Bedah Isi Teori Sosiologi
SOSIOLOGI & SOSIOLOGI SASTRA
A. Pengertian, Karakteristik, dan Ruang Lingkup Sosiologi
Secara terminologi ‘sosiologi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’. Sedangkan ‘ logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Spencer dan Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987: 1). Oleh karena itu sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Dengan kata lain suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja.
Untuk sekedar pegangan sementara tersebut, di bawah ini diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut: Pertama ; Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang: (a) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (contoh: antara gejala ekonomi dengan non-ekonomi seperti agama, gejala keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya. Kedua ; William Ogburn dan Meyer F Nimkoff (1959: 12-13) berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial . Ketiga; Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalahilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya. Keempat; J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil . Kelima; Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologiilmu tentang kelompok hidup manusia. Keenam; David Popenoe (1983:107-108) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi manusia dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Ketujuh; Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial . Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.
Secara terminologi ‘sosiologi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’. Sedangkan ‘ logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’. Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat (Spencer dan Inkeles, 1982:4; Abdulsyani, 1987: 1). Oleh karena itu sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang masyarakat maka cakupannya sangat luas, dan cukup sulit untuk merumuskan suatu definisi yang mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat yang dimaksud dalam beberapa kata dan kalimat. Dengan kata lain suatu definisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan sementara saja.
Untuk sekedar pegangan sementara tersebut, di bawah ini diberikan beberapa definisi sosiologi, sebagai berikut: Pertama ; Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu tentang: (a) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (contoh: antara gejala ekonomi dengan non-ekonomi seperti agama, gejala keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dan sebagainya. Kedua ; William Ogburn dan Meyer F Nimkoff (1959: 12-13) berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial . Ketiga; Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalahilmu tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya. Keempat; J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa sosiologi ilmu tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil . Kelima; Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologiilmu tentang kelompok hidup manusia. Keenam; David Popenoe (1983:107-108) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi manusia dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Ketujuh; Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14) menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka bahwa struktur sosial keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan sosial . Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya.
Dengan demikian sosiologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu tentang interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial.
Pada umumnya sosiologi berkonsentrasi pada pemecahan masalah, tetapi kemunculan ilmu sosial ini dimaksudkan untuk membuat manusia sebagai makhluk rasional ikut aktif ambil bagian dalam gerakan sejarah, suatu gerakan yang diyakini memperlihatkan arah dan logika yang belum diungkapkan oleh manusia. Karena itu sosiologi dapat membuat manusia merasa seperti di rumah sendiri di dunia yang asing lebih mampu mengendalikan diri mereka sendiri dan secara kolektif dan tidak langsung ⎯ kondisi tempat mereka harus beraktivitas. Dengan kata lain sosiologi diharapkan akan menemukan kecenderungan histories dari masyarakat modern, dan memodifikasinya. Sosiologi membantu perkembangan dan mengatur proses pemahaman yang mendasar dan spontan. Juga sejak dari awal sosiologi mengasumsikan bahwa tidak semua transformasi modern itu bermanfaat atau diharapkan.
Karena itu sosiologi harus memberi peringatan kepada publik di semua lapisan, khususnya di tingkat pembuat kebijakan, tentang adanya bahaya yang tersembunyi di balik proses yang tidak terkendali. Sosiologi juga harus memberikan jalan keluar untuk mencegah terjadinya proses yang tidak diinginkan tersebut, atau mengusulkan cara untuk memperbaiki kerusakan. Para pendiri dan penerus disiplin ilmu yang baru ini setuju dengan pandangan tersebut di atas, walaupun mungkin mereka berbeda dalam penafsiran tentang ciri-ciri krusial dan faktor-faktor utama dari trend historis yang harus dipahami. Auguste Comte (1798-1857) mengidentifikasi kekuatan penggerak sejarah dalam kemajuan pengetahuan ilmiah dalam “semangat positivisme”. Herbert Spencer (1820-1903) membayangkan perjalanan masyarakat menuju tahap “industri” yang damai, di mana tersedia banyak hasil produksi untuk didistribusikan. Ia meramalkan kemajuan yang berkelanjutan menuju masyarakat yang semakin kompleks, bersamaan dengan bangkitnya otonomi dan diferensiasi individu. Karl Marx (1818-1883) memperkirakan pada akhirnya muncul kontrol progresif terhadap alam di dalam emansipasi penuh dari masyarakat untuk menghindari kesengsaraan dan perselisihan (konflik) yang akan mengakhiri alienasi produk dari produsennya serta mengakhiri transformasi produk-produk tersebut menjadi modal yang dipakai untuk memperbudak dan mengambil alih produsen, dan pada akhirnya akan terselsaikan semua bentuk eksploitasi.
Ferdinand Tonnies (1855-1936) memperkirakan pergantian sejarah, di mana Gemainschaft jaringan ikatan parsial, impersonal, mempunyai tujuan tertentu, dan kontraktual. Emile Durkheim (1855-1917) memfokuskan analisisnya pada trend historis atas pembagian progresif dari tenaga kerja, dan karena itu akan bertambahnya kompleksitas sosial secara keseluruhan. Ia mengajukan sebuah model masyarakat yang diintegrasikan, pertama melalui solidaritas “mekanik” dari segmen yang sama kemudian melalui solidaritas “organik” dari kelas dan golongan yang berbeda-beda namun saling ketergantungan satu sama lain. Max Weber (1864-1920) menghadirkan modernitas terutama dari sudut pandang rasionalisasi semua bidang kehidupan sosial, pikiran dan kebudayaan . Dan semakin banyaknya tindakan yang dilakukan berdasarkan kalkulasi rencana serta mengabaikan tindakan irasional maupun berdasarkan aturan adat-istiadat.
George Simmel (1859-1918) menekankan pergerakan dari hubungan kualitatif dan terdiferensiasi kearah hubungan kuantitatif yang seragam. Menggarisbawahi peran baru yang semakin meningkat yang dimainkan oleh kekuatan yang semakin universal dan mandiri. Contohnya yang paling baik adalah institusi keuangan dan aliran pemikiran kategoris abstrak (Bauman, 2000: 1028). Apabila dahulu sosiologi terutama berhubungan dengan semua aspek stabilitas, repoduksi diri dan perulangan, di mana dengan jalan atau cara mengamankan semua aspek tersebut (perhatian utama dari “teori sistem” Talcot Parsons yang pernah dominan dan menarik perhatian dari fungsionalisme struktural), maka kini perhatian beralih kepada studi inovasi. Dipahami bahwa setiap tindakan adalah semacam kerja kreatif, meskipun pemahaman ini selalu mengambil penjelasan dari pola-pola yang telah ada dan bermakna. Penekanan juga telah jauh bergeser dari penelitian hukum dan keteraturan lainnya ke tindakan yang lebih dinamis. Tindakan tidak lagi dianggap sebagai kepastian, tetapi lebih sebagai kemungkinan, setiap tindakan adalah kreasi yang unik, dan karena itu sebenarnya tidak dapat diprediksi. Keraguan juga ditujukan kepada nilai prediktif dari statistik. Diakui bahwa sebagian besar fenomena yang sering terjadi tidak selalu merepresentasikan trend masa depan. Akibatnya, tampak tidaknya ada kriteria yang jelas untuk mengantisipasi konsekuensi dari kejadian, dampak dan durabitlitasnya. Oleh karena itu untuk menilai signifikansinya, hal ini pada gilirannya mengakibatkan erosi obyek atau daerah studi sosiologi yang pernah menjadi pusat perhatian dan bersifat khusus.
Karena sosiologi tidak lagi berhubungan dengan “konflik dasar”, “hubungan utama”, atau “proses yang mengarahkan”, maka tidak jelas mengapa beberapa topik tertentu, aktor atau peristiwa harus diberikan prioritas oleh para sosiolog. Perhatian para sosiolog bergeser dari ruang kendali (dari isu-isu seperti dampak negara, dominasi kelas, dan sebagainya), ke interaksi sehari-hari dan mendasar, ke tingkat akar rumput dari realitas, ke apa yang aktor lakukan satu sama lain dan kepada mereka sendiri, di dalam konteks interaksi langsung.
Di bawah pengaruh argumen Alfred Schutz yang menyatakan bahwa “dunia di dalam jangkauan” memberikan arketip untuk para actor suatu model dari semua “kesemestaan makna” yang lain (Schutz, 1982), diasumsikan bahwa keahlian dan pengetahuan yang esensial secara reflektif atau tidak, yang disebabkan oleh para aktor di dalam kehidupan sehari-hari mereka, pada akhirnya bertanggung-jawab atas apa yang dianggap trend global dan impersonal atau bertahannya struktur obyektif (Bauman, 2000: 1030). Kalau saja dahulu ketika para aktor dianggap mempunyai banyak pengetahuan dan dalam prinsipnya mudah untuk memonitor diri sendiri, maka tugas utama investigasi sosiologis berubah menjadi rekonstruksi pengetahuan mereka. Hal ini secara dramatis mengubah peran yang selama ini dianggap masuk akal di dalam diskursus sosiologi, yang pada awalnya dianggap interpretasi alternatif yang lemah informasinya, dan secara esensial keliru khususnya terhadap realitas sosial kini menjadi sumber utama bagi interpretasi sosilogi. Ilmu sosiologi sampai pada derajat yang belum pernah terjadi sebelumnya, kini menerima pandangan hermeneutika (Gadamer, 1960; Ricoeur: 1981) ⎯ seperti yang digagas oleh Dilthey dan Weber dengan konsep verstehen-nya ⎯ menekankan bahwa realitas social secara intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh aktor yang memproduksinya), dan bahwa untuk memahami realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan oleh aktor tersebut. Hal ini tidak selalu berarti bahwa para sosiolog harus berusaha sampai empati untuk menemukan apa yang sedang dipikirkan para aktor.
Para ahli sosiologi masih cenderung menyangkal bahwa para aktor selalu merupakan penilai interpretasi sosiologis yang paling baik. Namun demikian pendekatan hermeneutika bukan berarti bahwa penjelasan atau penafsiran realitas sosial harus memperlakukan aktor sebagai pengendali makna dan pencipta makna, daripada sebagai orang yang didorong dan ditarik oleh desakan dan kekuatan yang secara obyektif dapat digambarkan. Kecenderungan lain yang berhubungan erat adalah perpindahan dalam keterkaitan dari koersi dan desakan eksternal ke konstruksi diri dan definisi diri dari aktor. Tindakan menjadi bermakna, aktor mempunyai pengetahuan secara konstan merefleksikan identitas dan motif-motif tindakan mereka. Dapat dikatakan bahwa jika manusia dipandang oleh sosiologi ortodoks terutama dikendalikan oleh kebutuhan dan sasaran dari kekuatan sosial, maka mereka kini cenderung lebih sering ditafsirkan adanya pengendalian oleh identitas subyek yang termotivasi dan mempunyai pilihan sendiri.
