Pengaruh Adanya Kritisi Terhadap Sejarah Perkembangan Karya Sastra
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui saat ini sastra adalah salah satu bentuk keilmuan
yang dipelajari oleh seseorang yang ingin memahami apa itu ilmu yang mendasari adanya sastra.
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi (create) bukan semata-mata
sebuah imitasi, dalam hal ini karya sastra sebagai bentuk dan hasil dari
sebuah proses kreatif pada pikiran dengan menggunakan media yang
mendayagunakan bahasa untuk memberi ungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh
karena itu, objek kajian keilmuan sastra itu luas dan sifat ilmunya tentang
manusia yang dinamis dan tidak pasti, berbeda dengan keilmuan lain yang
objek kajiannya cenderung statis seperti misalnya ilmu sains. Jika kita
berbicara tentang studi sastra, ada kaitannya dengan disiplin ilm sastra yaitu sejarah sastra. Sejarah sastra merupakan cabang studi sastra
yang oleh Rene Wellek (1968: 39) dipecah menjadi tiga: teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra, ketiga cabang studi ini berkaitan dengan sastra
dan kesusastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya karena keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi,
komplementer dan saling mendukung. Dalam wilayah sastra perlu ditarik
perbedaan antara kritik sastra, sejarah sastra dan teori sastra. Kritik
sastra misalnya, hanya memungkinkan untuk dapat melakukan evaluasi terhadap
sebuah karya sastra secara objektif, jika evaluasinya berdasar pada teori
sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan
penilaian yang subjektif dan juga tak berdasar, jika ia mengabaikan teori
sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga dengan sejarah sastra,
yang hanya mungkin dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika memperoleh
bantuan dari beberapa teori sastra, karena sebuah catatan sejarah sastra
yang berisi sebuah pembaharuan dalam karya sastra tidak bisa dibuat jika
tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu untuk apa pula
teori sastra jika tidak dimanfaatkan untuk kritik sastra, karena kritik
sastra yang tidak menggunakan teori sastra hanya akan menghasilkan
interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra,
kritik sastra dan sejarah sastra hadir dalam fungsi saling melengkapi.
Kritik Sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang lansung
berhadapan dengan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya (Wellek,
1978: 35) pengertian ini sedikit berbeda dengan yang dikemukakan di Inggris
ataupun Amerika pada umumnya seperti yang tampak pada buku “Northrop Frye Anatomy of Criticism” (1973) oleh Graham
Hough bahwa kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan
penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan nilai melainkan kritik
sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan, untuk
apa dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan.
Pengertian kritik sastra di Inggris dan Amerika ini lebih cenderung berupa
teori kritik sastra yang membicarakan sejarah sastra, sedangkan kritik
sastra sendiri adalah berbeda dengan sejarah sastra meskipun saling
berkaitan, Untuk memperjelas pengenalan kita tentang kritik sastra lebih
lanjut, (Pradopo, 1988: 17) mengemukakan tiga kegunaan kriti sastra yaitu, pertama untuk perkembangan ilmu sastra itu sendiri, kedua
, untuk perkembangan kesusastraan, dan ketiga, untuk penerangan
masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.
Penjelasan terusan dari 3 penggolongan guna kritik sastra tersebut adalah kegunaan pertama kritik sastra dapat membantu
penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Kegunaan kedua kritik sastra dapat membantu
perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan baik-buruknya
karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya
sastra. Dengan demikian para satrawan dapat mengambil manfaat dari
penyampaian kritik sastra, mereka dapat mengembangkan penulisan karya-karya
sastra yang mereka buat, yang mengakibatkan terjadi perkembangan
kesusastraan. Kegunaan ketiga, kritik
sastra dapat menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan dan menilai)
karya sastra (Pradopo, 2007: 92-93).
