hemisferium) memiliki organisasi neuronal yang lebih sempurna sebagai hemisferium yang dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, daerah Broca dan Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan.
Kajian afasia atau afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang membingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin (neurolog kanak-kanak), dan Allen (psikolinguis) (Rappen dan Allen, 1988); tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi dan afasia motorik, yang dulu dikenal afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dikenal sebagai afasia Wernicke.
1. Afasia Motorik
Kerusakan pada belahan otak yang dominan menyebabkan terjadinya afasia motorik yang terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Atau lapisan di bahwa permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca. Atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karenanya terdapat tiga jenis afasia motorik sebagai berikut.
a. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka bila gudang penyimpanan itu musnah, tidak ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal masih bisa mengerti bahasa lisan maupun tulisan. Namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih bisa dilakukan.
b. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka bila terjadi kerusakan pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui alur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderita afasia motorik subkortikal tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa mengeluarkan mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.
c. Afasia Motorik Transkortikal
Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Seperti untuk menyebut “pensil" dengan pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Afasia ini disebut dengan afasia nominatif.
Semua penderita afasia motorik jenis apa pun bersikap “tidak berdaya", karena keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan untuk melakukannya tidak ada sama sekali.
2. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat terjadinya kerusakan lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan buka hanya pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun masih memiliki curah verbal meskipun tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Curah verbal itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.
Neologismenya itu diucapkan dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar, seakan berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkan maupun yang didengarnya (bahasa verbal yang normal) keduanya sama sekali tidak dipahaminya.
3. Gangguan Berpikir
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik seseorang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya dalam kata-kata dan kalimat yang dibuatnya. Setiap orang memiliki proyeksi kepribadian pada gaya bahasanya. Bahasa adalah ekspresi verbal yang bersumber dari pengutaraan pikiran, maka dapat disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresi verbal sebagai akibat dari gangguan pikiran dijelaskan sebagai berikut.
a. Pikun (Demensia)
Orang pikun menunjukkan banyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan perilaku, dan kemunduran segala macam fungsi intelektual. Gangguan itu menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat sering kali diulang-ulang. Pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi sehingga berpindah topik lain.
Dr. Martina Wiwie S. Nasrun (Media Indonesia, 21 Mei 2001) mengatakan kepikunan atau demensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan saya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif tersebut meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengenali tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara.
Penyebab pikun antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk penurunan jumlah zat-zat kimia dalam otak. Volume otak biasanya mengecil atau menyusut, sehingga rongga-rongga dalam otak melebar. Selain itu juga bisa disebabkan karena stroke, tumor otak, depresi, dan gangguan sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih, tetapi tidak seperti kondisi sebelumnya.
b. Sisofrenik
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat adanya gangguan berpikir. Para penderita sisofronik kronik dikenal dengan istilah schizophrenik word salad. Penderita ini dapat mengucapkan word-salad, dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Seorang penderita sisofrenia dapat berbicara terus menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gaya berbahasa sisofren dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pasca-halusinasi.
Sebelum diganggu halusinasi, bahasa penderita sisofrenik tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (bahasa pikiran diri sendiri) sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi sisofrenia tahap awal menyerupai mutisme elektif. Pada tahap penghalusinasi ini gaya bahasa verbal dan tulisnya dicoraki penggunaan kata ganti “aku” yang berlebihan. Lalu mengalami kesulitan mencari kosa kata yang tepat. Pada tahap berikutnya penderita mendeteksi bahwa kata-kata tidak ingin digunakan justru tidak sengaja digunakannya. Gangguan ekspresi verbal itu membuat penderita menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi terbatas. Begitu halusinasi auditorik mengganggunya sesungguhnya bukan gaya bahasa, melainkan makna curah verbalnya yang abnormal. Apa yang dibicarakan atau dikeluhkan tidak sama dengan halusinasinya.
c. Depresi
Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasa dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus-putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan nafas ke luar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya
4. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan hidup manusia. Keterasingan disebabkan karena perlakuan disengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan di alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala seperti kasus Kamala dan Mougli (Chauchard, 1983: 68-69).