Trend yang paling umum adalah mengesampingkan organisasi-organisasi social untuk mencari pemicu tindakan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian ahli sosiologi kontemporer lebih memberikan perhatian kepada komunitas ( community) dengan mengorbankan masyarakat (society) demi tujuan praktis, identik dengan negara bangsa. Dalam selang waktu yang cukup lama, para sosiolog percaya bahwa komunitas adalah peninggalan dari masa pramodern, yang ditakdirkan lenyap seiring dengan berjalannya modernisasi. Kini posisinya dikembalikan ke posisi utama dalam analisis sosiologis, dan dianggap sebagai sumber tertinggi dari makna yang dipunyai aktor serta dari realitas social sendiri. Komunitas tersebut dianggap sebagai penyangga tradisi yang dipertahankan dan diciptakan kembali oleh tindakan-tindakan dari para anggotanya; menjadi sumber utama dari semua komunitas umum ( commonality) yang dijumpai dalam makna para aktor. Di mana mereka menjadi point referensi dalam proses para aktor mendefinisikan diri mereka sendiri serta membentuk identitasnya.
Berbeda dengan “masyarakat” yang diidentikkan dengan negara-bangsa, komunitas tidak memiliki batas-batas obyektif ⎯ batas-batas yang dijaga oleh kekuatan koersif. Sebab komunitas adalah cair, begitu-pun kekuatan yang mencengkram para anggotanya mungkin juga beragam bentuknya (cengkraman itu tidak lain adalah intensitas dari identifikasi emosional para aktor dengan apa yang mereka rasakan, atau bayangkan, sebagai komunitas). Sebaliknya, para sosiolog beranggapan bahwa komunitas adalah imagined (yang dibayangakan). Sebagaimana pandangan dalam sosiolog kontemporer, komunitas adalahsesuatu yang dipostulatkan ⎯ postulat tersebut menjadi kenyataan ketika tindakan dilakukan seolah-olah tindakan tersebut adalah realitas. Karena itu ada sifat saling mempengaruhi yang konstan antara aktor dan komunitas “mereka” yang tidak diberi prioritas di dalam analisis sosiologi (Bauman, 2000: 1030).
Sebagai objek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis /suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4). Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya. Dengan demikian sebagai objek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, tentang karakteristik sosiologi itu menurut Soekanto (1986: 17) mencakup: Pertama ; sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, bukan merupakan bagian ilmu pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian . Pembedaan tersebut bukan semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut pembedaan substansi, yang kegunaannya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Khususnya, pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika, geologi, biologi dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang kita kenal. Selain itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi sangat luas yakni tentang masyarakat (interaksi sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial).
Kedua ; sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, melainkan suatu disiplin yang bersifat kategoris; artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, dan bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau seharusnya terjad i. Dengan demikian sosiologi dapat dikategorikan sebagai ”ilmu murni” (pure science), dan bukan merupakan ilmu terapan ( applied science). Sebagai ”ilmu murni” (pure science) sosiologi bukan disiplin yang normatif. Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini, serta bukan mengenai apa yang terjadi seharusnya terjadi. Di sini berarti sosiiologi tidak menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
Dengan demikian dalam sosiologi tidak menilai apa yang buruk dan apa yang
baik, apa yang benar dan apa yang salah. Tentu saja berbeda dengan ”ilmu
terapan” (applied science) yang bertujuan untuk mempergunakan dan
menetapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat dengan maksud
membantu kehidupan masyarakat, contohnya ilmu pendidikan. Ketiga;
sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan
pola-pola umum (nomotetik). Berbeda dengan sejarah misalnya (lebih
banyak meneliti dan mencari pola-pola khusus atau ideografik) yang
menekankan tentang keunikan sesuatu yang dikaji
. Dalam arti bahwa sosiologi mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau
hukum-hukum umum dari interaksi antar manusia individu maupun kelompok dan
perihal sifat hakikat, bentuk, isi serta struktur maupun proses dari
masyarakat manusia, dan; Keempat:
Sosiologi merupakan ilmu sosial yang empiris, faktual, dan rasional. Dakam
istilah Spencer dan Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka
menyebutnya “the science of the obvious” atau “jelas nyata”.
Kelima
;
sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu
pengetahuan yang konkret. Artinya bahwa bahan kajian yang diperhatikan dalam sosiologi adalah
bentuk-bentuk dan pola-pola peristiwa-peristiwa dalam masyarakat, dan bukan
wujudnya tentang masyarakat yang konkret. Keenam;
sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menghasilkan
pengertian-pengertian dan pola-pola umum.
Karena dalam sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi
prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum daripada interaksi antar manusia dan
juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi dan struktur dari masyarakat.
Sebagai ilmu pengetahuan yang umum, dan bukan merupakan ilmu pengetahuan
yang khusus, maka dalam sosiologi mempelajari gejala umum yang ada pada
interaksi manusia. Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian
pola-pola interaksi manusia, dalam perkembangannya seringkali lebih banyak
dihubungkan dengan kebangkitan modernitas.
Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan beberapa alasan: Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab pemikiran dan strategi riset yang mengklaim mengandung sumber sosiologis adalah fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk. Beberapa sosilog mengambil pembahasan mengenai struktur dan proses yang dapat dianggap sebagai atribut “totalitas”. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatas tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan zaman modern yang berbeda dengan mayrakat masa lalu.
Menurut Zygmunt Bauman (2000: 1023) keterkaitan tersebut didasarkan beberapa alasan: Pertama, mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab pemikiran dan strategi riset yang mengklaim mengandung sumber sosiologis adalah fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat mengambil salah satu dari dua bentuk. Beberapa sosilog mengambil pembahasan mengenai struktur dan proses yang dapat dianggap sebagai atribut “totalitas”. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas tersebut yang dinamakan “masyarakat”. Tetapi masyarakat yang dipahami sebagai wadah supra-individu dan mendorong atau membatas tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung, merupakan ciptaan zaman modern yang berbeda dengan mayrakat masa lalu.
Di dalam masyarakat modern, tindakan cenderung mengambil bentuk mode perilaku yang terkondisikan dan karena itu ada kemungkinan untuk diprediksi. Tetapi karena masyarakat adalah the rule of nobody, tanpa alamat yang pasti, maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini menjadi sulit untuk dibuktikan Mekanisme-mekanisme tersebut tidak terwakili dalam kesadaran aktor yang perilakunya dibentuk oleh mekanisme itu sendiri. Untuk memahaminya maka mekanisme tersebut harus ditemukan terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang dalam sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan masyarakat sebagai objek studi otonom, sebagai entitas yang berbeda dari individu, tindakan yang termotivasi, karena statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari tindakan massa (Bauman, 2000: 1025). Kedua, fenomena modern lainnya yang khas adalah ketegangan konstan antar manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang berubah menjadi “individu: dan menjadi subjek tindakan otonom, serta “masyarakat” yang dialami sebagai batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan individu. Paradoksnya adalah bahwa individu modern tidak dapat sepenuhnya merasa nyaman dan betah tinggal dengan masyarakat, sedangkan ia sebagai individu juga tidak dapat berada di luar masyarakat.
Akibatnya studi tentang masyarakat dan ketegangan antar kapasitasnya, baik itu untuk menghalangi atau memberdayakan, telah didorong oleh dua kepentingan yang meskipun berkaitan namun berbeda satu sama lain, dan pada prinsipnya bertentangan satu sama lain dalam aplikasi praktis serta konsekuensinya. Di satu pihak ia ada kepentingan untuk memanipulasi kondisi sosial sedemikian rupa guna mendapatkan perilaku yang lebih seragam seperti yang dinginkan oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama di sini adalah masalah “disiplin”, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara tertentu meskipun mereka tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain, ia ada kepentingan untuk memahami mekanaisme regulasi sosial sehingga secara ideal, kapasitas pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya penyeragaman tersebut. Ambivalensi yang melekat dalam kondisi manusia modern, kondisi ini bisa membatasi atau memberdayakan secara simultan, direfleksikan dalam definisi diri sosiologi sebagai studi ilmiah tentang masyarakat dan tentang aspek kehidupan manusia yang diambil dari “kehidupan di dalam masyarakat”. Model teoretis dari masyarakat yang dibentuk oleh sosiologi seringkali menghadirkan pandangan dari atas, seolah-olah sosiologi berada di ruang kendali. Masyarakat dianggap sebagai obyek rekayasa sosial sedangkan “problem sosial” digambarkan sebagai masalah administrasi belaka, yang mesti diselesaikan dengan aturan hukum dan penyebaran kembali sumber-sumber daya. Di pihak lain, sosiologi mau tak mau harus merespon ”kemarahan” karena penindasan yang terkandung di dalam rekayasa sosial.
Inilah mengapa di sepanjang sejarahnya sosiologi telah menimbulkan kritik dari kedua belah pihak yang bertentangan dalam politik. Pemegang kekuasaan akan menuduh sosiologi merelatifkan tatanan yang mereka janjikan akan ditingkatkan dan dipertahankan, dan karena itu melemahkan kekuasaan mereka serta memicu kerusuhan dan subversi. Sedangkan rakyat yang mempertahankan cara hidup mereka atau cita-cita mereka, akan menuduh bahwa sosiologi bertindak sebagai penasihat dari lawan mereka. Intensitas dari tuduhan-tuduhan tersebut tidak banyak merefleksikan pernyataan-pernyataan sosiologi sebagai pernyataan konflik sosial di mana berdasarkan hakikat kerjanya sosiologi tidak mungkin lepas dari masalah tersebut.
Dapat dipahami jika pertentangan semacam itu dapat menjatuhkan legitimasi validitas pengetahuan sosiologi dan menolak otoritas ilmiahnya. Tuduhan semacam ini membuat para sosiolog sangat sensitif mengenai status ilmiah mereka. Karena itulah mereka mencoba memperbaharui usaha mereka, meskipun tidak pernah sempurna, untuk meyakinkan baik itu opini akademik maupun publik, bahwa pengetahuan yang diberikan oleh sosiolog lebih unggul daripada opini popular publik yang tanpa bantuan metode pengetahuan ilmiah (Bauman, 2000: 1025).
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan meskipun tidak terlalu kuat oleh strategi hermeneutika dan ambisi untuk mengoreksi kepercayaan umum. Garis batas bidang tersebut mengikuti divisi fungsional serta melembaga di dalam organisasi masyarakat yang menjawab tuntutan efektif dari bidang manajemen yang telah mapan. Jadi spesialisasi bentuk pengetahuan terakumulasi dengan fokus pada penyimpangan dan kebijakan korektif atau hukuman, politik dan istitusi politik, tentara dan perang, ras dan etnis, perkawinan dan keluarga, pendidikan dan media kultural, teknologi informasi, agama dan institusi agama, industri dan pekerjaan, kehidupan urban dan persoalanpersoalannya, kesehatan dan kedokteran (Bauman, 2000: 1032).