Sastra dan kesusastraan suatu bangsa selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Di Indonesia sendiri, kesusastraan lahir pada tahun 1920 dan terus
berkembang. Dengan demikian sejarah sastra itu tak lain adalah rangkaian
atau jajaran periode-periode sastra dari tahun ke tahun. Pengertian periode
menurut Wellek (1968: 265), dikemukakan bahwa periode yaitu sebuah bagian
waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma-norma sastra, standar-standar,
dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya,
keberagaman, dan integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut. Periode-periode
sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra yang menempati
periode-periode tersebut, karena itulah masalah angkatan tak dapat
dihindari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, atau penulisan sejarah
sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan masalah angkatan dan
periodisasi. Angkatan sastra tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang
hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena
hidup dalam kurun masa yang sama atau periode tertentu itu, tentulah ada
saling pengaruh hingga mereka mempunyai ide, gagasan, atau semangat yang
sama atau ada kemiripan. Namun sudah menjadi kodrat karena selalu ada
generasi pengganti, maka satu angkatan sastra akan disusul atau diganti
angkatan lain. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek (1968: 165-6) bahwa
rangkaian periode sastra itu jangan dibayangkan seperti balok-balok batu
yang dijajarkan secara berurutan, melainkan dilihat bahwa periode sastra
itu saling tumpang-tindih. Sebelum sebuah angkatan lenyap sama sekali,
sudah timbul benih-benih angkatan baru. Sebelum sebuah angkatan berakhir,
biasanya karena pengaruh situasi atau kondisi tertentu yang istimewa, maka
timbul gagasan baru yang mulai menampakkan diri. Sebelum angkatan baru itu
terintegrasi, maka angkatan lama masih mempunyai kekuatan, bahkan juga
sesudah angkatan baru terintegrasi karena sesungguhnya adanya angkatan baru
tidak akan menghilangkan sepenuhnya eksistensi angkatan lama. Dengan
demikian, angkatan lama dan angkatan baru itu hidup berdampingan.
2.
Masalah
2.1 Batasan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan analisa kami tentang beberapa kemunculan kritik
sastra terhadap perjalanan perkembangan karya sastra selama melalui sejarah
yang panjang, ruang lingkup permasalahan yang akan kami bahas mengenai
judul yang telah dipilih antara lain:
1.) Kritik terhadap konsep karya sastra dari beberapa angkatan dalam suatu
susunan periode sehingga menjadi satu keutuhan sejarah sastra.
2.) Perkembangan sejarah sastra di Indonesia
3.) Teori-teori yang pernah ada dalam sejarah perkembangan sastra.
2.2 Rumusan Masalah
Dari batasan masalah yang telah kami ambil diatas, telah ditentukan
beberapa perumusan masalah sebagai berikut:
1.) Bagaimana kritik yang berkembang dan muncul dalam membangun sejarah
perkembangan sastra yang utuh?
2.) Bagaimana perkembangan sejarah sastra di Indonesia berlangsung?
3.) Bagaimana teori-teori yang pernah ada dalam sejarah perkembangan sastra?
3. Metode Penelitian
3.1 Pendekatan Penelitian
Metode yang memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam
bentuk sebuah deskripsi. Sebagai bagian dari perkembangan ilmu sosial,
kualitas penafsiran dalam metode kualitatif dibatasi oleh hakikat-hakikat
fakta-fakta sosial, artinya adalah sebagaimana ditafsirkan subjek. Metode
kualitatif memberikan perhatian terhadap data-data alamiah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
- Kritik Sastra yang Berkembang dalam Periodisasi Sastra
Kritik sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra. Kritik sastra yaitu kegiatan menganalisis teks dari sebuah karya sastra. Kritik sendiri dapat diterapkan pada semua bentuk karya
sastra baik itu berupa puisi, prosa, novel maupun drama. Kritik adalah
karangan yang menguraikan pertimbangan baik atau buruk suatu karya sastra,
yang biasanya diakhiri dengan kesimpulan analisis. Aspek-aspek pokok kritik
sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran) dan evaluasi atau
penilaian.
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya perlu adanya analisis (Hills, 1996: 6), yaitu penguraian
terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sesungguhnya analisis itu
merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah karya
sastra itu struktur yang kompleks, berisi pemikiran-pemikiran rumit,
struktur rumit, serta ditulis dengan bahasa yang rumit pula, oleh karena
itu karya sastra perlu penafsiraan yang jelas, yang dapat memperjelas
artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya
adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981: 84). Dalam
arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan
sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat pada kegelapan,
ambiguitas, atau bahasa kiasannya. (Pradopo, 2007: 93) Tujuan kritik
sendiri bukan hanya menunjukkan keunggulan, kelemahan, kebenaran dan
kesalahan sebuah karya sastra berdasarkan sudut pandang tertentu tetapi
juga mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan karya sastra tertinggi
dan untuk mengapresiasi karya sastra dengan cara yang lebih baik. Kehadiran
kritik sastra akan membuat satra yang dihasilkan berikutnya menjadi lebih
baik dan lebih berbobot karena kritik terhadap karya sastra akan
menunjukkan kekurangan sekaligus memberikan perbaikan.