IKHTISAR BAB IX
PEMEROLEHAN BAHASA: BEBERAPA HIPOTESIS
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa berlangsung dalam otak anak-anak ketika memperoleh bahasa ibunya (B1). Berbeda dengan pembelajaran bahasa (language learning), yang berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada anak-anak ketika mempelajari bahasa kedua (B2). Ada dua proses ketika anak memperoleh bahasa pertama atau bahasa ibunya yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses ini sebagai syarat terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses produksi atau penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau mempersepsi kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau memproduksi kalimat sendiri. Kedua kompetensi ini akan menjadi bekal kemampuan linguistik anak-anak. Kompetensi linguistik mencakup tiga komponen tata bahasa yaitu sintaksis, semantik, dan fonologi. Sebelum membicarakan pemerolehan ketiga komponen itu, terlebih dahulu perlu dibahas teori atau hipotesis yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa sebagai berikut.
1. Hipotesis Nurani
Konsep memahami dan membuat (menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasa pada seorang bahasawan (penutur asli bahasa) terjadi karena proses “menuranikan" atau “menyimpan dalam nurani" tata bahasanya menjadi kompetensi (kecakapan) bahasa; juga menguasai kemampuan-kemampuan performansi (pelaksanaan) bahasa itu.
Hipotesis nurani menjawab pertanyaan: alat apa yang digunakan anak-anak untuk memperoleh kemampuan berbahasa. Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan terhadap pemerolehan bahasa anak-anak. Hasil pengamatan itu dijabarkan sebagai berikut.
a. Seorang anak tidak asing dari kehidupan ibunya, jadi semua anak normal akan memperoleh bahasa ibunya melalui proses “pengenalan".
b. Pemerolehan bahasa tidak berhubungan dengan kecerdasan anak-anak, jadi anak cerdas dan tidak cerdas akan memperoleh bahasa.
c. Kalimat-kalimat anak-anak sering kali tidak gramatikal, tidak lengkap dan jumlahnya sedikit.
d. Bahasa bersifat manusiawi sehingga tidak bisa diajarkan kepada makhluk lain proses.
e. Proses pemerolehan bahasa oleh anak-anak sesuai dengan jadwal yang berkaitan dengan pematangan jiwa.
f. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan universal dapat dikuasai anak-anak dalam waktu yang relatif singkat, dalam waktu tiga atau empat tahun saja.
Mengenai hipotesis nurani ini, dibedakan adanya dua jenis, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (Simanjuntak, 1977). Hipotesis nurani bahasa merupakan asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidak dipelajari atau diperoleh tapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani khusus organisme manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa pemerolehan bahasa manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Perbedaan dua hipotesis ini adalah hipotesis nurani bahasa menekankan pada terdapatnya “benda". Sedangkan hipotesis nurani mekanisme berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan berbahasa hanya bagian dari yang umum itu.
Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1958) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki anak-anak sejak lahir untuk berbahasa. Alat itu bernama language acquisition device (LAD) yang berfungsi untuk memungkinkan seorang anak-anak memperoleh bahasa ibunya. Cara kerja LAD yaitu apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja) “diberikan" kepada LAD seorang anak sebagai input, maka LAD itu membentuk tata bahasa formal sebagai keluaran (output)-nya.
Adanya hipotesis tentang LAD semakin menguatkan pandangan ahli di bidang pemerolehan bahasa, bahwa anak-anak sejak lahir memiliki kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Hal ini dibuktikan dengan masukan ucapan-ucapan yang penuh dengan kalimat yang salah, tidak lengkap, dan dengan struktur yang tidak gramatikal, ternyata anak masih bisa menguasai bahasa ibunya.
Konsep LAD merangsang penelitian pemerolehan bahasa sampai ke tingkat sangat tinggi. Pusat perhatian mulanya diarahkan pada pemerolehan komponen sintaksis; sedangkan peranan semantik dan kognisi kurang diperhatikan. Tidak mengherankan karena teori generatif tranformasi yang dikembangkan oleh Chomsky hanya memusatkan perhatian pada keotonomian komponen sintaksis. Jadi, yang perlu bagi LAD hanya masukan linguistik. Faktor non linguistik seperti penglihatan, perasaan, dan juga pengetahuan tidak begitu penting untuk pemerolehan bahasa.
