Analisis Jenis Makna dalam Novel AUS Karya Putu Wijaya (Kajian Semantik)
ANALISIS JENIS MAKNA DENGAN KAJIAN SEMANTIK
DALAM NOVEL “AUS”
KARYA PUTU WIJAYA
PENELITIAN
RAUDATUS SYARIFA
NPM.
1534411066
NUR HASHANAH
NPM.
1534411055
PROGRAM
STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan
alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa
dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan. Antara lain
dengan menggunakan pendekatan makna dalam mengkaji bahasa. Dalam hal ini,
semantik merupakan salah satu dari bidang lingusitik yang mempelajari tentang
makna. Semantik (Sema) dalam bahasa
Yunani artinya tanda atau lambang (sign)
pertama kali kali digunakan seorang filolog Perancis bernama Michel Breal tahun
1833. Semantik kemudian disepakati digunakan bidang linguistik dalam mempelajari
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Semantik dapat
diartikan ilmu tentang makna atau arti.
Bahasa
merupakan media komunikasi paling efektif yang digunakan manusia dalam
berinteraksi dengan individu lainnya. Bahasa yang kita gunakan dalam
berinteraksi pada keseharian sangat bervariasi baik dilihat dari fungsi maupun
bentuknya. Tataran penggunaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam
berinteraksi tentunya tidak dapat terlepas dari penggunaan kata atau kalimat
yang pada akhirnya bermuara pada makna.
Melalui
bahasa, seseorang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan atau apa yang
dirasakan. Melalui pemilihan dan penggunaan kata, makna dianggap paling tepat
untuk difungsikan bagi tujuan dan sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu, penggunaan
bahasa yaitu sebagai pengungkapan pikiran maupun perasaan. Ketika yang
disampaikan itu adalah ide, pikiran, hasrat, keinginan pada orang lain baik itu
bentuk verbal lisan atau tulisan, orang tersebut harus bisa menangkap apa yang
dimaksudkan sebab memahami apa yang dituangkan dari bahasa.
Kajian
makna kata dalam suatu bahasa termasuk bahasa Indonesia menurut sistem
penggolongan semantik adalah cabang linguistik yang bertugas semata-mata untuk
meneliti makna kata, sebagaimana asal mulanya bahkan juga perkembangannya, dan
apa sebab-sebab terjadinya perubahan makna dalam sejarah bahasa. Banyak bidang
ilmu lain yang mempunyai sangkut-paut dengan semantik terbatas pada usaha
memperhatikan dan mengkaji proses transposisi makna kata dalam pemakaian bahasa.
Ulman (1972), berpendapat apabila seseorang memikirkan maksud suatu perkataan,
sekaligus memikirkan rujukannya atau sebaliknya. Hubungan antara maksud dengan
perkataan itulah lahir makna, oleh karena itu walaupun rujukannya tetap, akan
tetapi makna dan perkataan dapat berbeda.
Seiring
berkembangnya zaman, bahasa pun juga ikut berkembang mengalami
pergeseran-pergeseran makna. Pergeseran makna bahasa memang tidak dapat
dihindari, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karenanya kita sebagai
calon guru Bahasa Indonesia perlu tahu secara mendasar mengenai ilmu kebahsaan
yang utuh salah satunya mengenai makna kata atau kalimat.
Menurut (Chaer,
2009: 5) kesulitan dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak
selalu “yang menandai” dan “yang ditandai” berhubungan sebagai satu lawan satu, artinya, setiap tanda
linguistik hanya memiliki satu makna. Makna ibarat mempelajari rambu lalu lintas dilihat dari
ciri-ciri fisik saja. Sebab bahasa itu sendiri merupakan wahana pengungkap
makna. Banyak faktor yang mendasari berubahnya makna sebuah kata. Chaer (2009:
131) menyebutkan Sembilan faktor kehidupan yang memiliki andil besar dalam
perubahan makna, antara lain: perkembangan dalam ilmu dan teknologi ,
perkembangan sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi,
pertukaran tanggapan indra, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses
gramatikal, dan pengembangan istilah.