- Ciri-Ciri Kritik Sastra
Kritik sastra mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Memberikan tanggapan atau respon terhadap hasil karya seoranng
sastrawan.
b. Memberikan pertimbangan baik dan buruk, kelebihan dan kekurangan dari
sebuah karya sastra.
c. Pertimbangan bersifat objektif.
d. Memaparkan kesan subjektif atau pribadi kritikus terhadap sebuah karya
sastra.
e. Memberikan alternatif perbaikan atau penyempurnaan.
f. Tidak membuat prasangka dan mempertimbangkan fakta.
g. Tidak terpengaruh siapa penulisnya.
- Pentingnya Kritik Sastra atau Fungsi Kritik Sastra.
- Bagi Pembaca
Bagi pembaca adanya kritik terhadap karya sastra merupakan penuntun untuk
dapat menikmati ciptaan kaya yang telah dikritik tersebut, sehingga dapat
memberikan pandangannya dan menghargainya.
- Bagi Seniman atau Pengarangnya
Bagi pengarangnya adanya kritik terhadap karya sastranya merupan petunjuk
atau penunutun berharga yang wajib dipertimbangkan untuk kebaikan untuk
kebaikan ciptaan yang akan datang.
- Prinsip-Prinsip Penulisan Kritik Sastra
a. Penulis harus menulis kritiknya secara terbuka dan mengemukakan dari
sisi mana ia melihat dan menilai karya sastra itu.
b. Penulis harus objektif dalam menilai.
c. Penulis harus menyertakan bukti teks yang dikritik.
- Jenis-Jenis Kritik Sastra:
a. Kritik Sastra Intrinsik, yaitu menganalisis karya sastra berdasarkan
unsur intrinsiknya, sehingga akan diketahui kelemahan dan kelebihan yang
ada dalam karya sastra.
b. Kritik Sastra Ekstrinsik, yaitu menganalisis dengan cara menghubungkan
karya sastra dengan penulisnya, pembacanya atau masyarakatnya. Disamping
itu juga melibatkan faktor ekstrinsik lain seperti sejarah psikologi,
religius, pendidikan dsb.
c. Kritik Sastra Deduktif, yaitu menganalisis dengan cara berpegang teguh
pada sebuah ukuran yang dipercayainya dan dipergunakan secara konsekuen.
d. Kritik Sastra Induktif, yaitu menganalisis dengan cara melepaskan semua
hukum yang berlaku.
e. Kritik Sastra Impresionik, yaitu menganalisis hasil karya sastra
berdasarkan kesan pribadi secara subjektif.
f. Kritik Sastra Penghakiman, yaitu menganalisis dengan cara berpegang
teguh pada ukuran atau aturan tertentu untuk menentukan apakah sebuah karya
sastra baik atau buruk.
g. Kritik Sastra Teknis, yaitu kritik yang dilakukan untuk tujuan tertentu
- Aliran-Aliran Kritik Sastra
- Menurut Bentuknya
Kritik sastra menurut bentuknya dapat digolongkan menjadi 2, yaitu kritik
teori (Thoeritical Criticism) dan kritik terapan (Applied Criticism).
Kritik teori adalah bidang kritik sastra yang bekerja untuk menerapkan
istilah-istilah, kategori-kategori dan kriteria-kriteria untuk diterapkan
dalam pertimbangan dan interpretasi karya sastra dan para sastrawannya
dinilai. Kritik ini berfungsi sebagai dasar dari pengkritikan sastra.
Adapun kritik terapan adalah pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik
sastra baik secara eksplisit maupun implisit (Pradopo, 2007: 95)
- Menurut Pelaksanaannya (Metode Penerapannya)
Menurut pelaksanaannya kritik sastra terbagi atas 2, yaitu kritik judisial
(Judicial Criticism) dan kritik impresionistik (Impressionistic Criticism).
Kritik Judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis,
menginterpretasi dan menilai serta menerangkan efek-efek karya sastra
berdasarkan pokoknya, organisasinya teknik dan juga gayanya berdasarkan
ukuran-ukuran, hukum-hukum, dan standar-standar tertentu. Kritik Judisial
mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar
standar umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra. Kritik tersebut
jenis sifatnya deduktif karena melakukan kritik sastra berdasarkan
ukuran-ukuran yang merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya deduktif.