Dalam perkembangannya pengkajian pemerolehan bahasa sudah memperhatikan tiga unsur yang dulu kurang diperhatikan LAD, yaitu (1) korpus ucapan, (2) peranan semantik, (3) peranan perkembangan kognisi. Dengan demikian dikatakan bahwa hipotesis nurani mekanisme lebih menarik perhatian para ahli daripada hipotesis nurani bahasa yang sebelumnya menjadi dasar pengkajian pemerolehan bahasa.
Dewasa ini hipotesis nurani bahasa dikenal dengan nania yang diusulkan Mc. Neil (1970), hipotesis kesemestaan linguistik kuat (strongs linguistic universal), atau versi kuat hipotesis nurani (strong version of the innateness hypothesis). Sedang hipotesis nurani mekanisme mendapat nama baru yaitu kesemestaan linguistik lemah (weak linguistic universals).
Menurut versi kuat keupayaan linguistik, tidak menggambarkan keupayaan kognitif sama sekali. Sebaliknya, menurut versi lemah, keupayaan kognitif umum mengandung keupayaan linguistik.
2. Hipotesis Tabularasa
Tabula rasa secara harfiah berarti 'kertas kosong' (belum ditulisi apa-apa). Hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini mulanya dikenal oleh John Locke seorang tokoh empirisme terkenal kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson tokoh aliran behaviorisme dalam psikologi.
Menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia tampak dalam perilaku berbahasa adalah hasil integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran Stimulus – Respons. Cara pembelajaran ini adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang dimodifikasikan menjadi teori pembelajaran bahasa.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku berbahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang itu. Seperti saat seorang kanak-kanak memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, mulanya ia berada pada tahap berceloteh (babling period) yaitu mengucapkan semua bunyi pada semua bahasa di dunia. Namun orang tua bayi hanya akan memberikan bunyi-bunyi dalam bahasa ibunya saja. Maka bayi akan dilazimkan meniru bunyi bahasa ibunya lalu menggabungkan bunyi-bunyi bahasa yang dilazimkan hingga menirukan ucapan-ucapan orang tuanya. Jika tiruannya betul atau mendekati ucapan yang sebenarnya maka ia akan mendapat hadiah dari ibunya. Secara bertahap bahasa anak berkembang mulai dari bunyi, kata, frase dan kalimat. Perkembangan bahasa tersebut selalu diperkukuh dengan hadiah atau ganjaran. Menurut teori behaviorisme bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku. Tabiat-tabiat inilah yang dituliskan pada “kertas kosong" tabularasa otak kanak-kanak.
Pemerolehan bahasa menurut teori behaviorisme tidak mungkin dapat menerangkan faktor kreativitas dalam penggunaan bahasa yang sifatnya individual. Maka menurut para pakar teori generatif tranformasi, teori behaviorisne tidak mampu untuk menerangkan proses pemerolehan bahasa (Simanjuntak, 1987).
Kritik dari pakar teori generatif transformasi yaitu Chomsky (1959), membuat Jenkin (1964-1965) melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa berdasarkan kerangka behaviorisme dengan mengenalkan satu teori yang disebut teori mediasi atau penengah yang disebut “rantaian respons" (rensponce chaining). Teori ini didasarkan pada prinsip mediasi atau penengah seperti yang diperkenalkan oleh Osgood, tetapi bentuknya agak berlainan. Walau bagaimanapun tampak jelas bahwa faktor penengah atau mediasi dimainkan oleh tak sebagai pemeran penting dalam proses “rantaian respons" itu.
Menurut prinsip media, jika seseorang telah mengenal hubungan antara meja dan kursi, dan hubungan antara kursi dan lantai akan lebih mudah karena peranan yang dimainkan faktor penengah atau mediasi yaitu meja yang mempunyai hubungan dengan kursi dan lantai. Dari penjelasan tersebut dikenal pula dua prinsip yaitu kesamaan stimulus dan kesamaan respons. Yang dimaksud kesamaan stimulus yaitu mempelajari hubungan antara dua benda, akan lebih mudah jika telah dipelajari atau diketahui terlebih dahulu hubungan kedua benda itu dengan stimulus. Sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan respons adalah prinsip bahwa mempelajari hubungan antara dua benda akan jauh lebih mudah jika hubungan di antara kedua benda itu dengan respons yang sama.