Walaupun demikian tidak semua penelitian spesifik tersebut dapat dilakukan tanpa ambiguitas yang dihubungkan tuntutan administratif. Ambiguitas yang selalu ada dalam sosiologi yang dapat dilacak dari respons ambivalen para sosiolog terdahulu terhadap proyek rasionalitas modernitas. Hal ini mengejawantahkan dirinya sendiri dalam kelangsungan bidang studi yang tidak mengandung aplikasi administrasi langsung. Jelasnya perbedaan antara stabilisasi dan destabilisasi, tujuan yang tampak maupun tersembunyi, melintasi divisi tematik dan tak satupun dari bidang studi spesialisasi tersebut dapat terbebas dari ambivalensi. Namun beberapa bidang pemikiran sosiologi tertentu membahas tentang penolakan individu terhadap manipulasi manajerial dan usaha-usaha untuk mengendalikan kehidupan mereka dengan lebih jelas daripada pemikiran lainnya. Bidang studi yang relevan di antaranya adalah kesenjangan sosial (baik berdasarkan kelas, gender, maupun ras), pembentukan identitas, interaksi dalam kehidupan sehari-hari, keintiman dan depersonalisasi, dan lain-lain. Berlawanan dengan bidang studi yang berorientasi manajemen, ada kecenderungan yang jelas ke arah percampuran, meminjam pandangan, dan membongkar batas-batas antara bidang keahlian. Hal ini sesuai dengan tujuan strategis keseluruhan dari pemulihan keutuhan kepribadian dan kehidupan, yang terpisah dan terfragmentasi oleh pembagian yang dilembagakan (Bauman, 2000: 1032).
Secara tematis ruang lingkup, sosiologi dapat dibedakan menjadi beberapa subdisiplin sosiologi, seperti: (1) soiologi pedesaan (rural sociology); (2) sosilogi industry (industrial sociology); (3) sosiologi perkotaan ( urban sociology); (4) sosiologi medis (medical socilogy); (5) sosiologi perempaun (woman sociology); (6) sosiologi militer (military socilogy); (7) sosiologi keluarga (family socilogy); (8) sosiologi pendidikan (educational sociology); (9) sosiologi medis ( medical sociology), (10) sosiologi seni (sociolog of art ). Sosilogi Seni: Istilah “sosiologi seni” (sociology of art) digunakan dari sosiologi seni-seni (sociology of arts) atau sosiologi seni dan literatur (sociology of art and literature). Sedangkan sosiologi seni-seni visual relatif jarang dikembangkan daripada sosiologi literatur, drama, maupun film. Implikasinya sifat generik dari bidang kajian ini mau tidak mau menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya, karena tidak selalu terdapat hubungan linier antara musik dan novel dengan konteks atau politiknya (Wolff, 2000: 41). Namun demikian sosiologi seni, dapat dikatakan sebagai wilayah kajian yang cair, karena di dalamnya tidak ada suatu model analisis atau teori yang dominan. Beberapa pendekatan yang banyak digunakan di Eropa dan Amerika memang ada perbedaaan. Sebagai contoh, di Inggris dan Eropa lainnya, pendekatan Marxis dan non-Marxis masih ada pengaruhnya hingga tahun 1970-an.
Sebaliknya sosiologi seni di Amerika Serikat yang sering kali dinamakan sebagai pendekatan produksi-budaya (production-of culture) maupun mainstream analisis sosiologi, memusatkan diri perhatiannya pada institusi dan organisasi produksi-budaya (Kamerman dan Martorella, 1983; Becker, 1982). Dalam tradisi Marxis para ahli seni bergerak dari metafora-metafora sederhana yakni basis-basis dan suprastruktur yang mengandung bahaya sikap reduksionis ekonomi terhadap budaya, dan beranjak melihat literatur-literatur serta seni semata-mata sebagai “pencerminan” faktor-faktor klas atau ekonomi. Karena itu karya-karya pengarang Gramsci, Adorno, dan Althusser menjadi penting dalam penyempurnaan model yang bertumpu pada level-level kelompok sosial antara kesadaran individual dan pengalaman spesifik tekstual (Wolff, 2000: 41-42).
Hal ini berbeda dengan pendekatan sosiologi seni ‘produksi-budaya’ yang sering mendapat kritik karena dianggap mengabaikan produk budaya itu sendiri. Pendekatan ‘produksi-budaya’ (production-of-culture) memfokuskan pada masalah hubunganhubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi. Para ahli sosiologi seni melihat peranan para “penjaga gawang” seperti; para penerbit, kritikus, pemilik galeri dalam memperantarai seniman dan masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan proses pengambilan keputusan di suatu lembaga akademi seni maupun perusahaan opera, serta mengenai hubungan antara produk-produk budaya tertentu seperti fotografi di mana karya itu dibuat (Rosenblum, 1978; Alder, 1979). Kebanyakan yang menjadi fokus kajiannya di kebanyakan negara kecuali di Inggris (studi literatur), yakni pada seni-seni pertunjukkan yang menyajikan kompleksitas interaksi sosial yang dianalisis.
B. Pendekatan, Metode, Teknik, Ilmu Bantu, dan Jenis Penelitian.
1. Pendekatan
Walaupun sosiologi diawal kelahirannya pada abad ke-19 sangat dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat positivistik khususnya bagi
pendirinya Auguste Comte, namun dalam pendekatannya sosiologi tidaklah
absolut bersifat kuantitatif, melainkan juga dapat menggunakan pendekatan
kualitatif (Soekanto, 1986: 36). Dalam pendekatan kuantitatif,
sosiologi mengutamakan bahan, keterangan-keterangan dengan angka-angka,
sehingga gejala-gejala yang ditelitinya dapat diukur dengan
mempergunakan skala-skala, indeks, tabel-tabel dan formula-formula yang
menggunakan statitistik.
Sebagai the science of the obvious, sosiologi bertujuan menelaah
gejala-gejala sosial secara matematis, baik itu melalui teknik sosiometri,
yang berusaha untuk meneliti masyarakat secara kuantitatif dengan
menggunakan skala-skala dan angka-angka untuk mempelajari hubungan antar
individu-individu dan masyarakat. Sedangkan dalam pendekatan kualitatif,
sosiologi selalu dikaitkan dengan epistemologi interpretatif dengan
penekanan pada makna-makna yang terkandung di dalamnya atau yang ada di
balik kenyataan-kenyataan yang teramati.
2. Metode
Para ahli sosiologi dalam penelitiannya banyak menggunakan beberapa metode penelitian, diantaranya: Pertama adalah Metode Deskriptif : Metode ini sering disebut bagian metode empiris yang menekankan pada kajian masa kini. Secara singkat metode deskriptif ini adalah suatu metode yang berupaya untuk mengungkap pengejaran/pelacakan pengetahuan. Metode ini dirancang untuk menemukan apa yang sedang terjadi tentang siapa, di mana, dan kapan. Penelitian ini berdasar pada kehati-hatian dalam mengumpulkan suatu data/fakta untuk menggambarkan beberapa hal yang diuraikan, seperti penggolongan, praktek, maupun peristiwa-peristiwa yang tercakup di dalamnya (Popenoe, 1983: 28). Statistik kejahatan, survei pendapat umum, tentang angka kejahatan, tanggapan pendengar dan penonton radio dan televisi, laporan atas kebisaaan dan kejahatan seksual, semuanya ini adalah contoh-contoh tentang studi deskriptif tersebut. Dengan demikian dalam metode ini juga termasuk metode survey dengan pelibatan jumlah sampel yang begitu banyak untuk mengungkap dan mengukur sikap sosial maupun politik seperti yang dirintis George Gallup dalam The Literary Digest (1936). Dalam meode ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun melalui angket (kuesioner) terhadap responden untuk mengukur pendapat / tanggapan publik sesuatu yang diteliti (Bailey, 1982: 110; Spencer dan Inkeles, 1982: 32) .
Para ahli sosiologi dalam penelitiannya banyak menggunakan beberapa metode penelitian, diantaranya: Pertama adalah Metode Deskriptif : Metode ini sering disebut bagian metode empiris yang menekankan pada kajian masa kini. Secara singkat metode deskriptif ini adalah suatu metode yang berupaya untuk mengungkap pengejaran/pelacakan pengetahuan. Metode ini dirancang untuk menemukan apa yang sedang terjadi tentang siapa, di mana, dan kapan. Penelitian ini berdasar pada kehati-hatian dalam mengumpulkan suatu data/fakta untuk menggambarkan beberapa hal yang diuraikan, seperti penggolongan, praktek, maupun peristiwa-peristiwa yang tercakup di dalamnya (Popenoe, 1983: 28). Statistik kejahatan, survei pendapat umum, tentang angka kejahatan, tanggapan pendengar dan penonton radio dan televisi, laporan atas kebisaaan dan kejahatan seksual, semuanya ini adalah contoh-contoh tentang studi deskriptif tersebut. Dengan demikian dalam metode ini juga termasuk metode survey dengan pelibatan jumlah sampel yang begitu banyak untuk mengungkap dan mengukur sikap sosial maupun politik seperti yang dirintis George Gallup dalam The Literary Digest (1936). Dalam meode ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun melalui angket (kuesioner) terhadap responden untuk mengukur pendapat / tanggapan publik sesuatu yang diteliti (Bailey, 1982: 110; Spencer dan Inkeles, 1982: 32) .
Kedua; adalah metode eksplanatori: Metode ini juga merupakan bagian metode empiris. Popenoe (1983: 28) mengemukakan bahwa kalau saja dalam studi deskriptif lebih banyak bertanya tentang apa, siapa, kapan, dan di mana, maka dalam studi eksplanatori lebih banyak menjawab mengapa dan bagaimana. Oleh karena itu metode ini bersifat menjelaskan atas jawaban dari pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" itu. Sebagai contoh; mengapa tingkat perceraian di beberapa kota naik secara tajam? Mengapa masyarakat merasakan bahwa hidup di kota besar itu tingkat kompetisinya lebih tinggi dibanding dengan di pinggir kota? Mengapa di kota-kota tersebut mempunyai tingkat kenakalan remaja yang tinggi pula, terutama di era pasca gerakan Reformasi ini ? Bagaimana proses itu terjadi banyak perubahan, semula merupakan anak-anak yang baik kemudian menjadi deviant? Ketiga, metode historis-komparatif : Metode ini menekankan pada analisis atas peristiwa-peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum, yang kemudian digabungkan dengan metodekomparatif, dengan menitik beratkan pada perbandingan antara berbagai masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan, serta sebab-sebabnya. Dari perbedaan dan persamaan-persamaan tersebut dapat dicari petunjuk-petunjuk perilaku kehidupan masyarakat pada masa silam dan sekarang, beserta perbedaan tingkat peradaban satu sama sama lainnya.