Dalam kritik yang bersifat deduktif seorang kritikus tidak menerapkan
standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat dari
fenomena yang ada dalam karya sastra secara objektif. Kritik impresionistik
adalah kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata menggambarkan
sifat-sifat yang terasa dalam bagian khusus sebuah karya sastra dan
mengekspresikan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditimbulkan
secara langsung oleh karya sastra tersebut (Abrams, 1981: 35). Oleh Ellot
(1960: 3-4). Kritik ini disebut juga “kritik yang estetik” karena
didalamnya kritikus menunjukkan kesan-kesan pada objek dan penafsiran untuk
mengagumkan pembaca, dengan menimbulkan kesan-kesan indah kepada pembaca
(Pradopo, 1995: 95)
- Menurut Orientasinya
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai karya sastra adalah orientasi
karya sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya
sastra itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan),
pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasarkan hal itu ada empat orientasi
yaitu, orientasi mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif (Abrams 1979:
6; 1981: 36-37).
Orientasi mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, cerminan ataupun
representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada karya
sastra adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan ataupun
yang hendaknya digambarkan.
Orientasi pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai
tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun
pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan pada
berhasilnya mencapai tujuan.
Orientasi ekspresif memandang karya sastra sebagai ekspresi, luapan, ucapan
perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, dan
perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang karya sastra dengan
keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visium atau keadaan
pikiran dan kejiwaan pengarang.
Orientasi Objekif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri,
otonom, bebas dari pengarang, pembaca dan dunia sekelilingnya. Orientasi
ini cenderung menerangkan karya sastra atas kompleksitas, koherensi,
keseimbangan, integritas, saling hubungan antarunsur yang membentuk karya
sastra (Pradopo: 1995: 94)
- Periodisasi Aliran Kritik Sastra
1)
Aliran Kritik Sastra pada Zaman Balai Pustaka.
Kegiatan kritik sastra Indonesia baru dimulai pada periode Balai Pustaka
yang menulis kritik sastra pada waktu itu adalah para sastrawan. Disamping
menulis karya sastra , mereka terkadang juga menulis kritik sastra. Kritik
sastra pertama ialah terkenal dengan nama Nota Rinkes, yakni ( Nota over de Vlkslectuur) pada zaman Balai Pustaka (tahun 1920-an)
yang memuat aturan-aturan untuk buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Nota Rinkes dapat dikatakan sebagai kritik sastra karena menjadi pedoman
penulisan karya sastra yang antara lain berisi aturan tentang keharusan
bersikap netral terhadap agama, memperhatikan syarat-syarat budi pekerti
yang baik, menjaga ketertiban dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah
sesuai dengan Politik Balas Budi. Oleh karena itu, teori kritik sastra ini
merupakan kritik normatif dan pragmatik, sudut pandang atau perspektif
pragmatik itu sendiri tidak sesuai dengan sudut pandang (perspektif)
pengarang yang ekspresif, yang lebih mengutamakan nilai seni daripada
mendidik masyarakat pembaca. Di samping itu pula kritik yang pragmatik
bertentangan dengan intensi pengarang. Orientasi ekspresif itu seperti yang
dikemukakan oleh Armijn Pane 1933 (1952: 23)
“Sebaik-baiknyalah pujangga yang dibandingkan itu sendiri yang jadi
ukuran sebab ialah yang menjadi cermin masyarakat dan zaman dan lagi
pula individunya tiadalah tersia-sia. Yang kita utamakan ialah sajak
(karya sastra, RDP) pujangga itu benar-benarkah menyatakan sukmanya
atau tidakkah ia mencerminkan sukmanya itu dengan tepatnya”
(Pradopo, 1995: 98) Hasilnya kelihatan dalam roman yang berorientasi
pragmatik (memiliki tujuan tertentu) untuk memajukan dan mendidik rakyat
untuk berbudi pekerti yang baik dan taat pada pemerintah. Di luar Balai
Pustaka, pada zaman itu ada juga penulisan kritik sastra yang meskipun
sederhana, oleh Mohammad Yamin. Kritik tersebut merupakan kritik sastra
pertama walaupun mengritik karya-karya sastra lama.
2)
Aliran Kritik Sastra pada Zaman Pujangga Baru.