Menurut Jenkin (Simanjuntak, 1987) kata-kata yang berkategori gramatikal yang sama dapat dikelompokkan ke dalam yang termasuk kesamaan stimulus atau yang termasuk kesamaan respons. Dengan prinsip sederhana ini Jenkin mencoba menjelaskan kemampuan manusia membentuk kalimat-kalimat baru untuk menyelamatkan teori behaviorismenya dengan hipotesis tabularasa.
Sesungguhnya teori mediasi atau “rantaian respons” yang dikemukakan oleh Jenkin belum dapat digunakan untuk menjelaskan kreativitas manusia dalam membentuk kalimat-kalimat baru. Struktur bahasa terlalu rumit untuk diterangkan pemerolehannya dengan teori rantaian respons yang begitu sederhana. Teori tersebut sama saja dengan konsep behaviorisme yang dilakukan Bloomfield melalui ilustrasi tentang Jack dan Jill yang mengatakan seseorang akan dapat mengeluarkan kalimat-kalimat apabila orang lain mengeluarkan stimulus. Satu kalimat dianggap sebagai satu rangkaian kata yang dikeluarkan sebagai respons kepada kata yang mendahuluinya, selanjutnya menjadi stimulus kepada kalimat berikutnya. Begitu juga dengan bunyi kata-kata, dan kata-kata dalam kalimat merupakan S - - - - - R saja.
Menurut Skinner, (1957) berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan ini Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan yaitu sebagai berikut.
a. Mand
Mand merupakan akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Satu mand adalah satu operan bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas, atau menghabiskan. Dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat imperatif. Mand muncul sebagai kalimat imperatif, permohonan, atau rayuan, hanya apabila penutur mendapatkan sesuatu. Ini karena dahulu kalimat ini pernah diamati oleh penutur ketika seseorang mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau diambil (manded) daripadanya. Jadi, mand memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.
b. Tacts
Tacts adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Di dalam tata bahasa tacts ini dapat disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau peristiwa.
c. Echoics
Echoics adalah satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orang lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu.
d. Textual
Textual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan sistematik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung.
e. Inverbal Operant
Inverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau dialami oleh penutur
3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak. Piaget sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan teori mengenai pemerolehan bahasa karena menganggap bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum. Piaget mengkaji perkembangan kognitif ini; dan dalam pengkajiannya mengeluarkan sebuah hipotesis mengenai kesemestaan kognitif, termasuk bahasa. Namun para pengikut Piaget dari Jenewa meluaskan pandangan Piaget sehingga satu teori pemerolehan bahasa dalam kognitivisme telah dirumuskan (Sinclair-de Zwart, 1963).
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan secara garis besar sebagai berikut.
1. Antara 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini anak membangun satu dunia benda-benda kekal yang lazim disebut kekekalan benda.
2. Setelah struktur aksi dinuranikan, kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang terjadi usia 2 sampai 7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
3. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan representasi simboliknya berakhir, maka kanak-kanak semakin berkembang, dan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah dibentuk di usia kurang lebih dua tahun.
Menurut Piaget (1955) ucapan holofrasis pertama selalu menyampaikan pola-pola umum yang mengacu pada kanak-kanak itu sendiri. Berdasarkan pandangan Piaget, (Zinclair-de Zwart, 1973) merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut. Pertama, kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengar untuk menyampaikan satu pola aksi. Kedua, gabungan bunyi-bunyi pendek tersebut dipahami, sehingga kanak-kanak tersebut akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Pola aksi selalu mempunyai hubungan dengan kanak-kanak, dan dalam pola aksi selalu terjalin unsur agen, aksi, dan penderita. Ketiga, setelah tahap tersebut muncul fungsi-fungsi tata bahasa pertama yaitu subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek. - Verbal. - Objek
Atau
Agen. + Aksi + Penderita
Dari penjelasan di atas, hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Perbedaannya terletak pada nama saja karena dikemukakan oleh dua disiplin yang berbeda yang saling mempengaruhi: hipotesis kesemestaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis nurani mekanisme oleh linguistik modern.
IKHTISAR BAB X
PEMEROLEHAN SINTAKSIS
Pakar menganggap bahwa pemerolehan sintaksis dimulai ketika kanak-kanak dapat menggabungkan dua buah kata atau lebih (ketika berusia 2:0 tahun). Karena itu mereka menganggap holofrasis tidak berkaitan dengan perkembangan pemerolehan sintaksis. Namun Clark (1977) dan Garman (1977) menyatakan bahwa tahap holofrasis mungkin dapat memberi gambaran batin mengenai perkembangan sintaksis. Oleh karenanya, ada baiknya diikutsertakan dalam teori pemerolehan sintaksis.