Keempat, adalah metode fungsionalisme: Metode ini bertujuan untuk meneliti kegunaan-kegunan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam masyarakat. Metode tersebut berpendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal-balik yang saling pengaruh-mempengaruhi, masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat (Soekanto, 1986: 38). Kelima, metode studi kasus : Metode studi kasus merupakan suatu penyelidikan mendalam dari suatu individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan variabel itu, dan hubungannya di antara variabel, mempengaruhi status atau perilaku yang saat itu menjadi pokok kajian (Fraenkel dan Wallen, 1993: 548). Dengan demikan dalam penggunaan metode kasus tersebut peneliti harus mampu mengungkap keunikan-keunikan individu, kelompok maupun institusi yang ditelitinya, terutama dalam menelaah hubungannya diantara variabelvariabel yang mempengaruhi status atu perilaku yang dikajinya. Keenam, metode survey : Penelitian survei adalah salah satu bentuk dari penelitian yang umum dalam ilmu-ilmu sosial. Suatu usaha untuk memperoleh data dari anggota populasi yang relatif besar untuk menentukan keadaan, karakteristik, pendapat, populasi yang sekarang yang berkenaan dengan satu variabel atau lebih. (Fraenkel dan Wallen, 1993: 557).
C. Kegunaan Sosiologi
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam kajian sosiologi banyak menelaah
fenomena-fenomena yang ada dimasyarakat, seperti; norma-norma,
kelompok-kelompok sosial, stratifikasi dalam masyarakat, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, proses-proses sosial, perubahan sosial, kebudayaan dan lain
sebagainya. Dalam realitanya kondisi ideal yang diharapkan masyarakat itu
tidaklah sepenuhnya berjalan normal, dalam arti banyak fenomena abnormal
terjadi secara patologis, yang dapat disebabkan oleh tidak berfungsinya
unsur-unsur yang ada pada masyarakat tersebut. Fenomena-fenomena kekecewaan
dan penderitaan masyarakat tersebut dinamakan problema-problema sosial yang
berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial
Dengan demikian kegunaan sosiologi secara praktis dapat berfungsi untuk
mengetahui, mengidentifikasi, dan mengatasi problema-problema sosial
(Soekanto, 1986: 339-340).
Adapun beberapa problema sosial tersebut, dilihat fokus kajiannya secara makro dapat dibedakan berdasarkan bidang-bidang keilmuannya. Sebagai contoh problema-problema yang berasal dari faktor ekonomi seperti; kemiskinan dan pengangguran. Problema sosial yang disebabkan oleh faktor kesehatan, misalnya; terjangkitnya penyakit menular, rendahnya angka harapan hidup, serta tingginya angka kematian. Problema sosial yang disebabkan oleh faktor psikologis misalnya meningkatnya fenomena neurosis (sakit syaraf), tingginya penderita stress, dan sebagainya. Lain lagi dengan problema sosial yang disebabkan oleh faktor politik, misalnya; tersumbatnya aspirasi politik massa, meningkatnya sistem pemerintahan yang otoriter, ataupun tidak berfungsinya lembaga-lembaga tinggi negara (legislatif, eksekutif, maupun yudikatif). Sedangkan problema sosial yang disebabkan oleh faktor hukum misalnya; meningkatnya angka kejahatan, korupsi, perkelahian, perkosaan, delinkuensi remaja, dan bentuk kriminalitas lainnya termasuk “ white-collar crime” yang sedang marak belakangan ini.
Dari sisi fokus kajian mikro, sosiologi juga berfungsi dalam memberikan informasi untuk mengatasi masalah-masalah keluarga, seperti disorganisasi keluarga. Pengertian disorganisasi keluarga seperti yang dikatakan Goode (1964; 391), yaitu sebagai perpecahan dalam keluarga sebagai suatu unit. Perpecahan tersebut disebabkan oleh adanya kegagalan anggota-anggota keluarganya dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peran sosialnya. Adapun bentuk-bentuk disorganisasi keluarga tersebut bisa berupa; unit keluarga yang tidak lengkap, perceraian atau putusnya perkawinan, adanya empty shell family, krisis keluarga, dan sebagainya.
D. Sosiologi Sebagai Ilmu Obvious (Nyata)
Banyak orang sering memperdebatkan tentang sifat ilmu sosiologi itu. Tidak
sedikit yang mengemukakan bahwa sosiologi sebagaimana layaknya ilmu sosial,
tidak jauh berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tetapi di balik itu
semua nampak juga yang menekankan bahwa, jika sosiologi ingin tetap
merupakan sebuah ilmu pengetahuan, maka harus merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang jelas nyata (Poepenoe, 1983:5). Para ahli sosiologi sering berkata, kita banyak menghabiskan uang untuk
"menemukan" apa yang sebetulnya hampir semua orang telah mengetahuinya.
Keberadaan masalah ini disebabkan karena dalam sosiologi dihadapkan dengan
dunia masyarakat yang sebetulnya tidak begitu aneh, di mana orang-orang
yang secara umum sudah akrab ataupun mengenal konsep-konsep yang
diperkenalkan dalam bidang sosiologi. Sebaliknya, sebagai pembanding, dalam
pokok kajian pada kelompok ilmu-ilmu kealaman adalah sering berada di luar
dunia dari pengalaman kita sehari-hari. Maka untuk menjawab atas
permasalahan dalam ilmu pengetahuan alam, hal yang paling sering bahwa
temuan kajian itu memberikan dalam ungkapan bahasa dan simbol-simbol di
mana kebanyakan orang hampir tidak memahaminya atau benar-benar dibawa
dalam pengenalan konsep yang benar-bener baru.
Sekali lagi, penyebabnya hanyalah bidang kajian dalam sosiologi adalah hal-hal yang terbiasa kita kenal. Oleh karena itu implikasinya dari karena ‘sudah biasa’ dan familiar itu maka untuk memperoleh sesuatu yang ‘baru’ itu harus ditelitinya secara ekstrim dengan sangat seksama dan hati-hati. Adanya pernyataan-pernyataan yang menekankan pentingnya akal sehat ( common-sense), dan pertimbangan atau pemikiran (reasoning) memberikan dukungannya terhadap sosiologi, memang tidak boleh diabaikan tetapi juga sering menyesatkan.
E. Konsep-konsep Sosiologi
Dalam setiap disiplin ilmu, pasti ada kontroversi, termasuk sosiologi.
Walaupun para ahli sosiologi sudah berhasil dalam mengidentifikasi sejumlah
konsep-konsep dasar sosiologis dan memperoleh konsensus mengenai arti
penting tentang itu, konsep-konsep tersebut sering digambarkan dengan cara
yang berbeda oleh berbagai peneliti. Kebanyakan para ahli sosiologi
terkemuka sangat memperhatikan permasalahan dalam definisi disiplin ilmu
sosiologi itu. Herbert Blumer, seorang ahli sosiologi yang terpandang,
menetapkan bahwa konsep-konsep yang menjadi kunci dalam sosiologis adalah
"samar-samar, ambigu, dan tak tentu" dan usaha itu untuk membuat
terminologi yang lebih tepat telah menjadikan sebagian besar ‘tanpa buah’
(Quated dalam Gitter dan Manheim, 1957; 2).
Zetterberg menuliskan dengan jernih tentang masalah ini sebagai berikut: Socilogists have spent much energy in developing technical definitions, but to date they have not achieved a consensus about them that is commensurate with their effort. At present there are so many different competing definitions for key sociological notions such as “status” and “social role” that these terms are no more valuable than their counterparts…. In everyday speech ” (Zetterberg, 1966: 30).
(Para ahli sosiologi sudah menghabiskan banyak energi dalam mengembangkan definisi teknis, tetapi sampai saat ini mereka belum mencapai suatu konsensus tentang mereka bahwa hal itu adalah setaraf dengan usaha mereka. Pada saat sekarang ini terdapat sangat banyak perbedaan persaingan definisi-definisi untuk gagasan kunci sosiologi seperti "status" dan "peranan sosial" bahwa terminologi ini adalah tidak lagi berharga dibanding rekan imbangan mereka…. Di dalam pembicaraan sehari-hari". Sebaliknya, Horton dan Hunt (1991: 48-49) mengemukakan pendapat yang jauh berbeda. Mereka beranggapan bahwa studi sosiologi yang menggunakan konsep-konsep tersebut paling tidak ada dua manfaat: Pertama, kita memerlukan konsep yang diutarakan dengan teliti untuk melangsungkan suatu diskusi ilmiah. Bagaimana saudara dapat akan mampu menerangkan mesin pada seseorang yang tidak memiliki konsep “roda”… Kedua, perumusan konsep menyebabkan ilmu pengetahuan bertambah.
Namun ironisnya walaupun perselisihan faham konseptual dalam sosiologi, laju perkembangan dan corak baru disiplin tersebut tidak terpengaruh buruk bahkan mempercepat laju perkembangan bidang tersebut. Walaupun saat itu sosiologi tidak benar-benar muncul sebagai disiplin tersendiri sampai abad yang ke sembilan belas. Baru ketika sosiologi berhasil mendewasakan dirinya dan menjadi lebih ilmiah, semula kita mengharapkan konsensus yang lebih konseptual untuk lebih memudahkan perkembangan sosiologi, namun kenyataannya tetap sulit. Konsep-konsep sosiologi seperti masyarakat, peran, konflik sosial, lembaga sosial, kebiasaan (mores), norma, jarang difinisiakn cara serupa atau sama. Di samping itu masalah lain yang muncul ketika grand theory yang bukan hasil seorang peneliti, mendefinisikan terminologi dengan cara yang berbeda dibanding dengan ahli sosiologi yang melakukan penelitian lapangan.
Fakta bahwa terdapat tingkat persetujuan tentang makna dari penguasaan konsep-konsep pokok dalam sosiologi yang menyatakan bahwa secara sosiologis perspektif itu dapat memberikan suatu kontribusi substansial untuk membantu penguasaan dasar para siswa dalam memecahkan permasalahan sosial dan membuat keputusan tentang isu sosial yang penting. Untaian fakta-fakta, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi, dan teori-teori suatu disiplin itu diberi nama struktur ilmu. Hal ini mulai dikenal ketika di Amerika Seriakt khususnya terjadi suatu perubahan besar atau revolusi Studi Sosial yang terjadi pada tahun 1960-an. Ketika pendidik di sana pertama kali menganut konsep struktur ilmu, mereka merasakan optimisme pemecahan permasalahan kependidikan. Sebab pada saat itu mereka mempunyai suatu alternatif untuk mengajar suatu massa yang membuat para siswa tidak mudah lupa namun juga tidak terlalu dibebani dengan sederetan fakta-fakta yang memberatkan untuk dihafal.