Kritik sastra zaman Pujangga Baru memiliki beberapa kritikus yang
berorientasi pada ekspresif dan romantik. Para kritikus tersebut adalah
(Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sutan Syahrir, dan J.E.
Tatenkeng).
Mereka menyetujui adanya konsep sastra 'seni untuk seni' (l'art pour l'art). Sebagai kritikus sastrawan
zaman Pujangga Baru, Armijn Pane mengungkapkan bahwa dalam kesusastraan
yang terpenting adalah isi dari karya sastra. Sementara rupa dan bentuk
hanya sebagai perhatian. Ia menambahkan, bila hasil karya sastra seorang
pengarang dikritik, itu menjadi ukuran pengarangnya sendiri karena dialah
cermin masyarakat dan zamannya. Kritikus zaman Pujangga Baru lainnya yaitu,
J.E. Tatenkeng juga berorientasi yang sama, yaitu ekspresif. Selain itu
Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh kritikus yang produktif pada zaman itu,
menambahkan bahwa tujuan sastra adalah untuk membangun bangsa. Serta karya
sastra harus mengandung optimisme perjuangan, penuh semangat jangan sampai
melemahkan pembaca (masyarakat). Sedangkan Sutan Syahrir, agak berbeda
dengan Sutan Takdir Alisyabana, ia lebih mengarahkan kesusastraan Indonesia
ke arah kiri sosialis-politis, yaitu pragmatik sektoral bukan pragmatik
nasional. Namun keduanya memiliki kesamaan yaitu, sastra untuk pendidikan
yang bertendens. W.J.S Poerwadaminta mengatakan bahwa sastrawan Pujangga
Baru berorientasi ekspresif karena mendasarkan karya sastra sebagai curahan
perasaan, pikiran, jiwa sastrawan dan gerak sukma sebagai pertimbangan dan
gerak interpretasi.
3)
Aliran Kritik Sastra pada Periode Angkatan 45'
Dalam periode ini, kritik sastra berupa esai dan terapan kritk. Dan
diantara para kritikus zaman ini, HB Jassin muncul sebagai kritikus yang
paling menonjol. Aliran sastranya realisme, naturalisme dengan gaya
ekspresionalisme yang terkenal pada zaman ini. Kritik sastra beraliran
realisme dan naturalisme dilaksanakan pertama kali oleh HB Jassin pada
periode ini sebagai teori kritik. Pada saat itu juga muncul paham
individualisme dan humanisme universal. Paham individualisme baru tampak
dalam karya 'Aku' Chairil Anwar, sastrawan Angkatan 45'. Dan sejak saat itu
kemudian menjadi lambang individualisme Angkatan 45'.
4)
Aliran Teori Sastra Kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif para tokoh PKI, antara
lain Aidit, Nyoto, Henk Ngantung, A.S. Sehingga tak heran jika corak Lekra
adalah komunitas. Para seniman dan simpatisannya menganut paham
realisme-sosialis yang berkonsep 'seni untuk rakyat' dan menolak paham
'seni untuk seni' konsep dari zaman Pujangga Baru. Saat itu tokoh Pramoedya
Ananta Toer mempertentangkan realisme barat meskipun jelas perbedaan antara
keduanya. Ia juga menjelaskan sastra politik dan filsafat itu tidak dapat
dipisahkan. Akan tetapi, intinya seluruhnya selalu bernapaskan perlawanan
terhadap segala yang berbau 'Humanisme Borjuis' dan untuk memenangkan
'Humanisme Proletar'. Dan jelaslah kritik sastra Kelompok Lekra juga
bertipe pragmatik.
5)
Teori Kritik Sastra Revolusioner
Teori kritik sastra revolusioner adalah varian dari teori sastra Lekra.
Teori ini berkembang pada saat Dekrit Presiden 1959 dan berpusat pada
gagasan Sitor Situmorang dalam bukunya 'Sastra
Revolusioner' yang mengatakan bahwa teori revolusioner berorientasi
pragmatik. Menurut Sitor, untuk mengambil peran dalam revolusi serta
mendapat isi revolusionernya, tradisi sastra perjuangan pada masa lalu
harus dibangkitkan, untuk mencapai sastra nasional dan bukan sastra
internasional yang diindonesiakan. Karena sesungguhnya sastra adalah milik
rakyat, tidak ada kelas-kelas dalam sastra. Pada hakikatnya teori Lekra dan
Revolusioner sama, teori pragmatiknya mengarahkan sasaran pada penulisan
sastra untuk tujuan politik.