Makna
dalam objek semantik sebagai komunikasi verbal dapat dijumpai dalam bentuk lisan atau ujaran maupun tulisan.
Namun sebagai objek penelitian jenis makna lebih mudah dianalisa dalam sebuah
tulisan yang memuat kata atau kalimat. Dalam hal ini novel merupakan salah satu
dari objek yang dipilih karena di dalamnya memuat tulisan yang bisa diteliti
dari segi jenis maknanya. Sebagai sebuah karangan prosa dengan susunan kata
atau kalimat sebagai pembentuknya. Sebagai karya sastra dalam bentuk teks, tujuan
utamanya yaitu untuk dibaca, dinikmaati, dan dihayati oleh pembaca.
Karya
sastra adalah media penyampai kepada masyarakat
atas segala polemik persoalan yang ada sehingga kita dapat mempunyai gambaran
atas apa yang harus kita lakukan saat harus menghadapi persolan yang sama
dengan apa yang terjadi dalam sebuah karya sastra (novel). Proses Tinjauan
semantik dalam karya sastra novel dapat
dilakukan melalui pengkajian jenis
makna yaitu makna konseptual, asosiatif, idiomatikal,
peribahasa, kias, lokusi, ilokusi, perluka merupakan sebuah pertimbangan
bahwasanya dalam sebuah novel berisi kata, frase maupun kalimat yang memuat
jenis makna tersebut.
1.2
Masalah
1.2.1
Ruang
Lingkup Masalah
Masalah yang
timbul dalam penggunaan jenis makna dalam
novel AUS karya Putu Wijaya, misalnya:
1) Penulisan
kalimat jenis makna konseptual dalam
novel AUS.
Mengapa Sanggulan di batas kota Tabanan sampai begitu
melarat, tak pernah ada yang mempersoalkan.
2) Penulisan
kalimat jenis makna asosiatif dalam novel AUS.
Apa bedanya ia dengan orang-orang Sanggulan itu?.
Kecuali ia memang pernah menunggang kursi bupati, apa yang dapat ia banggakan
lagi sekarang? Sawah warisan leluhurnya hampir seratus hektar telah lenyap
disapu oleh landreform di awal tahun 60-an.”
3) Penulisan
kalimat jenis makna idiomatikal dalam novel AUS.
Pada suatu ketika, kebetulan ada keluarga yang kena
musibah. Salah seorang anak gadisnya ketahuan berbadan dua.
4) Penulisan
kalimat jenis makna peribahasa dalam novel AUS.
“Kita dibela mati-matian dulu. Kalau tidak
ada bapaknya, mana bisa kita seperti sekarang. Kok malah kita giliran punya tugas, malah berbuat begitu. Memancing
dalam air keruh itu namanya.”
5) Penulisan
kalimat jenis makna kias dalam novel AUS.
“Setidaknya kehidupan di pedesaan memang
begitu. Anak-anak di desa memang tak memakai alas kaki. Orang tua pun jarang
memakai baju.”
6)
Penulisan kalimat jenis makna lokusi dalam novel AUS.
….Semua yang mendengar kemudian hanya
menggeleng-geleng. Mereka mulai sadar pensiunan itu tak akan sembuh kalau
Bupati Tabanan belum menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil manggut-manggut.
7)
Penulisan kalimat jenis makna ilokusi dalam novel AUS.
Semua yang mendengar kemudian hanya menggeleng-geleng.
Mereka mulai sadar pensiunan itu tak akan sembuh kalau Bupati Tabanan belum
menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil manggut-manggut.
8)
Penulisan kalimat jenis makna perlokusi dalam novel AUS.
9)
“Hidup ini seperti teka-teki Pak Bupati” kata Nak Sungkan suatu ketika
Pak Bupati mengangguk-anggukkan kepala minta
penjelasan.
“Ya seperti teka-teki silang,” lanjut Nak Sungkan.