Peneliti pemerolehan sintaksis tidak memulai kajian dari tahap holofrasis karena sukar ditafsir atau dipahami. Untuk menafsirkannya peneliti harus merujuk pada situasi dan konteks di mana holofrasis diucapkan. Dan holofrasis sangat terbatas sehingga sukar dikumpulkan dan membuat peneliti tidak sabar
Jika kanak-kanak mencapai tahap dua kata atau lebih, ucapan-ucapannya juga semakin banyak dan mudah ditafsirkan. Oleh karena itulah, peneliti cenderung memulai kajian pemerolehan bahasa pada tahap dua kata.
1. Teori Tata Bahasa Pivot
Kajian mengenai pemerolehan sintaksis pada kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963), Bellugi (1964), Brown dan Fraser (1964), dan Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian ini ucapan dua kata kanak-kanak terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan frekuensi munculnya kata dalam kalimat. Kedua jenis kata itu dikenal dengan kelas pivot dan kelas terbuka. Berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori tata bahasa Pivot. Umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata fungsi (function words), sedangkan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi (contents words) atau kata penuh (full words) seperti kata berkategori nomina dan verba. Ciri-ciri umum kedua jenis kata tersebut adalah berikut ini.
Kelas Pivot Kelas Terbuka
1. Terdapat pada awal atau akhir kalimat.
2. Jumlahnya terbatas, tetapi sering muncul.
3. Jarang muncul anggota baru (kata baru).
4. Tidak pernah muncul sendirian.
5. Tidak pernah muncul bersama dalam satu kalimat.
6. Tidak punya rujukan sendiri; tetapi selalu merujuk pada kata-kata lain dari kelas terbuka. 1. Dapat muncul pada awal dan akhir kalimat.
2. Jumlahnya tidak terbatas, sehingga tidak begitu sering muncul.
3. Sering muncul anggota baru (kata baru).
4. Bisa muncul sendirian.
5. Bisa muncul bersama dalam satu kalimat; atau juga dari kelas pivot.
6. Mempunyai rujukan sendiri.
Kalimat dua kata dilaporkan pakar didia atas dalam bahasa Inggris, seperti allgoneshoe, hat on, dan want milk. Kata allgoneshoe adalah kata pivot yang muncul pada posisi awal kalimat. Kata shoe adalah kata kelas terbuka pada posisi akhir kalimat. Kata hat adalah kata kelas terbuka pada posisi awal kalimat, dan kata on adalah kata kelas pivot yang muncul pada akhir kalimat. Lalu, kata want adalah kata pivot pada posisi awal kalimat; sedangkan kata milk adalah kata kelas terbuka yang muncul di akhir kalimat.
Mc. Neil (1966) merumuskan kalimat dua kata kanak-kanak sebagai berikut.
S P O
O
Keterangan:
S= Sentence (Kalimat)
P= Pivot
O= Open (kelas terbuka)
= Pilihan
Gabungan kelas pivot dan kelas terbuka menurut Mc. Neil yang mungkin adalah:
P + O
O + P
O + O
O
Yang tidak mungkin adalah:
P + P
P
Cara menguraikan ucapan kanak-kanak pada tahap dua kata ini berdasarkan posisi dan frekuensinya adalah sebagai akibat apa yang disebut dicovery procedure yang digunakan oleh linguistik deskriptif pada tahun 50-an. Discovery procedure bertujuan untuk mencari keteraturan-keteraturan korpus data tanpa memperhatikan makna. Padahal dalam perkembangan psikolinguistik tahun 70-an penggolongan kata menitikberatkan pada fungsi atau makna. Oleh karena itu, rumus-rumus tata bahasa pivot menjadi kurang jelas bila diterapkan pada bahasa Indonesia (Melayu).