6)
Teori Kritik Sastra Akademik.
Pada sekitar pertengahan tahun 1950-an timbul kritik sastra corak baru,
yaitu kritik sastra akademik. Disebut demikian karena kritik sastra ini
ditulis oleh kritikus yang berasal dari kampus universitas dan sempat
mendominasi dunia sastra dalam kurun waktu dari tahun 1956-1975. Kritik
akademik atau kritik ilmiah telah dimulai oleh Slametmuljana pada awal
tahun 1950-an dengan judul tulisannya “Kemana Arah Perkembangan Puisi
Indonesia?” (1953). Hanya saja baru sesudah pertengahan tahun 1950-an corak
kritik akademik ini berkembang dengan tampilnya Umar Junus, J.U. Nasution
para kritikus akademik dari kampus Rawamangun Fakultas Sastra UI. Kritik
sastra akademik berupa penelitian ilmiah terhadap karya sastra dengan
metode ilmiah. Ciri-cirinya ialah pembicaraan yang sampai kepada hal-hal
yang terkecil, ada analisis yang merenik; disusun dalam susunan yang
sistematik segala (sebagian besar) unsur karya sastra disoroti; ada
pertanggung jawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat: pernyataan
disertai argumentasi dan pembuktian; menggunakan sandaran pandangan atau
pendapat para ahli sastra yang berhubungan untuk memperkuat pernyataan atau
argumentasinya; mempergunakan metode ilmiah baik itu metode deduktif maupun
induktif, bahkan juga dipergunakan metode statistik dan tabel: dan
mempergunakan teknik penulisan yang lain. Munculnya corak kritik baru ini
menimbulkan reaksi sampai akhirnya timbul perdebatan. Misalnya pada awalnya
adalah reaksi Rustandi Kartakusuma dan Harijadi S. Hartowardojo yang
menuduh kritik ilmiah itu sebagai kritik induktif yang interpretatif, tidak
ada penilaian, sebagian besar hanya berupa penafsiran saja Rustandi
Kartakusuma (1960: 17). Selanjutnya dikatakan bahwa kritik ilmiah tidak
bisa diterima, lebih-lebih pada zaman itu di Indonesia. Lagi pula kritik
ilmiah sifatnya serba lahir (yang dimaksudkan kritik J.U. Nasution terhadap
karya sastra Sitor Situmorang). Kemudian kata lanjutnya sebagai berikut
“Jika sekiranya kritik ilmiah masih ada harganya bagi dunia sastra yang
telah maju di Barat, di Indonesia ia akan menambah kekacauan ukuran dan
sama sekali tidak akan memberi wawasan.”
Demikian perdebatan terus saja bergulir selama kurun waktu yang ada, hingga
periode inipun begitu cepat berlalu (Pradopo, 2007:
99-100).
7)
Teori Kritik Sastra Periode 1956-1975.
Dari kelompok sastrawan, teori kritik sastra dalam periode ini diwakili
oleh Rustandi Kartakusuma, Harijadi S. Hartowardojo dan Ajib Rosidi.
Rustandi mengatakan kunci selera sastra adalah pengajaran. Pengajaran di
kuliah sastra, mempengaruhi penciptaan sastra dan akhirnya memengaruhi
selera sastra di Indonesia. Adapun jenis kritik sastranya adalah judisial
atau memberi penilaian. Berbeda dengan Rustandi Kartakusuma, Harijadi
menyatakan, membaca adalah menggali hikmah dari sebuah bacaan atau
menemukan diri penyair dalam karangannya. Sebuah kritik sastra harus mampu
menyelidiki sampai mana penyair dapat mengungkapkan isi hatinya. Sedangkan
kritik Ajib Rosidi adalah kritik judisial. Ia mengemukakan bahwa untuk
memahami karya sastra sesorang, diperlukan pembicaraan dan penelitian latar
belakang sosio-budaya pengarang.
8)
Perkembangan Sastra di Indonesia.