1.2.2
Batasan
Masalah
Pembatasan
masalah dalam kegiatan analisa jenis makna
dalam semantic ini dibatasi hanya pada penggunaan jenis makna konseptual, assosiatif,
idiomatical, peribahasa, kias, lokusi, ilokusi dan perlokusi yang terdapat
dalam novel karya Putu Wijaya..
1.2.3
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, adapun
rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana makna konseptual dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
2) Bagaimana makna asosiatif dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
3) Bagaimana
makna idiomatikal dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
4) Bagaimana
makna peribahasa dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
5) Bagaimana makna kias dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
6) Bagaimana
makna lokusi dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
7) Bagaimana makna ilokusi dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
8) Bagaimana
makna perlokusi dalam novel AUS karya Putu Wijaya?
1.3
Tujuan
Penelitian
Dalam penelitian
dengan menganalis jenis makna ini
tujuan yang ingin dicapai terangkum dalam dua tujuan sebagaimana tertera di
bawah ini.
1.3.1
Tujuan
Umum
Tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh hasil
analisa mengenai jenis-jenis makna melalui kajian semantik pada sebuah kata,
frase atau maupun kalimat sebagai objek tulisan yang terdapat dalam novel AUS
karya Putu Wijaya.
1.3.2
Tujuan
Khusus
1) Mendeskripsikan makna konseptual yang terdapat dalam
novel AUS karya Putu Wijaya.
2) Mendeskripsikan makna asosiatif yang terdapat dalam novel
AUS karya Putu Wijaya.
3) Mendeskripsikan makna idiomatikal yang terdapat dalam
novel AUS karya Putu Wijaya.
4) Mendeskripsikan makna peribahasa yang terdapat dalam
novel AUS karya Putu Wijaya.
5) Mendeskripsikan makna kias yang terdapat dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
6) Mendeskripsikan makna lokusi yang terdapat dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
7) Mendeskripsikan makna ilokusi yang terdapat dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
8) Mendeskripsikan makna perlokusi yang terdapat dalam novel
AUS karya Putu Wijaya.
1.4
Manfaat
Penelitian
1.4.1
Manfaat
Praktis
a. Bagi
Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi pendidik agar dapat memperkaya tata bahasa dan pemahaman yang luas mengenai
apa saja yang kata, frase maupun kalimat yang dapat
dikategorikan dalam jenis-jenis makna dalam kajian semantik.
b. Bagi
Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu
memperluas ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang semantik yaitu tentang jenis makna.
1.4.2
Manfaat
Teoretis
a. Penelitian
ini dapat memberikan informasi
mengenai hasil analisis karya novel dari segi jenis makna dalam kajian
semantik. Diantaranya makna konseptual, asosiatif, idiomatikal, peribahasa,
kias, lokusi ilokusi dan perlokusi yang terdapat dalam novel AUS karya Putu
Wijaya.
b. Penelitian
ini dapat mendeskripsikan yang berhubungan dengan kajian semantik jenis makna (makna konseptual, makna asosiatif, makna
idiomatikal, makna peribahasa, makna kias, makna lokusi, makna ilokusi, dan
makna perlokusi) dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
1.5
Definisi
Operasional
Penelitian mengenai “Analisis Jenis Makna dengan Kajian Semantik dalam
Novel AUS Karya Putu Wijaya”. Untuk memudahkan
langkah selanjutnya, dalam penelitian ini perlu dijelaskan secara operasional pengertian
istilah ataupun hal yang berkaitan pada judul tersebut.
1) Analisis adalah pekerjaan meneliti sambil menguraikan
bagian-bagian dari yang diteliti sesuai dengan jenisnya (Badudu, 2008: 20)
2) Novel adalah karangan yang berbentuk prosa tentang
peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang dialami orang dalam
kehidupan sehari-hari tentang suka duka, kasih saying dan benci, tentang watak
dan jiwanya (Badudu, 2008: 244). AUS adalah salah satu jenis karya sastra dalam bentuk novel yang
dibuat oleh Putu Wijaya.