Jerome S. Bruner mungkin orang yang paling berpengaruh di dalam revolusi structuralis (Banks, 1977: 244). Bagaimana tidak, sejumlah riset yang dilakukan oleh para ahli lainnya mendukung gagasan Bruner dalam karya monumentalnya The Process of Education (1960). Penelitian Senes (1964) yang meneliti di bidang pendidikan ekonomi, Crabtree (1967) meneliti pendidikan geografi, dan Burger (1970) meneliti dalam pendidikan sejarah (Hasan: 1996: 90). Ternyata dengan belajar menguasai struktur ilmu sesuai dengan perkembangan peserta didik (seperti; konsep-konsep, generalisasigeneralisasi, maupun teori-teori) jauh lebih cepat ingat dalam memori daripada dengan menghafal problema-problema yang bersifat “ collective memory” dengan gundukan peristiwa-peristiwa hafalan.
Dalam pandangannya, Bruner berasumsi bahwa melalui pembelajaran disiplin ilmu khususnya penguasaan struktur ilmu, maka akan terjadi transfer of lerning yang lebih memberi kemudahan bagi siswa untuk belajar lebih cepat terutama dengan non-specific transfer yang sifatnya umum dan ini yang merupakan the hesrt of educational process jantungnya proses pendidikan (Bruner, 1960: 23-26), walaupun dalam realitanya Bruner dan rekan-rekannya mempunyai berbagai kesulitan bahwa ada beberapa hal yang tidak memadai untuk dibayangkan sebelumnya yang menyebabkan gagalnya implementasi MACOS ( Man A Course of Study) yang ujicobakannya namun saya berpendapat bahwa itu adalah masalah teknis yang terlalu mengharapkan Studi Sosial yang betul-betul terpadu (sintetik), dan kebenaran teori Bruner tersebut tetap menjadi kontributor terpenting strategi penguasaan disiplin ilmu. Oleh karena itu di sini kita akan memulai menguraikan konsep-konsep sosiologi yang sering diajarkan berdasarkan kelaziman dalam mata pelajaran tersebut.
Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut, mencakup; (1)masyarakat; (2) peran; (3) norma; (4) sanksi; (5) interaksi sosial; (6) konflik sosial; (7) perubahan sosial; (8) permasalahan sosial; (9) penyimpangan, (10) globalisasi, (11) patronase; (12) kelompok; (13) patriarki; (14) hierarki.
Konsep-konsep Dasar Sosiologi
A. Masyarakat Sebagai Sistem Sosial
Dari definisi secara umum, terlihat bahwa kajian sosiologi mempelajari masyarakat secara alamiah dengan objek kajiannya adalah tentang kehidupan kelompok manusia. Secara sederhana objek kajian sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut pandang hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
Dalam bahasa Inggris masyarakat dikenal dengan istilah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Sedangkan masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu syarakat yang berarti ikut serta/berpartisipasi. Untuk lebih jelasnya mengenai definisi masyarakat dapat diambil dari beberapa tokoh berikut ini:
1) Selo Soemardjan memberikan definisi masyarakat adalah orang-orang yang
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.
2) Ralp Linton mendefinisikan masyarakat merupakan setiap kelompok manusia
yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur
diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan social dengan
batas-batas yang dirumuskannya dengan jelas.
3) Mac Iver dan Page menyebutkan masyarakat adalah suatu sistem dari
kebiasaan dan tata cara, dari wewenang kerja sama antara berbagai kelompok
dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan
manusia.
4) Sedangkan menurut Gillin dan Gillin, masyarakat adalah kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang
bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat terdiri dari unsure-unsur sebagai berikut.
1) Manusia yang hidup bersama.
2) Berinteraksi dalam waktu yang cukup lama.
3) Adanya kesadaran anggotanya sebagai satu kesatuan.
4) Suatu sistem kehidupan bersama yang menciptakan kebudayaan.
Menurut Marion Levy, mengatakan bahwa ada 4 kriteria yang harus dipebuhi
agar sebuah kelompok dapat disebut sebagai masyarakat yaitu sebagai
berikut:
1) Kemampuan bertahan yang melebihi masa hidup seorang anggotanya.
2) Perekrutan seluruh atau sebagian anggotanya melalui reproduksi atau
kelahiran.
3) Adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.
4) Kesetiaan pada suatu sistem tindakan utama secara bersama-sama.
HAKIKAT SOSIOLOGI SASTRA
A. Pengantar
Dalam wacana studi sastra, sosiologi sastra sering kali didefinisikan
sebagai salah satu pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai
karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial)
(Damono, 1979:1). Sesuai dengan namanya, sebenarnya sosiologi sastra
memahami karya sastra melalui perpaduan ilmu sastra dengan ilmu sosiologi
(interdisipliner). Oleh karena itu, untuk memahami konsep sosiologi sastra,
berikut ini diuraikan hubungan antara sosiologi sebagai sebuah ilmu dan
sastra sebagai fenomena masyarakat yang ditelaah secara ilmu sastra dalam
hubungannya dengan ilmu sosiologi.
B. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra, yang memahami fenomena sastra dalam hubungannya dengan
aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami sastra
yang bersifat interdisipliner. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan hakikat
sosiologi sastra, seorang ilmuwan sastra seperti Swingewood dalam The Sociology of Literature (1972) terlebih dulu menjelaskan
batasan sosiologi sebagai sebuah ilmu, batasan sastra, baru kemudian
menguraikan perbedaan dan persamaan antara sosiologi dengan sastra.
Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah
dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses sosial.
Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Apa yang diuraikan oleh Swingewood tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan oleh Soerjono Sukanto (1970), bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Demikian juga yang dikemukakan oleh Pitirim Sorokin (Soerjono Sukanto, 1969:24), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono, 1979).
Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan yang bermula dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ni disebut sociology of literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu. Kedua, penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi sastra). Dalam paradigma studi sastra, sosiologi sastra, terutama sosiologi karya sastra, dianggap sebagai perkembangan dari pendekatan mimetik, yang dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel tersebut: pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
C. Karya Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra
Sebagai pendekatan yang memahami, menganalisis, dan menilai karya sastra
dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam
perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai
sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukturalisme. Keberadaan karya
sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan
segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena
sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya
sastra adalah anggota masyarakat.
Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya.
Bertolak dari hal tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain dapat dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali (representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu. Dalam karya sastra, misalnya novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, kita dapat menemukan gambaran mengenai kehidupan kaum pribumi dalam pergaulannya dengan orang-orang Eropa pada masa kolonial Belanda, melalui tokoh Hanafi dan Corrie. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai ataupun ideology tertentu pada masyarakat pembaca. Ideologi nasionalisme, misalnya tampak disampaikan dalam novel Salah Asuhan . Tokoh Hanafi yang terombang ambing dalam posisinya sebagai pribumi yang mendapat pendidikan di sekolah untuk anak-anak Eropa dan ingin disamakan kedudukannya dengan orang-orang Eropa di Hindia Belanda agar dapat menikah dengan Corrie, menunjukkan lunturnya nasionalisme pada orang-orang pribumi pada masa kolonial Belanda. Sastra juga sangat mungkin menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang humanis. Novel Sitti Nurbaya, misalnya melawan tradisi yang biasa dijalankan kalangan bangsawan Minangkabau pada tahun 1920-an dalam berpoligami, seperti tampak pada dialog antara Sutan Mahmud dengan kakak perempuannya, Rubiah. Uraian berbagai macam varian sosiologi sastra pada bab berikutnya, akan menjelaskan berbagai macam perspektif sosiologi sastra dalam memandang keberadaan karya sastra. Selain itu juga memberikan gambaran bahwa sosiologi sastra memiliki bermacam- macam varian, dengan fokus kajian yang berbeda-beda.
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
SOSIOLOGI SASTRA
A. Pengantar
Sosiologi sastra mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang,
bahkan dapat dikatakan memiliki usia yang paling tua, karena Platolah yang
dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra. Berikut ini diuraikan
pertumbuhan dan perkembangan sosiologi sastra, mulai dari teori mimesis
yang dikemukakan Plato sampai dampak karya sastra bagi pembaca.
B. Teori Mimesis dan Kreasi: Plato dan Aristoteles
Plato, dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra (Damono, 1979:16). Kata mimesis (bahasa Yunani) berarti tiruan. Teori mimesis menganggap karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.
Plato, dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra (Damono, 1979:16). Kata mimesis (bahasa Yunani) berarti tiruan. Teori mimesis menganggap karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.
Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Demikian juga benda-benda yang ada di dunia: bunga, pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya dianggap sebagai tiruan dari dunia gagasan mengenai hal-hal tersebut. Maka, ketika seorang penyair kemudian menggambarkan mengenai pohon dalam puisinya, misalnya, dia hanyalah menggambarkan tiruan dari sebuah tiruan. Oleh karenanya, puisi atau sajak yang dihasilkannya tidak lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979:16). Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw, 1988:220). Menurut Plato ada beberapa tataran tentang ada, yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Yang nyata secara mutlak hanya yang baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap ada yang abadi (Verdinius, via Teeuw, 1988:220). Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan atau peniruan. Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi meniru keselarasan Illahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988:220).
Dalam rangka ini, menurut Plato mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri yang hirarki (Teeuw, 1988:220). Walaupun Plato cenderung merendahkan nilai karya sastra, yang hanya dipandang sebagai tiruan dari tiruan, namun dalam pandangannya tersebut tersirat adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat (kenyataan). Apa yang tergambar dalam karya sastra, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat.
Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk, 1984) memandang mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti sematamata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan. Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probability yang memaksa, dengan ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus, karena dunia itu merupakan konstruksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata. Karena seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan, maka menurut Aristoteles, nilai karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam karya seorang seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang dominan dan kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia (Teeuw, 1988:222). Berbeda dengan Plato yang cenderung merendahkan karya seni dalam hubungannya kenyataan, Aristoteles memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya seni. Menurutnya karya seni, menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988:222).
Dalam sosiologi sastra, teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari kajian sosiologi karya sastra, yang membahas ”kenyataan” yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan menganggap sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis masyarakat. Dalam kajian sosiologi sastra yang awal, hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, sering kali dipahami dalam hubungan yang bersifat langsung, tanpa mengingat hakikat sastra sebagai karya estetik yang diciptakan pengarang, dengan berbagai latar belakang dan motivasi yang kesemuanya akan ikut berperanan
dalam membentuk ”realitas” yang tergambar dalam karya sastra.