Mengenai kapan lahirnya kesusastraan Indonesia, ada begitu banyak pendapat,
yang tidak bisa diuraikan seluruhnya. Namun ada satu pendapat di sini yaitu
menurut Nugroho Notosusanto (1963: 205) tentang kapan kesusastraan itu
lahir yaitu saat nasionalitas Indonesia secara resmi telah lahir, sebab
sesudah itu karya cipta sastra sudah bersifat nasional Indonesia, bukan
karya cipta daerah lagi. Secara resmi dan diakui nasionalitas Indonesia
lahir tanggal 20 Mei 1908, yaitu tanggal berdirinya Budi Utomo yang
merupakan organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia pertama. Jadi
sejatinya lahirnya sastra Indonesia tanggal 20 Mei, tetapi penentu lahirnya
sastra harus didasarkan juga pada adanya karya sastra konkret, di sinilah
karya sastra akan bersifat nasional. Kenyataannya pada tanggal tersebut
belum ada karya sastra (modern) yang bersifat nasional Indonesia, dan baru
ada sekitar tahun 1920. Secara sporadis antara tahun 1908-1920 itu masih
ada satu dua karya sastra yang bersifat nasional dengan bahasa nasional
yaitu bahasa Indonesia meskipun pengakuannya secara resmi Bahasa Indonesia
terjadi tanggal 28 Oktober 1928. Misalnya karya tersebut berupa roman Student Hidjo (karya, Mas Marco Martodikromo) terbit 1919 (Teeuw,
1978: 35) dan Hikayat Kadirun (karya Semaun) terbit 1920 (Teeuw,
1987: 33). Namun baru sesudah terbitnya karya-karya sastra Balai Pustaka
yang diawali dengan Azab dan Sengsara (1921) cipta sastra Indonesia
bersambung terus tak terputus hingga sekarang. Begitu juga sekitar tahun
1920 itu telah ditulis sajak-sajak yang bersifat nasional Indonesia oleh
Mohammad Yamin, Sanusi Pane, Muhammad Hatta, dan lain-lainnya Ajip Rosidi,
1964: 70). Jadi, secara tegas dapat dikatakan (dibulatkan) lahirnya sastra
Indonesia tahun 1920, tahun yang utuh sebagai kecenderungan penentuan
periodisasi meskipun tidak mutlak. Sejarah sastra Indonesia sendiri
dipelopori oleh H.B Jassin. Karya-karya yang berkenaan dengan sejarah atau
klasifikasi sastra Indonesia diantaranya: Pujangga Baru: Prosa dan Puisi
(1963), Chairil Anwar Angkatan '45, Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968).
Buku-buku inilah yang sebagian besar mempengaruhi pola klasisifikasi sastra
di Indonesia. Sistem klasifikasi yang dipakai ialah sistem generasi atau
angkatan, di dalam buku itu pula terdapat pengantar pada antologi
sastrawan-sastrawan (Pradopo, 1995: 6-7)
Teori-Teori yang Pernah Ada dalam Sejarah Perkembangan Sastra
- Sejarah Perkembangan Teori Sastrawan-sastrawan
Teori berasal dari kata “theoria” (bahasa Latin).
Secara etimologi teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas.
Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahan keilmuan. Penemuan
tehadap teori-teori baru dianggap suatu kualitas akademis yang meningkat
dan dapat dijadikan tolak ukur kemajuan ilmu pengetahuan. Namun meskipun
demikian teori bukan merupakan tujuan utama. Teori sendiri adalah “alat”
yang melaluinya sebuah penelitian dapat dilakukan secara lebih maksimal.
Tujuan utama teori tetap yaitu pemahaman terhadap objek. Oleh karena itu
apabila terjadi ketidakseimbangan antar teori dengan objek, maka yang
dimodifikasi adalah teori bukan objek. Teori sastra diterjemahkan sebagai
seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan
secara sistematis, berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra,
apabila teori sastra memberikan intensitas pada konsep, prinsip, dan
kategori (Wellek dan Werren, 1962: 38-40). Kritik sastra memberikan
intensitas pada sebuah penilaian, sejarah sastra pada sebuah proses
perkembangan dan sebagai alat, tujuan utama teori dengan metode dan
tekniknya adalah mempermudah pemahaman terhadap objek.