3) Karya adalah hasil budidaya terutama dalam dunia seni,
Kamisa (2007: 286)
4) Semantik
merupakan salah satu bidang
kajian ilmu
linguistik yang mempelajari
tentang makna.
5) Makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari
suatu kata, makna dengan bendanya sangat bertautan dan saling menyatu.
(Tjiptadi, 1984: 19).
6) Jenis makna adalah penggolongan makna sesuai kriteria atau sudut pandang
tertentu. Berdasarkan kriteria lain selain (jenis semantik, ada atau tidaknya
referen, ada atau tidaknya nilai rasa sebuah kata atau leksem, dan ketepatan
makna), jenis makna dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif,
idiomatikal, peribahasa, kias, lokusi, ilokusi, perlokusi dan sebagainya.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Adapun kajian
pustaka yang berkaitan penelitian yang menggunakan
kajian semantik perihal jenis makna.
Latar belakang dari penelitian tersebut yaitu dalam upaya mempraktekkan teori
yang terdapat di buku linguistik umum karya Abdul Chaer. Penulis di sini memberikan beberapa teks yang diambil
dari sebuah novel karya Janet Evanovich, yaitu novel berjudul One Money terbitan St. Martin’s Grifin,
New York. Alasan novel tersebut menjadi sebuah objek penelitian karena di dalam
novel tersebut kaya akan kata-kata, frase, klausa maupun kalimat yang dapat dianalisis
menggunakan teori semantik. Proses analisis dilakukan setelah membaca teks
dalam novel, kemudian mengambil setiap kalimat pada teks untuk dianalisis dan
dirumuskan apa saja bentuk makna yang ada pada kalimat penggalan dari novel One Money, serta bagaimana hakekat makna
dalam kata dan kalimat tersebut.
Namun demikian
ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan menggunakan kajian semantik
tetapi tidak sampai kepada pembahasan mengenai jenis makna
konseptual, asosiatif, idiomatikal, peribahasa, kias, lokusi, ilokusi dan
perlokusi. Penelitian sebelumnya yang relevan
dengan penelitian ini lebih fokus
kepada hanya beberapa jenis makna, diantaranya jenis makna leksikal, makna
gramatikal dan makna kontekstual.
Adapun
judul penelitian tentang jenis makna yaitu berjudul
“Jenis Makna Kata dalam Novel One Money oleh
Purkonudin”. Penelitian
ini hanya membahas tentang sebagian saja jenis makna kata tidak sampai pada jenis
makna konseptual, asosiatif, idiomatikal, peribahasa, kias, lokusi, ilokusi,
dan perlokusi.
Dari penelitian
yang ada letak kesamaannya hanya terdapat pada penulisan atau penganalisisan tekstual dalam bentuk kutipan kalimat yang terdapat
dalam sebuah novel dan juga analisis yang dilakukan menggunakan teori semantik
mengenai jenis makna pada kata, frase, maupun kalimat.
Penelitian ini penulis
lebih memfokuskan pada jenis makna leksikal, gramtikal dan
kontekstual pada pembahasannya.
2.2 Pengertian Makna
Konseptual
Makna
konseptual adalah makna kata atau leksem yang didasarkan atas penunjukan yang
langsung atau (lugas) pada suatu hal atau objek di luar bahasa. Makna
konseptual atau makna lugas bersifat objektif karena langsung menunjukkan makna
yang sesuai dengan objeknya. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang terbebas dari
asosiasi atau hubungan apapun Chaer (2013: 72).
Dapat
dikatakan pula bahwa, makna konseptual merupakan makna yang ada pada kata yang
tidak tergantung pada konteks kalimat tersebut. Makna konseptual juga disebut
sebagai makna yang terdapat dalam kamus. Contoh dari makna konseptual adalah
kata ‘ibu’ yakni ‘manusia berjenis kelamin perempuan dan telah dewasa’.