Tata bahasa pivot muncul sebagai akibat dari discovery procedure, menyatakan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang dapat terlihat pada kata-kata pivot. Namun cara itu menurut psikolinguistik modern sangat tidak memadai (Greenfield dan Smith, 1976: 6). Selain daripada itu pakar-pakar seperti Bloom, (1970), Bowerman, (1973), dan Brown, (1973) menyatakan sebagai berikut.
a. Kata-kata pivot bisa muncul juga sendirian
b. Kata-kata pivot dapat juga bergabung dengan kata pivot lain dalam sebuah kalimat
c. Pada kalimat-kalimat dua kata yang dibuat kanak-kanak terdapat juga kata-kata dari kelas lain selain pivot dan kelas terbuka.
d. Tata bahasa pivot tidak dapat menampung semua makna ucapan-ucapan dua kata.
e. Pembagian kata-kata pivot dan kelas terbuka tidak mencerminkan bahasa-bahasa lain, selain bahasa Inggris.
Akhirnya bisa dikatakan bahwa dalam kalimat dua kata oleh kanak-kanak menunjukkan penggunaan bahasa yang lebih produktif dibandingkan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis.
2. Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani
Tata bahasa generatif transformasi dari Chomsky (1957, 1965) sangat berpengaruh dalam perkembangan pengkajian perkembangan sintaksis kanak-kanak . Menurut Chomsky hubungan tata bahasa tertentu seperti “subject-of, predicate-of, dan direct object-of” adalah bersifat universal dan dimiliki oleh semua bahasa di dunia.
Berdasarkan teori Chomsky tersebut, Mc. Neil (1970) menyatakan bahwa pengetahuan kanak-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal ini adalah bersifat “nurani". Maka itu, langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis kanak-kanak sejak tahap awal. Jadi, pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-hubungan tata bahasa universal ini.
Menurut teori generatif transformasi Chomsky hubungan subject-of dapat dijelaskan sebagai berikut.
K FN + FV
Keterangan:
K= Kalimat
FN= Frase Nomina
FV= Frase Verbal
Sehubungan dengan rumus tersebut Mc. Neil menyatakan bahwa ucapan-ucapan dua kata atau lebih dari kanak-kanak dapat dianalisa berdasarkan hubungan-hubungan yang digambarkan dalam rumus itu, karena ucapan dua kata itu sesungguhnya mempunyai struktur juga. Karena kenyataannya kanak-kanak hanya menggunakan gabungan-gabungan struktur tertentu saja. Jadi, ucapan-ucapan itu memang mempunyai struktur.
Berdasarkan rumus di atas Mc. Neil menguraikan ucapan-ucapan dua kata. Kata-kata dalam ucapan dua kata dibaginya menjadi kata nomina (N), kata verbal (V), dan kata pivot (P). Dari tiga kelas itu, hanya muncul empat macam gabungan yang membentuk kalimat dua kata yaitu P+FN, N+N, V+N, dan N+V.
Kemudian Mc. Neil (1970) mengatakan bahwa besarnya struktur sintaksis juga menentukan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak. Rumus-rumus yang dimiliki oleh semua kalimat seperti subjek dan predikat yang dikuasai lebih dulu oleh kanak-kanak. Sedangkan lainnya seperti masalah “agrement" dan “concord" dikuasai jauh kemudian.
Sejalan dengan teori-teori hubungan bahasa nurani Menyuk (Simanjuntak, 1987) menyarankan satu teori pemerolehan sintaksis yang ditentukan oleh sistem linguistik generatif transformasi yang telah menjadi sebagian pengetahuan kanak-kanak. Pengetahuan yang diperoleh sejak lahir mengenai rumus-rumus struktur dasar tata bahasa dan rumus-rumus transformasi dan fonologi menentukan bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak. Jadi menurut Menyuk, tanpa konteks ekstra linguistik, ucapan awal kanak-kanak menunjukkan hubungan atau urutan S + V (subjek + verba) dengan posisi O (objek) sebagai opsional. Dengan demikian urutan-urutan kalimat OSV dan SOV pun muncul di samping kalimat-kalimat SVO.
Teori hubungan tata bahasa nurani mendapat kritik dari beberapa pakar. Schlesinger (1974) menyatakan bahwa hubungan struktur (tata bahasa) terdapat pada ucapan-ucapan dua kata kanak-kanak mungkin sekali merupakan cermin dari konsep-konsep seperti pelaku dan tindakan (agent and action) dan bukan hubungan tata bahasa subject-of dan verb-of. Konsep-konsep menurut Schlesinger tidak berlaku khusus pada bahasa, tapi merupakan bagian dari sistem kognisi kanak-kanak. Dalam proses memperoleh bahasa ibunya, kanak-kanak harus “menolak" konsep-konsep ini pada struktur-luar bahasanya dengan cara menerapkan rumus-rumus realisasi (Simanjuntak, 1987).