1)
Teori Strukturalisme
Teori ini memiliki prinsip-prinsip antar hubungan dengan strukturalisme
konsep fungsi dan memegang peranan penting. Artinya unsur-unsur sebagai
ciri khas teori ini dapat berperan secara maksimal dengan adanya fungsi
yaitu, dalam rangka menunjukkan unsur-unsur yang terlibat dalam sebuah
karya sastra. Dengan mengambil analogi dalam bidang kebahasaan sebagai
hubungan sintakmatis dan paradigmatis maka, karya sastra dapat dianalisis
dengan dua cara. Pertama menganalisis unsur-unsur yang terkandung dalam
sebuah karya sastra dan yang kedua, menganalisis melalui perbandingan
dengan unsur diluarnya (ekstrinsik) yaitu kebudayaan pada umumnya. Sebuah
relevansi prinsi antarhubungan dalam menganalisis karya sastra disatu pihak
dapat mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus dan berkelanjutan
memperhatikan setiap unsur sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
unsur-unsur lain.
2)
Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, kemunculan teori ini dipicu oleh tiga
faktor yaitu: akibat penolakan terhadap paradigma abad ke-19 yang memegang
teguh prinsip-prinsip klousalitas sebagai reaksi terhadap studi biografi,
kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora yaitu pergeseran paradigma
dari diakronis ke sinkronis, penolakan adanya pendekatan tradisional yang
memberikan perhatian terhadap karya sastra dengan sejarah sosiologi dan
psikologi. Tujuan pokok teori ini yakni studi ilmiah tentang sastra dengan
meneliti unsur kesusastraan puitika, asosiasi, oposisi dan lain sebagainya.
3)
Teori Postkolonial
Dalam sebuah analisis postkolonial lahir sesudah kebanyakan dari
negara-negara yang pernah terjajah sebelum memperoleh kemerdekaan, teori
ini mencakup seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami
kekuasaan imperial sejak awal zaman kolonial hingga sekarang. Teori ini
dikatakan bersifat multidisiplin juga studi kultural karena melibatkan abad
berakhirnya Imperium Colonial di seluruh dunia. Tulisan-tulisannya
berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonialisme yang menyangkut hal-hal
didalamnya.
4)
Teori Feminisme
Fenimisme (femme) adalah suatu gerakan kaum wanita untuk sesuatu yang
disubordinasikan dan direndahkan oleh kebudayaan dominan di beberapa bidang
politik, ekonomi, dan sosial pada umumnya. Jika diartikan dalam pengertian
yang lebih sempit lagi yaitu dalam sastra fenimisme terkait dengan cara
seseorang memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan produktifitas
maupun resepsi. Teori ini sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan
haknya dari konflik kelas dan gender. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang
studi yang relevan yakni tradisi literer perempuan, pengarang perempuan,
pembaca perempuan, tokoh-tokoh perempuan, ciri khas bahasa perempuan dan
lain sebagainya.
5)
Teori Resepsi Sastra
Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan pada tahun 1970-an
sebagai sebuah jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang memberikan
perhatian terhadap unsur-unsur, sebagai awal dari timbulnya kesadaran untuk
membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran
humanisme universal, sebagai suatu kesadaran bahwa keabadian nilai karya
seni disebabkan oleh pembaca dan kesadaran bahwa nilai yang terkandung
dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Berasal dari
bahasa Latin yaitu “recipere” yang diartikan sebagai penerimaan
atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diatikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap suatu karya sehingga
dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksud tidak dilakukan
antar karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses
sejarah yang ada dalam periode tertentu. Resepsi adalah ilmu keindahan yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra (Pradopo,
2007: 218).
BAB III
PENUTUP
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan akhir yakni mempelajari sastra
sebagai keilmuan terasa kurang lengkap jika tidak menyangkut studi sastra
dan apa saja yang ada didalamnya yang secara keseluruhan ikut menjadi
bagian-bagiannya, yaitu terbagi atas tiga: teori sastra, kritik sastra, dan
juga sejarah sastra.
- Saran
Mempelajari sejarah sastra sama dengan memahami sastra dari latar belakang
kemunculannya,perkembangannya melalui rentang periode-periode, dan juga
eksistensinya dalam kurun waktu tertentu. Memperlajari sejarah sastra
berarti mempelajari formulasi pembentuknya yang memiliki konvensi dengan
sastra sebelumnya. Adapun kritik sastra yang melatarbelakangi atau sebagai
penyebab dari segala macam bentuk perubahan yang mengarah kepada
penyempurnaan hingga sastra dapat diterima sebagimana bentuk sastra saat
ini. Oleh karenanya dalam mempelajari sejarah sastra ada baiknya kita juga
mengetahui beberapa teori dan kritik-kritik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Komentar
Posting Komentar