Makna
konseptual sebuah leksem dapat saja berubah atau bergeser setelah ditambah atau
dikurangi unsurnya (Sarwiji, 2008: 73). Contohnya pada kata atau leksem
demokrasi. Leksem tersebut dapat diperluas unsurnya menjadi demokrasi liberal,
demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, maka makna konseptual tersebut akan
berubah.
Menurut
John Locke, teori konseptual adalah teori semantik yang memfokuskan kajian
makna pada prinsip-prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia. Teori yang
dinisbahkan oleh John Locke disebut juga teori mentalisme. Teori ini disebut
teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide yang ada dalam pemikiran.
Karena itu, penggunaan suatu kata hendaknya merupakan penunjukan yang mengarah
pada pemikiran.
2.3 Pengertian Makna
Asosiatif
Makna asosiatif adalah makna kata atau leksem yang didasarkan atas
perasaan atau pikiran yang timbul pada penyapa dan pesapa. Makna ini muncul
akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap leksem yang dihafalkan atau
yang didengarnya. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi
dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’; kata merah
berasosiasi dengan makna ‘berani’ atau juga ‘dengan golongan komunis’; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna
‘indah’. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang
yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain Chaer
(2013:72). Karena makna asosiasi ini berhubungan dengan
nilai-nilai moral dan pendangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat
bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa maka ke dalam makna
asosiatif ini termasuk juga makna konotatif seperti yang sudah dibicarakan. Di
samping itu ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna
stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech, 1976).
Asosiasi adalah hubungan antara
makna asli, makna di dalam lingkungan tempat tumbuh semula kata yang
bersangkutan dengan makna yang baru, yakni makna dalam lingkungan tempat kata
itu dipindahkan ke dalam pemakaian bahasa. Makna leksikal asosiasi yakni:
1.
Persatuan antara
rekan usaha, persekutuan dagang;
2.
Perkumpulan
orang yang mempunyai kepentingan bersama;
3.
Tautan dalam
ingatan pada orang atau barang lain;
Pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan,
ingatan, atau kegiatan pancaindera Depdikbud, (dalam Pateda, 2010: 179).
2.3.1
Makna Stilistika
Menurut
Shipley, stilistika adalah ilmu tentang gaya (style), sedangkan style berasal dari kata stilus (Latin) yang berarti alat berujung runcing yang digunakan
untuk menulis di atas bidang berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan
alat tersebut secara baik, disebut praktisi gaya bahasa yang sukses,
sebaliknya, bagi mereka yang tidak dapat menggunakan dengan baik, disebut
praktisi gaya bahasa yang gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat
diartikan bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah menggores, melukai, menembus, menusuk bidang datar sebagai alat
tulisan. Konotasi lain adalah “menggores”
atau “menusuk” perasaan pembaca,
bahkan juga penulis sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu.
Stilistika
mengkaji berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan dan
kekhasan pemakaian bahasa dalam karya sastra berdasarkan maksud pengarang dan
kesan pembaca. Dengan kata lain, stilistika merupakan studi tentang pemanfaatan
bentuk dan satuan kebahasaan dalam karya sastra sebagai ekspresi sastrawan guna
menciptakan efek makna tertentu dalam rangka pemberian efek estetika.
Makna
stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya
perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Karena itulah
dibedakan makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman tempat tinggal,
dan residensi. Begitu juga guru, dosen, pengajar, dan instruktur Chaer,
(2013:73).
2.3.2
Makna Afektif.
Makna
afektif adalah makna sebuah kata yang mencerminkan perasaan pribadi penutur
termasuk sikapnya terhadap pendengar atau sikapnya mengenai sesuatu yang
dikatakannya (Leech, 1997: 20). Makna afektif merupakan makna yang muncul
akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan kata atau kalimat.
Oleh karena makna afektif berhubungan dengan reaksi pendengar atau pembaca
dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya makna afektif berhubungan pula
dengan gaya bahasa.