C. Hubungan antara Sastra dengan Lingkungan
Sosial, Iklim, Geografi, dan Lembaga Sosial:
Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael
Di samping dikenal sebagai seorang kritikus, Herder juga dikenal sebagai
seorang penyair, yang termasuk dalam periode klasik sastra Jerman (Damono,
1979:19). Gagasan pentingnya mengenai sastra yang mendasari perkembangan
sosiologi sastra adalah pendapatnya bahwa setiap karya sastra berakar pada
suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu. Faktor lingkungan sosial
dan geografis yang berhubungan dengan karya sastra, menurut Herder adalah iklim, lanskap, ras,
adat istiadat, dan kondisi politik. Di samping itu, Herder juga mengunakan
sejarah sebagai acuan untuk menganalisis sastra, sebaliknya sastra juga
digunakan untuk memahami sejarah (Damono, 1979:19). Hubungan antara sastra
dengan iklim, geografi, dan lingkungan sosial juga dikemukakan oleh Madame
de Stael (1766-1817), seorang kritikus dan sastrawan Perancis. Bukunya yang
berjudul
De la
Literature dans ses Rappaorts avec les Institutions
Sociales
membicarakan hubungan antara sastra dengan lembaga sosial: agama, adat
istiadat, dan hukum terhadap sastra (Damono, 1979:20). Di samping itu,
Stael (via Damono, 1979:20) juga menyatakan bahwa sifat-sifat bangsa juga
sangat penting peranannya dalam perkembangan sastra. Sifat-sifat bangsa
ditentukan oleh hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai lembaga
sosial seperti agama, hukum, dan politik. Untuk menjelaskan hubungan
tersebut, Stael mencontohkan kasus di Italia. Menurutnya, di Italia novel
tidak berkembang sebab di negeri tersebut orang-orang terlampau angkuh dan
tidak menghargai wanita. Menurutnya, novel hanya bisa berkembang di dalam
masyarakat yang memberikan status cukup tinggi kepada wanita, dan yang
menaruh perhatian besar terhadap kehidupan pribadi.
Hubungan antara karya sastra dengan iklim, geografi, lingkungan sosial, bahkan sifat-sifat suatu bangsa, seperti dikemukakan oleh Stael menunjukkan bahwa keberadaan, ciri-ciri, dan perkembangan sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek pencipta dan masyarakat pembaca yang menikmatinya, yang dibentuk oleh kondisi alam dan lingkungan sosial budayanya. Artinya, konteks sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
D. Asal-usul (Genetik) Karya Sastra: Hippolyte
Taine dan Lucien Goldmann
Taine, seorang filsuf, sejarawan, politisi, dan kritikus sastra Perancis
dianggap sebagai peletak dasar mazhab genetik dalam kritik sastra
(Laurenson & Swingewood,1972:31; Damono, 1979:21). Menurut Taine sastra
bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi
merupakan rekaman tata cara zamannya, suatu perwujudan macam pikiran
tertentu. Apa yang dikemukakan oleh Taine menunjukkan adanya hubungan
antara sastra yang diciptakan pengarang (melalui imajinasi dan pemahamannya
terhadap apa yang terjadi dalam masyarakatnya) dengan norma-norma dan nalar
kolektif masyarakat tempat pengarang dan pembaca hidup.
Melalui sastra, seorang pengarang dapat mengungkapkan kembali norma-norma dan nalar kolektif masyarakat yang melahirkan karya tersebut. Namun, dalam hubungannya dengan fungsi dokumen tersebut, Taine membedakan antara karya sastra besar (yang monumental) dan karya sastra biasa. Sastra hanya dapat dianggap sebagai dokumen, apabila ia merupakan monumen. Hanya pujangga yang sungguh-sunguh besar saja, yang mampu menggambarkan zamannya sepenuh-penuhnya. Menurut Taine (via Damono, 1979: 22) sebab-sebab yang melatarbelakangi timbulnya sastra besar antara lain adanya hubungan timbal balik antara ras, saat, dan lingkungan. Hubungan timbal balik antara ras, saat, dan lingkungan tersebut menghasilkan suatu struktur mental yang praktis dan spekulatif, yang selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gagasan-gagasan yang selanjutnya akan diwujudkan dalam sastra dan seni.
Ras menurut Taine mengacu pada ciri turun-temurun seperti perangai, bentuk tubuh, juga sifat-sifat suatu bangsa, sementara saat dapat berarti periode yang memiliki gambaran khusus tentang manusia, jiwa zaman, atau tradisi sastra. Kajian sastra yang menekankan pada aspek genetic (asal-usul) sastra selanjutnya dikembangkan oleh kritikus Lucien Goldmann dari Perancis, yang dikenal dengan pendekatan strukturalisme genetik. Goldmann memahami asal-usul karya sastra dalam hubungannya dengan pandangan dunia kelompok sosial pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang melahirkan karya sastra (Goldmann, 1981:74). Dalam hal ini struktur karya sastra dianggap sebagai ekspresi pandangan dunia kelompok sosial pengarang. Yang dimaksud dengan pandangan dunia menurut Goldmann (1981:112) adalah rumusan dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaanperasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang membedakannya (mempertentangkannya) dengan kelompok sosial lain.
Pengarang dalam pandangan Goldmann dianggap sebagai wakil dari sebuah kelompok sosial tertentu dalam masyarakatnya yang menyuarakan pandangan dunia masyarakatnya ke dalam karya sastra yang ditulisnya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka menurut Goldmann, memahami karya sastra pada dasarnya adalah memahami asal-usulnya dalam hubungannya dengan pandangan dunia masyarakat yang melahirkannya, seperti yang disuarakan oleh
pengarang sebagai wakil masyarakatnya.
F. Sosiologi Pengarang, Sosiologi Karya Sastra,
dan Sosiologi Pembaca dan Pengaruh Sosial
Karya Sastra: Rene Wellek dan Austin Warren,
dan Ian Watt
Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik
antara pengarang, masyarakat, dan pembaca. Hubungan tersebut menjadi dasar
pembagian sosiologi sastra oleh Rene Wellek dan Austin Warren, serta Ian
Watt. Dalam bukunya Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin
Warren (1994), menawarkan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu
sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan
pengaruh sosial karya sastra. Pembagian jenis sosiologi sastra tersebut,
hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh Ian Watt dalam esainya “ Litetarure an Society” (via Damono, 1979:3). Ian Watt, membedakan
antara sosiologi sastra yang mengkaji konteks sosial pengarang, sastra
sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Menurut Wellek dan Warren, sosiologi pengarang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil
sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri.
Mengkaji apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi
tujuannya. Sosiologi pembaca mengkaji pembaca yang pengaruh sosial karya
sastra. Menurut Ian Watt, konteks sosial pengarang, antara lain mengkaji
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan pembaca.
Sosiologi sastra yang mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat mengkaji
sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat.
Fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hal ini Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra sebagai penghibur belaka; (3) pandangan yang sifat kompromis, di satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Dari berbagai macam dasar kajian sosiologi sastra tersebut, kemudian muncul berbagai macam varian kajian sosiologi sastra yang akan dibicarakan secara khusus pada bab-bab selanjutnya.
Fungsi sosial sastra mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial. Dalam hal ini Ian Watt (via Damono, 1979) membedakan adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial sastra, yaitu (1) pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang melihat sastra sebagai penghibur belaka; (3) pandangan yang sifat kompromis, di satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Dari berbagai macam dasar kajian sosiologi sastra tersebut, kemudian muncul berbagai macam varian kajian sosiologi sastra yang akan dibicarakan secara khusus pada bab-bab selanjutnya.
SOSIOLOGI PENGARANG, KARYA SASTRA,
DAN PEMBACA
A. Pengantar
Ketiga tipe sosiologi sastra tersebut di atas ditawarkan oleh Wellek dan
Warren dalam bukunya Theory of Literature (1994:109-133).
Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi
sastra. Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra,
latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang
terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal
lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan
masalah sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak
sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra ditentukan atau
tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. Dengan fokus agak berbeda, Ian Watt (via Damono, 1979), juga merumuskan
wilayah kajian sosiologi sastra yang berorientasi pada pengarang, yaitu pada posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
B. Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang dapat dimaknai sebagai salah satu kajian sosiologi
sastra yang memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta karya
sastra. Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra
dianggap merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh
status sosialnya dalam masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya dalam
masyarakat, juga hubungannya dengan pembaca (interaksi sosial). Dalam
penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas
yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya
(Caute, via Junus, 1986:8). Realitas yang digambarkan dalam
karya sastra sering kali bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas
seperti yang diidealkan pengarang
. Dalam penelitian Junus (1986:8-9) mengenai novel-novel Indonesia, seperti Belenggu dan Telegram, ditemukan bahwa kedua novel
tersebut telah mencampuradukkan antara imajinasi dengan realitas. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap karya sastra melalui sosiologi pengarang
membutuhkan data dan interpretasi sejumlah hal yang berhubungan dengan
pengarang. Dari yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren, serta Watt, di
atas, maka wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain
adalah meliputi:
1. status sosial pengarang,
2. ideologi sosial pengarang,
3. latar belakang sosial budaya pengarang,
4. posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
5. masyarakat pembaca yang dituju,
6. mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi
produksi sastra)
7. profesionalisme dalam kepengarangan.
1. Status Sosial Pengarang
Status sosial sering kali disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat
seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Status dengan status sosial sering
diartikan sendiri-sendiri. Status diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial. Status sosial adalah tempat
seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang
lain dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta
kewajibannya. Namun supaya mudah, Soerjono Soekanto (1970:239) menganggap
keduanya memiliki arti yang sama yaitu status saja. Status pada dasarnya
digolongkan menjadi dua hal, yaitu ascribed status,achieved status, dan assigned status. Ascribed status adalah kedudukan
seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh
karena kelahiran, misalnya anak seorang bangsawan maka
sampai besar ia akan dianggap bangsawan pula. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan
yang tertutup, misalnya masyarakat feudal atau masyarakat dimana sistem
lapisan tergantung pada perbedaan rasial. Namun tidak hanya pada sistem
masyarakat tertutup saja, pada masyarakat dengan sistem sosial terbuka juga
ada. Misalnya, kedudukan laki-laki pada suatu keluarga, kedudukannya
berbeda dengan kedudukan istri dan anak-anaknya (Soekanto (1970:239).
Achieved status, yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang dengan cara diperjuangkan, dan usaha- usaha yang disengaja oleh individu itu sendiri . Kedudukan ini bersifat terbuka untuk siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar, serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, untuk menjadi seorang anggota legislatif dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Apabila ada seseorang yang ingin menjadi anggota legislatif maka ia harus memenuhi syarat tersebut. Jika terpilih nantinya maka kedudukannya dalam masyarakat akan berubah (Soekanto, 1970: 239) Assigned status, yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang karena pemberian sebagai penghargaan jasa dari kelompok tertentu. Biasanya orang yang telah diberikan status tersebut memiliki jasa karena memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Contohnya, pemberian nobel kepada orang yang berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat (Soekanto, 1970: 239) Dalam kaitannya dengan kajian status social pengarang di Indonesia, hal-hal yang berkaitan dengan ascribed status, achieved status, dan assigned status perlu diperhatikan. Hal ini karena dalam kasus pengarang tertentu, status sosialnya tidak terlepas dari ketiga tipe status sosial tersebut.