Pakar lain, Bowerman (1976), menyatakan teori hubungan tata bahasa nurani yang dikemukakan Mc. Neil kurang mendapat dukungan. Menurutnya kanak-kanak menggunakan rumus-rumus urutan sederhana untuk kata-kata yang dapat mengisi bermacam fungsi semantik. Usaha kanak-kanak untuk menggabungkan kata-kata timbul dari penerimaannya mengenai cara untuk menyampaikan hubungan-hubungan semantik bahasa yang diperolehnya. Jadi, konsep hubungan tata bahasa merupakan perkembangan lanjutan ketika kanak-kanak akhirnya menyadari bahwa kata benda dengan peran-peran semantik yang berbeda diperlakukan dengan cara yang sama dalam hubungannya dengan kelas-kelas kata kerja berbeda. Namun, yang kurang dalam pandangan Bowerman ini adalah mengapa kanak-kanak hanya menggunakan beberapa jenis gabungan tertentu untuk menyampaikan hubungan-hubungan semantik itu.
3. Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi
Bloom (1970) mengatakan bahwa hubungan-hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belum mencukupi untuk menganalisis ucapan atau bahasa kanak-kanak. Maka, untuk dapat menganalisis ucapan kanak-kanak perlu diperhatikan informasi situasinya. Brown (1973) juga memperkuat pendapat Bloom.
Bloom juga menyatakan bahwa suatu gabungan kata yang telah digunakan kanak-kanak dalam situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainan di antara kata-kata dalam gabungan itu. Umpamanya, kedua kata benda dalam “mommy sock” sangat jelas menunjukkan informasi situasi. Pada situasi pertama hubungan kedua kata benda itu adalah menyatakan hubungan subjek-objek, sedangkan dalam situasi kedua adalah hubungan pemilik-objek.
Setiap ini biasanya hanya dapat menafsirkan makna ucapan dua kata kanak-kanaknya. Oleh karena sebuah gabungan kata yang sama digunakan oleh kanak-kanak dalam situasi berlainan maka, Bloom (1970) menyimpulkan bahwa kanak-kanak tidak menyusun kata-kata itu semaunya. Hal ini membuktikan bahwa gabungan kata yang muncul dalam ucapan kanak-kanak merupakan hubungan-hubungan yang menjadi bagian dari bahasa kanak-kanak.
Digunakannya sebuah gabungan kata untuk mewakili beberapa situasi akan menyebabkan gabungan kata itu menjadi taksa (ambigu) dan meragukan.Satu-satunya cara untuk menganalisis gabungan yang meragukan itu adalah memberikan representasi yang berlainan kepada gabungan kata itu menurut situasi-situasi di mana digunakan. Informasi situasi itu dapat memberikan pertolongan dalam menentukan hubungan-hubungan ini sehingga harus digunakan untuk menentukan hubungan tata bahasa ucapan-ucapan dua kata kanak-kanak itu.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Mc. Neil dan Bloom mengenai perkembangan sintaksis kanak-kanak memiliki persamaan, yang satu dan lainnya saling mendukung. Bedanya, Mc. Nel merujuk pada struktur tata bahasa nurani sedangkan Bloom, pada informasi situasi yang menjelaskan hubungan kata-kata dalam ucapan kanak-kanak.Ketidakjelasan dari teori Bloom adalah dari mana kanak-kanak itu memperoleh gabungan-gabungan yang bisa digunakan dalam situasi-situasi berlainan. Untuk memecahkan masalah ini harus merujuk pada LAD yang akan memperkuat kembali teori Mc. Neil di atas.
4. Teori Kumulatif Kompleks
Teori ini dikemukakan oleh Brown (1973) berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut Brown, urutan pemerolehan sintaksis kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang diperoleh itu. Jadi, tidak ditentukan oleh frekuensi munculnya morfem dan kata-kata itu dalam ucapan orang dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang sedang memperoleh bahasa Inggris yang diteliti Brown, ternyata morfem yang pertama dikuasai adalah bentuk progressive-ing dari kata kerja: padahal bentuk ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa.