Dalam
makna afektif terlihat adanya reaksi yang berhubungan dengan perasaan pendengar
atau pembaca setelah mendengar atau membaca sesuatu. Makna afektif terkadang
bisa menimbulkan suatu rasa dalam benak para pendengan atau pembaca. Seringkali
secara eksplisit diwujudkan dengan kandungan konseptual atau konotatif dari
kata-kata yang dipergunakan. Tetapi ada juga cara yang tidak begitu langsung
untuk menunjukkan sikap kita, misalnya dengan memberikan skala peringatan
sesuai dengan kesopanan.
Faktor-faktor
seperti intonasi dan gema suara yang sering diistilahkan dengan warna suara
juga penting di sini. Kesan sopan dapat berbalik kalau dipakai nada sarkasme
yang tajam dan kesan kasar dapat diubah menjadi peringatan yang santai di antara
teman dekat, jika disampaikan dengan intonasi permintaan dengan nada lembut.
Makna
afektif sebagian besar termasuk kategori parasit dalam arti bahwa untuk
mengungkapkan emosi, kita menggunakan perantara kategori makna yang lain
seperti konseptual, konotatif, atau stilistik. Ungkapan emosional melalui gaya
bahasa, misalnya saja terlontar jika kita menggunakan nada tidak sopan untuk
mengungkapkan ketidaksenangan, atau jika kita menggunakan nada santai untuk
mengungkapkan keramahan. Di samping itu ada unsur-unsur bahasa (terutama kata
seru) yang fungsi pokoknya adalah untuk mengungkapkan emosi. Jika kita
menggunakan ini, kita mengomunikasikan perasaan dan sikap tanpa perantaraan
fungsi semantik yang lain (https://stepsister009.wordpress.com).
Makna
afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik
terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif
lebih terasa secara lisan daripada secara tertulis Chaer, (2013:73).
Contoh:
-
“Tutup mulut
kalian!” bentaknya kepada kami.
-
“Coba mohon diam
sebentar!” katanya kepada anak-anak itu.
2.3.3
Makna Kolokatif.
Menurut
Chaer, (2013: 73−74), makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam
kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah
frase (ko = sama, bersama; lokasi = tempat). Misalnya, kita dapat
mengatakan gadis itu cantik; bunga itu indah dan pemuda itu tampan. Tetapi tidak dapat mengatakan gadis itu tampan; *bunga itu molek, dan *pemuda
itu cantik. Kita lihat walaupun cantik, indah, tampan, dan molek mempunyai
“makna” yang sama, tetapi masing-masing terikat dengan kata-kata tertentu dalam
suatu frase. Demikian juga dengan kata laju,
deras, kencang, cepat dan lancar
yang mempunyai makna yang sama, tetapi pasti mempunyai kolokasi yang berbeda.
Kita bisa mengatakan hujan deras, dan
berlari
dengan cepat, namun tidak sebaliknya *hujan cepat, dan *berlari
dengan deras.
2.4 Pengertian Makna
Idiomatikal
Istilah idiom berasal dari bahasa Yunani yaitu idios yang artinya ‘sendiri, khas, khusus’. Kadang disebut juga
langgam bahasa, yang dilazimkan oleh golongan tertentu. Beberapa definisi atau
pengertian idiom antara lain (1 konstruksi unsur-unsur bahasa. Masing-masing
anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain; (2) konstruksi
yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya (Kridalaksana
dalam Sudaryat, 2009: 77); (3) pola-pola struktural yang menyimpang dari
kaidah-kaidah bahasa yang umum; (4) biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya
tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal dengan bertumpu pada
makna kata-kata yang membentuknya Keraf (dalam Sudaryat, 2009: 77); (5)
ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frasa) yang maknanya sudah menyatu dan
tidak dapat ditafsirkan dengan makna unsur pembentuknya, Soedjito (dalam
Sudaryat, 2009: 77). Menurut Chaer, (2013: 74) idiom adalah satuan-satuan
bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun
kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut.