2. Ideologi Sosial Pengarang
Ideologi memiliki pengertian sebagai himpunan dari nilai, ide, norma,
kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian atau
problem yang mereka hadapi. Dalam kaitannya dengan kajian sastra,
pengertian ideologi ini seringkali disamakan dengan pandangan dunia (world view) yaitu kompleks yang menyeluruh dari gagasan-gagasan,
aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya
dengan kelompok sosial lainnya (Goldmann, 1977:17). Karena ideologi ini
dimiliki oleh suatu kelompok sosial, maka sering disebut juga sebagai
ideologi sosial.
Dalam pandangan sosiologi pengarang, ideologi sosial yang dianut seorang pengarang akan mempengaruhi bagaimana dia memahami dan mengevaluasi masalah sosial yang terjadi di sekitarnya . Pengarang berideologi sosial humanisme seperti Mochtar Lubis, misalnya akan memandang masalah sosial politik Indonesia masa Orde Lama sebagai keadaan yang mengakibatkan penderitaan rakyat, terutama akibat kondisi ekonomi dan stabilitas social politik yang memburuk. Hal itu cukup jelas terefleksi dalam novel Mochtar Lubis yang berjudul Senja di Jakarta.
3. Latar Belakang Sosial Budaya
Latar belakang sosial budaya pengarang adalah masyarakat dan kondisi sosial
budaya dari mana pengarang dilahirkan, tinggal, dan berkarya. Latar
belakang tersebut, secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki
hubungan dengan karya sastra yang dihasilkannya. Sebagai manusia dan
makhluk sosial, pengarang akan dibentuk oleh masyarakatnya. Dia akan
belajar dari apa yang ada di sekitarnya. Hubungan antara sastrawan, latar
belakang sosial budaya, dan karya sastra yang ditulisnya misalnya tampak
pada karya-karya Umar Kayam, seperti Para Priyayi dan Jalan Menikung. Umar Kayam, sebagai sastrawan yang berasal dari
masyarakat dan budaya Jawa priyayi, mengekspresikan kejawaannya dalam karya-karyanya
tersebut. Dalam novel tersebut digambarkan bagaimana para tokoh yang hidup
dalam masyarakat dengan konteks budaya Jawa menghayati dirinya sebagai
manusia yang tidak terlepas dari persoalan stratifikasi sosial masyarakat
Jawa yang mengenai golongan priyayi dan wong cilik, yang
berpengaruh dalam tata sosial dan pergaulan dalam masyarakat. Di samping itu, juga bebet, bobot, bibit dalam
hubungannya dengan kasus perkawinan.
4. Posisi Sosial Sastrawan dalam Masyarakat
Posisi sosial sastrawan berkaitan dengan kedudukan dan peran sosial seorang
sastrawan dalam masyarakat. Di samping sebagai sastrawan, bagaimanakah
kedudukan sosial dan perannya dalam masyarakat? Apakah seorang sastrawan
itu, orang yang memiliki kedudukan dan peran sosial cukup penting? Beberapa
contoh dalam sastra Indonesia, dapat ditemukan seorang sastrawan yang
memiliki kedudukan dan peran sosial yang penting, misalnya Budi Darma
(pengarang Olenka, Ny Talis, Orangorang Bloomington, Derabat, Kritikus Adinan) di samping seorang
sastrawan juga seorang akademisi, guru besar di Universitas Negeri
Surabaya. Demikian juga Y.B. Mangunwijaya (almarhum) (pengarangBurungburung Manyar, Trilogi Rara Mendut, juga Rumah Bambu) di samping seorang sastrawan, juga seorang
pastor, ilmuwan dan arsitek, yang gagasan-gagasannya mengenai manusia dan
budaya Indonesia dianggap penting oleh masyarakat dan komunitasnya.Posisi dan kedudukan sastrawan yang cukup penting dalam masyarakat, di
samping memiliki pengaruh terhadap isi karya sastranya, juga memiliki
pengaruh terhadap keberterimaan karya-karya yang dihasilkannya bagi
masyarakat.
5. Masyarakat Pembaca yang Dituju
Sebagai anggota masyarakat, dalam menuliskarya sastranya sastrawan tidak
dapat mengabaikan masyarakat pembaca yang dituju. Agar karyanya dapat
diterima masyarakat, maka sastrawan harus mempertimbangkan isi dan bahasa
yang dipakai. Memang dalam berkarya sastrawan tidak tergantung sepenuhnya
atau menuruti secara pasif selera pelindung (patron) atau publiknya, tetapi
ada kemungkinan justru sastrawanlah yang menciptakan publiknya (Wellek dan
Warren, 1994). Sering kali, bahkan seorang pengarang telah menentukan
siapakah calon pembaca yang dituju. Novel Para Priyayi ditulis
Umar Kayam untuk ditujukan kepada pembaca yang sedikit banyak memiliki
bekal pengetahuan budaya Jawa karena dalam novel tersebut cukup banyak
ditemukan ungkapan, kosakata, dan butir-butir budaya Jawa yang melekat pada
tokoh-tokoh dan latar masyarakat yang digambarkannya. Demikian juga, novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma ditulis
untuk masyarakat yang sedikit banyak memiliki pengetahuan yang berhubungan
dengan wayang, khususnya Ramayana, karena di dalamnya ada kerangka
cerita dan tokoh-tokoh wayang.
Dalam hubungan antara sastrawan dengan masyarakat, Wellek dan Warren (1994) juga menjelaskan bahwa sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakatnya. Seni (sastra) dalam hal ini tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Pemberian nama anak dalam masyarakat Jawa, misalnya banyak mengambil inspirasi dari nama tokoh-tokoh wayang atau dongeng, seperti Yudhistira, Bima, Harjuna, Sadewa, Nakula, Larasati, Shakuntala, Kresna, Panji, Candrakirana menunjukkan adanya pengaruh sastra bagi kehidupan nyata.
6. Mata Pencaharian Pengarang dan Profesionalisme
Pengarang
Tidak semua sastrawan bermata pencaharian dari aktivitas menulis
semata-mata. Dalam hubungannya dengan hal ini, Watt (via Damono, 1979: 3)
mengemukakan bagaimana seorang pengarang mendapatkan mata pencahariannya?
Apakah dia mendapatkannya dari pengayom (patron), atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap? Beberapa kasus di Indonesia, seorang sastrawan memiliki kerja rangkap. Sena Gumira Ajidarma, misalnya di
samping sastrawan juga seorang dosen di Institut Kesenian Jakarta dan
Universitas Indonesia, Goenawan Mohamad, di samping sastrawan juga seorang
jurnalis (Pemred Majalah Tempo); Budi Darma, di samping seorang
sastrawan, juga seorang Guru Besar Sastra Inggris di Universitas Negeri
Surabaya; Sapardi Djoko Damono, di samping seorang kritikus dan penyair,
juga seorang Guru Besar Sastra di Universitas Indonesia. Di samping mereka
masih dapat ditambah beberapa nama sastrawan yang memiliki pekerjaan
rangkap. Sebagai orang yang memiliki pekerjaan rangkap, maka sudah pasti mereka
mendapatkan penghasilan bukan semata-mata dari profesinya sebagai
sastrawan. Bahkan boleh jadi, penghasilan utamanya bukanlah dari profesinya
sebagai sastrawan, tetapi dari pekerjaan lainnya. Pekerjaan rangkap bagi
seorang sastrawan menyebabkan masalah profesionalisme dalam
kepengarangan.Sejauh mana seorang sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai
suatu profesi. Apakah dia menganggap pekerjaannya sebagai
sastrawan sebagaiprofesinya utamanya, ataukah sebagai profesi sambilan.
Dalam hal ini perlu dilakukan kajian secara empiris terhadap sejumlah
sastrawan Indonesia. Di samping itu, pekerjaan rangkap yang dipilih seorang
sastrawan juga memiliki pengaruh terhadap karya sastra yang diciptakannya,
seperti sudah diuraikan dalam masalah status dan kedudukan pengarang dalam
masyarakat. Karena wilayah kajian sosiologi pengarang cukup luas, maka
untuk menerapkan kajian sosiologi pengarang, diawali menentukan masalah
yang akan dikaji, salah satu masalah (misalnya status sosial) atau beberapa
masalah sekaligus (ideologi sosial, latar belakang sosial budaya, dan
posisi sosial sastrawan dalam masyarakat). Tentukan pula, siapa pengarang
yang akan dikaji (misalnya Ayu Utami atau Pramudya Ananta Toer). Setelah
itu, kumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan masalah yang
dipilih. Data primer maupun sekunder dapat dikumpulkan untuk kajian
sosiologi pengarang. Untuk pengarang yang masih hidup dan mungkin
terjangkau, data primer dapat diperoleh. Namun, untuk pengarang yang sudah meninggal, atau dari masa lampau, data
tersebut tidak dapat diperoleh, sehingga cukup data sekunder. Analisis data
yang telah dikumpulkan. Interpretasikan keterkaitan antara data mengenai
pengarang dengan karya sastranya.
7. Dua Tradisi Kepengarangan di Indonesia: Kajian
Sosiologi Pengarang oleh Jakob Sumardjo
Jakob Sumardjo (Segi Sosiologis Novel Indonesia Bab 5, 1981) telah
melakukan kajian terhadap tradisi kepengarangan di Indonesia.
Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa dunia kepengarangan di Indonesia, dapat dikatakan dilahirkan dari dua dunia,
yaitu dunia kewartawanan dan dunia keguruan. Di samping itu, ditemukan dunia kedokteran dan kepegawaian umumnya
(Sumardjo, 1981:34). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sumardjo
(1981:34) sampai awal 1980-an ditemukan bahwa sebelum perang (maksudnya
perang dunia kedua) terdapat 14 orang pengarang yang jabatannya wartawan,
10 orang dari jabatan guru. Sesudah perang jumlahnya meningkat. Pengarang
yang berasal dari wartawan ada 31 orang, sementara pengarang yang berasal
dari kalangan guru dan dosen ada 22 orang. Data yang berkaitan dengan dunia kepengarangan dan profesionalisme
kepengarangan, serta profesi rangkap tersebut menunjukkan bahwa pengarang
Indonesia sebagian besar hidup dari kewartawanan, baik sebagai redaktur
suatu koran atau majalah, atau sebagai wartawan lapangan. Menurut Sumardjo
(1981:35) kenyataan ini tidak mengherankan karena asal mulanya timbul
kesusastraan modern di Indonesia, memang disebabkan oleh munculnya
persuratkabaran. Sekitar tahun 1850 di Indonesia (Hindia Belanda) telah
terbit koran-koran dengan bahasa Melayu yang dikelola oleh orangorang
Belanda atau Cina, dan orang-orang Melayu sendiri. Dari lingkungan itulah,
sekitar tahun 1890-an muncul roman-roman pertama dalam bahasa Melayu
pasaran yang ditulis oleh orang-orang Belanda semacam Wiggers dan
orang-orang Cina seperti Lie Kim Hok. Lantas sekitar tahun 1990-an, muncul
nama-nama Indonesia asli yang menulis roman, seperti Haji Mukti (menulisHikayat Siti Mariyah), R.M. Tirtoadisuryo (menulis Busono dan Ny Permana), serta Mas Marco Kartodikromo
(menulis Rasa Medeka dan Student Hijo). Mereka adalah para
wartawan. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para wartawan Indonesia
seperti Adinegoro, Semaun, Abdul Muis, Armijn Pane, Matu Mona, Mochtar
Lubis, Satyagraha Hoerip, Iwan Simaputang, sampai Putu Wijaya.