Setelah progressive-ing baru muncul kata depan in, kemudia on, dan diikuti bentuk jamak 's. Sedangkan partikel the dan a yang lebih sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa baru muncul pada tahap ke-8. Urutan perkembangan sintaksis yang dilakukan oleh Brown hampir sama dengan urutan perkembangan hubungan-hubungan semantik sintaksis yang diperoleh oleh sejumlah pakar lain (Simanjuntak, 1987).
5. Teori Pendekatan Semantik
Teori pendekatan semantik menurut Greenfield dan Smith (1976) pertama kali diperkenalkan oleh Bloom. Dalam hal ini Bloom (1970) mengintegrasikan pengetahuan semantik dalam pengkajian perkembangan sintaksis ini berdasarkan teori generatif transformasinya Chomsky (1965).
Teori generatif transformasi ini menyatakan bahwa kalimat-kalimat yang kita dengar “dibangkitkat dari struktur-luar dengan rumus-rumus fisiologi. Sedangkan struktur-luar ini “dibangkitkan” dari struktur-dalam (struktur dasar) dengan rumus-rumus transformasi. Dengan demikian tata bahasa merupakan satu sistem yang menggabungkan bunyi dengan makna. Dalam hal ini struktur dasar memberi masukan kepada komponen semantik, dan struktur-luar memberi masukan kepada komponen fonologi.
Teori Chomsky mendapat tantangan dari beberapa ahli psikologi seperti Schlesinger (1971), dan Olson (1970). Juga beberapa ahli linguistik seperti Lakoff dan Roos (1967), Mc. Cawley (1968), dan Fillmore (1968). Penentang ini umumnya menolak adanya struktur-dalam (struktur dasar) yang dikemukakan oleh Chomsky. Schlesinger (1971) menyatakan bahwa apa yang disebut atruktur-dalam pada teori Chomsky, sebenarnya bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur semantik. Jadi, maknalah yang menentukan struktur itu.
Salah satu teori tata bahasa yang didasarkan pada komponen semantil diperkenalkan oleh Fillmore (1968) yang dikenal dengan tata bahasa kasus (case grammar). Teori ini digunakan oleh Bowerman (1973) dan Brown (1973) sebagai dasar untuk menganalisis data-data perkembangan bahasa. Dalam teorinya Fillmore menunjukkan bahwa tranformasi-transformasi tata bahasa tidak diatur oleh rumus-rumus sintaksis, melainkan oleh hubungan-hubungan semantik yang ditandai oleh kategori-kategori kasus itu. Jadi, merupakan satu keharusan mengikutsertakan semantik pada umumnya, dan hubungan-hubungan semantik khususnya dalam menganalisis pengetahuan tata bahasa . Struktur yang berdasarkan semantik kemudian dipakai sebagai dasar cabang teori generatif transformasi yang dikenal dengan sebutan semantik generatif. Dalam psikolinguistik perkembangan pendekatan semantik ini menjadi dasar kajian.
Perbedaan antara pendekatan semantik dengan teori hubungan tata bahasa nurani adalah bahwa kalau teori tata bahasa nurani menerapkan hubungan-hubungan sintaksis dalam menganalisis ucapan kanak-kanak, maka teori pendekatan semantik menemukan struktur ucapan itu berdasarkan hubungan-hubungan semantik. Jadi, teori hubungan tata bahasa nurani menerapkan struktur sintaksis orang dewasa yaitu:
K FN. + FV
Pada ucapan kanak-kanak, sedangkan teori pendekatan semantik menemukan struktur
Agen + Kerja + Objek, atau
Agen + Kerja, atau
Objek + Kerja
Pada ucapan kanak-kanak, yaitu struktur yang menggambarkan hubungan-hubungan semantik. Namun menurut Bowerman (1973) dan Brown (1973), hubungan-hubungan semantik ini tidak selalu sejalan atau sesuai dengan hubungan-hubungan sintaksis yang diterapkan.
Sumber:
Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
Sumber:
Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
william hill【VIP】best online casino in【WG98.VIP】
BalasHapus【WG98.VIP】best happyluke online william hill casino in【WG98.VIP】,【WG98.vip】,【WG98.vip】,Url:⚡【WG】,www.casi-know.com, クイーンカジノ