Pengertian
makna idiomatikal adalah makna dari konstruksi unsur-unsur bahasa yang biasanya
saling memilih yang biasanya berbentuk gabungan kata atau frasa, sedangkan
maknanya tidak bisa diterangkan dari gabungan makna anggota-anggotanya karena
maknanya ini telah menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal
unsur-unsurnya. Menurut Chaer (2013: 75) makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan
bahasa (entah kata, frase atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal
atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.
kategori pendamping verba adalah leksem verba dalam bahasa indonesia secara
semantik dapat ditandai dengan mengajukan tiga macam pertanyaan terhadap subjek
tempat ”verba” menjadi predikat klausanya. Leksem-leksem pendamping verba,
antara lain:
2.4.1
Kemunculan Idiom
Kata atau idiom merupakan penyebutan atau penamaan
sesuatu yang di dalam pemakaiannya. Dalam memberi nama suatu benda, kejadian
atau peristiwa, terdapat beberapa gejala timbulnya idiom.
(digilib.unila.ac.id). Gejala itu berupa hal-hal sebagai berikut.
a. Penyebutan berdasarkan tiruan bunyi.
Tiruan bunyi atau ontomatope merupakan dasar primitiv
dalam penyebutan benda. Ontomatope adalah penyebutan karena persamaan bunyi
yang dihasilkan benda itu.
Contoh: Berkokok
dari bunyi kok-kok-kok (ayam). Menggonggong
dari bunyi gong-gong (anjing).
b. Penyebutan sebagian dari seluruh anggapan.
Gejala ini terjadi karena kita tidak mampu menyebutkan
secara keseluruhan dan terperinci tetapi hanya sifat atau ciri yang khusus
saja.
Contoh: gedung
sate dari gedung yang atapnya memiliki hiasan seperti tusukan sate. Meja hijau dari tempat yang memiliki
meja berwarna hijau.
c. Penyebutan
berdasarkan sifat yang menonjol.
Penyebutan kata sifat untuk menyebut benda adalah
peristiwa semantik. Hal tersebut karena dalam peristiwa itu terjadi
transformasi makna dalam pemakaian. Yakni perubahan sifat menjadi benda.
Misalnya si cebol dari “keadaan yang
tetap pendek”, si pelit “dari keadaan
yang pelit”.
d. Penyebutan berdasarkan apelatif.
Penemu, pabrik pembuatnya, atau nama orang dalam sejarah.
Contoh: mujair
(ikan) dari ‘ikan yang mula-mula dipelihara Haji Mujahir di
Kediri
e. Penyebutan berdasarkan tempat asal.
Penyebutan ini berupa nama atau sebutan yang berasal
dari nama tempat, misalnya: kapur barus dari ‘kapur yang berasal
dari Barus, Sumatera Barat.
f. Penyebutan
berdasarkan bahan.
Nama
atau sebutan yang berasal dari bahasa benda itu, misalnya: bambu runcing dari ‘senjata
yang terbuat dari bambu yang diruncingkan’.
g. Penyebutan
berdasarkan kesamaan.
Nama atau sebutan yang mucul karena memiliki sifat
yang sama, misalnya: kaki meja dari
‘alat pada meja yang berfungsi seperti kaki manusia’.
2.4.2
Bentuk Idiom
Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom,
yaitu idiom penuh dan idiom sebagian (Sudaryat, 2009: 80). Berikut penjabaran rinci
dari dua jenis idiom tersebut.
a.
Idiom Penuh
Idiom penuh ialah idiom yang maknanya sama sekali
tidak tergambarkan lagi dari unsur-unsurnya secara berasingan. Dalam idiom
penuh maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna
pembentukannya.
Contoh:
Kepala angin,
yang bermakna bodoh. Idiom ini
termasuk idiom penuh, karena makna dari idiom ini
tidak bisa ditelusuri berdasarkan unsur pembentuknya. Baik dari makna kata kepala
maupun dari makna kata angin .
b.