Di kalangan guru dan dosen, kegiatan kepengarangan menurut Sumardjo (1981:35) baru dimulai pada tahun 1908, dengan didirikannya komisi bacaan rakyat oleh pemerintah kolonial yang kemudian bernama Balai Pustaka (1917). Beberapa pengarang Indonesia yang berkarya melalui penerbit ini antara lain Muhamad Kasim, Suman HS, Aman Dt. Madjoindo, Selasih, Nur St. Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, yang semuanya berprofesi guru pada waktu itu. Tradisi ini dilanjutkan oleh A.A. Navis, Ali Audah, Wildan Yatim, Kuntowijoyo, Budi Darma, dan Umar Kayam. Menurut penelitian Sumardjo (1981) ada perbedaan karakteristik antara karya yang ditulis oleh dua tradisi tersebut. Roman dari kalangan wartawan, pada awal perkembangannya, meskipun ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu pasar, namun persoalan yang mereka garap lebih serius yaitu persoalan sosial politik penduduk jajahan.
Sastra mereka gunakan sebagai alat untuk mengekspresikan kegundahan politik mereka. Roman-roman mereka keras dan galak terhadap sistem penjajahan dan diwarnai oleh pertentangan keras ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa sastra bukan sekedar hiburan, tetapi juga suatu bentuk mengemukakan permasalahan sosial politik bangsa. Sementara itu, roman karya para guru lebih bersifat didaktis dan kolot. Yang mereka persoalkan adalah nasib buruk kaum perempuan akibat kolotnya orang tua, seperti tampak pada Sitti Nurbaya, Jeumpa Aceh, dan Kasih Tak Terlerai. Roman-roman ini cenderung sentimentil dengan kerangka plot yang dipasang sedemikian rupa sehingga jalan cerita menjurus kepada memeras air mata para pembacanya Sumardjo (1981:37).
Profesi guru yang mengharuskan mereka bersikap konvensional dan hati-hati menurut Sumardjo (1981:38) kurang menunjukkan karyakarya yang berani, Sebagai guru dan dosen, para pengarang tersebut harus menjaga diri sebagai benteng budaya mapan. Oleh karena itu, pembaharuanpembaharuan dalam kesusastraan kita jarang keluar dari lingkungan guru, tetapi dari lingkungan wartawan. Roman-roman Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Armijn Pane jelas merupakan tonggak-tonggak karya pembaharuan dan mereka adalah para wartawan.
C. Sosiologi Karya Sastra
1. Batasan Sosiologi Karya Sastra
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya
sastra dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam
masyarakat. Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis Plato, yang
menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994). Oleh Watt (via Damono, 1979:4) sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.
2
. Wilayah Kajian Sosiologi Karya Sastra
Beberapa masalah yang menjadi wilayah kajian sosiologi karya sastra adalah:
isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya
sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Di samping itu, sosiologi
karya sastra juga mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat, sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu (Junus,
1986), mengkaji sastra sebagai bias (refract) dari realitas (Harry
Levin, via Junus, 1986). Isi karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial, dalam hal ini sering
kali dipandang sebagai dokumen sosial, atau sebagai potret kenyataan sosial
(Wellek dan Warren, 1994). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thomas
Warton (via Wellek dan Warren, 1994) terhadap sastra Inggris, dibuktikan
bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam cirri-ciri zamannya. Sastra
menurut Warton, mampu menjadi gudang adat istiadat, buku sumber sejarah
peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.
Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan ikhtisar
sejarah sosial. Namun, menurut Wellek dan Warren (1994) harus dipahami bagaimana protret
kenyataan sosial yang muncul dari karya sastra? Apakah karya itu
dimaksudkan sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire,
karikatur, atau idealisme romantik?
Dalam hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (1988:228) menjelaskan bahwa karya sastra lahir dari peneladanan terhadap Kenyataan, tetapi sekaligus juga model kenyataan. Bukan hanya sastra yang meniru kenyataan, tetapi sering kali juga terjadi sebuah norma keindahan yang diakui masyarakat tertentu yang terungkap dalam karya seni, yang kemudian dipakai sebagai tolak ukur untuk kenyataan.Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra. Oleh karena itu, menurut Junus (1986:3-5), sosiologi karya sastra yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya ditandai oleh beberapa hal.
Pertama, unsur (isi/cerita) dalam karya diambil terlepas dari hubungannya dengan unsur lain. Unsur tersebut secara langsung dihubungkan dengan suatu unsure sosiobudaya karena karya itu hanya memindahkan unsur itu ke dalam dirinya. Kedua, pendekatan ini dapat mengambil citra tentang sesuatu, misalnya tentang perempuan, lelaki, orang asing, tradisi, dunia modern, dan lain-lain, dalam suatu karya sastra atau dalam beberapa karya yang mungkin dilihat dalam perspektif perkembangan. Ketiga, pendekatan ini dapat mengambil motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini ada kecenderungan melihat hubungan langsung ( one-to one-cerrespondence) antara unsur karya sastra dengan unsur dalam masyarakat yang digambarkan dalam karya itu (Swingewood, via Junus, 1986:7). Oleh karena itu, pengumpulan dan analisis data bergerak dari unsur karya sastra ke unsur dalam masyarakat, dan menginterpretasikan hubungan antara keduanya. Analisis hendaknya mempertimbangkan apa yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren: apakah karya itu dimaksudkan sebagai gambaran yang realistik? Ataukah merupakan satire, karikatur, atau idealisme Romantik?
D. Sosiologi Pembaca dan Dampak Sosial Karya
Sastra
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca.
Hal-hal yang menjadi wilayah kajiannya antara lain adalah permasalahan
pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta sejauh mana karya sastra
ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan
sosial (Wellek dan Warren, 1994). Di samping itu, juga mengkaji fungsi
sosial sastra, mengkaji sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial (Watt, via Damono, 1979).
1. Pembaca
Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam
menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca
atau publiknya, menurut Wellek dan Warren (1994), seorang sastrawan tidak
hanya mengikuti selera publiknya atau pelindungnya, tetapi juga dapat
menciptakan publiknya. Menurutnya, banyak sastrawan yang melakukan hal
tersebut, misalnya penyair Coleridge.
Sastrawan baru, harus menciptakan cita rasa baru untuk dinikmati oleh publiknya. Beberapa sastrawan Indonesia, juga memiliki publik yang berbeda-beda, sesuai dengan aliran sastra, gaya bahasa, serta isi karya sastranya. Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya memiliki publik pembaca yang berbeda dengan Umar Kayam, Ahmat Tohari, atau pun Pramudya Ananta Toer. Karya-karya Iwan Simatupang, Budi Darma, dan Putu Wijaya yang berkecenderungan beraliran surealistis, inkonvensional, dan penuh dengan renungan filosofi mengenai hidup manusia lebih sesuai untuk publik yang memiliki latar belakang intelektual perguruan tinggi dan kompetensi sastra yang relatif tinggi.
Sementara karya-karya Umar Kayam dan Ahmat Tohari yang cenderung beraliran realisme, konvensional, bicara mengenai masalah-masalah sosial budaya memiliki publik lebih luas, hampir sebagian masyarakat pembaca Indonesia dapat menikmati karya-karya mereka. Perlu dilakukan kajian secara empiris mengenai siapa sajakah pembaca yang secara nyata (real) membaca karya-karya pengarang tertentu. Apa motivasinya membaca karya tersebut? Apakah mereka membaca karena ingin menikmatinya sebagai sebuah karya seni? Membaca karena harus melakukan penelitian terhadap karya-karya tersebut? Atau membaca karena harus memilih karya-karya tertentu untuk berbagai kepentingan, seperti menyeleksi karya-karya yang harus dijadikan bahan bacaan wajib di sekolah (proyek Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas), memilih karya terbaik dalam sebuah sayembara penulisan karya sastra (proyek Dewan Kesenian Jakarta, Yayasan Khatulistiwa, atau Yayasan Nobel), bahkan juga membaca untuk membuat resensi yang lebih berpretensi kepada promosi sebuah karya sastra baru agar dikenal dan dipilih oleh masyarakat pembaca secara lebih luas. Perlu diteliti juga bagaimana para pembaca tersebut menilai dan menanggapi karya sastra yang telah dibacanya? Faktor- factor apa sajakah (secara sosiologis dan psikologis) yang berpengaruh dalam menilai dan menanggapi karya sastranya?
2. Dampak dan Fungsi Sosial Karya Sastra
Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan
dinikmati pembaca. Dalam bukunya, Ars Poetica (tahun 14 SM),
Horatius (via Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan tugas dan fungsi seorang
penyair dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna dan
memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah
untuk kehidupan. Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian
menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi
sastra. Dalam hubungannya dengan fungsi sosial sastra, Ian Watt (via Damono, 1979)
membedakan adanya tiga pandangan yang berhubungan dengan fungsi sosial
sastra, yaitu (1) pandangan kaum romantik yang menganggap sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, sehingga sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu dan perombak; (2) pandangan “seni untuk seni”, yang
melihat sastra sebagai penghibur belaka; dan (3) pandangan yang bersifat
kompromis, di satu sisi sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara
menghibur.
Dalam kajian sosiologi pembaca menurut Junus (1986:19), yang dipentingkan adalah reaksi dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra tertentu, sedangkan karya sastranya sendiri diabaikan, menjadi periferal. Untuk melihat reaksi dan penerimaan pembaca terhadap suatu karya sastra, menurut Lowental (via Junus, 1986:19) perlu diperhatikan iklim sosiobudaya masyarakatnya. Hal ini karena latar belakang sosial budaya masyarakatlah yang membentuk cita rasa dan norma-norma yang digunakan pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu. Untuk menerapkan kajian ini terlebih dulu perlu ditentukan wilayah kajiannya, misalnya apakah akan membatasi pada komunitas pembaca tertentu yang membaca dan menanggapi karya tertentu, ataukah akan meneliti juga bagaimana karya tertentu ditanggapi oleh pembacanya, faktor-faktor sosial budaya politik yang melatarbelakangi tanggapan pembaca, ataukah bagaimana pembaca memanfaatkan karya tertentu? Setelah menentukan wilayah kajiannya, selanjutnya kumpulkanlah data yang diperlukan, dilanjutkan dengan memaknai data tersebut.
Komentar
Posting Komentar