Idiom Sebagian
Idiom
sebagian ialah idiom yang maknanya masih tergambarkan dari salah satu unsur pembentuknya. Dalam
idiom sebagian salah satu unsur
pembentuknya masih tetap memiliki makna leksikalnya.
Contoh:
salah air,
yang bermakna salah didikan. Makna dari idiom ini masih bisa digambarkan dari salah satu unsur
pembentuknya, yakni makna kata salah,
sehingga idiom ini masuk ke dalam jenis idiom sebagian (Sudaryat, 2009: 80-81).
2.4.3
Sumber Idiom
Idiom
merupakan salah satu bentuk ekspresi bahasa. Ekspresi bahasa merupakan
penyebutan sesuatu yang dialami oleh pemakainya. Artinya, bahasa merupakan
manifestasi kehidupan (kebudayaan) masyarakat pemakainya. Oleh karena itu,
idiompun salah satu manifestasi kehidupan (kebudayaan) masyarakat pemakainya.
Sumber lahirnya idiom ialah pengalaman kehidupan masyarakat pemakainya. Idiom
terbentuk dari gabungan kata dengan kata maupun kata dengan morfem. Sumber
lahirnya idiom adalah kosa kata. Sudaryat membagi sumber-sumber idiom ini
secara lebih rinci menjadi 6 bagian. (Sudaryat, 2009: 81).
a.
idiom dengan bagian
tubuh
contoh:
besar hati (sombong), berasal dari bagian tubuh yaitu hati, kecil
hati (penakut), berasal dari bagian tubuh yaitu hati, jatuh
hati (menjadi cinta), berasal dari bagian
tubuh yaitu hati, kepala batu
(bandel), berasal dari bagian tubuh yaitu kepala.
b.
idiom dengan nama warna
contoh: merah telinga (marah
sekali), salah satu unsurnya berasal
dari
salah satu warna yaitu merah,
lampu
kuning (lampu peringatan), salah satu
unsurnya berasal dari salah satu warna yaitu kuning,
berdarah biru (keturunan
bangsawan), salah satu unsurnya berasal dari salah satu warna yaitu biru.
c.
idiom dengan nama
benda-benda alam
contoh: di bawah kolong langit (di
muka bumi), berasal dari salah satu benda alam yaitu langit,
menjadi
bulan-bulanan (menjadi sasaran),
berasal dari salah satu benda alam yaitu bulan.
d.
idiom dengan nama
binatang
contoh: malu-malu kucing (pura-pura
malu), berasal dari nama binatang yaitu kucing
kambing
hitam (orang
yang disalahkan), berasal dari nama binatang yaitu kambing.
e.
idiom dengan bagian
tumbuh-tumbuhan
contoh:
bunga api (petasan), berasal dari bagian tumbuh-tumbuhan yaitu bunga,
buah
pena (tulisan,
karangan), berasal dari bagian tumbuh-tumbuhan yaitu buah,
bunga
rampai (kumpulan
karangan), berasal dari bagian tumbuh-tumbuhan yaitu bunga.
f.
idiom dengan kata
bilangan
contoh: berbadan
dua (hamil), berasal dari kata
bilangan.yaitu dua,
mendua hatinya
(bimbang), berasal dari kata bilangan.yaitu dua,
pusing
tujuh keliling (pusing sekali),
berasal dari kata bilangan.yaitu tujuh. (Sudaryat, 2009: 81-88)
2.4.4
Ciri-ciri Idiom
Dari penjelasan sebelumnya, secara umum
berikut adalah ciri-ciri idiom:
1.
Umumnya merupakan
gabungan dua kata atau lebih.
Idiom
umumnya merupakan gabungan dua kata atau lebih. contoh:
a.
membanting tulang yang
bermakna bekerja keras, dalam kalimat Ayah mambanting tulang untuk
menghidupi keluarga.
b.
keras kepala yang
bermakna susah dinasihati, dalam kalimat Adi adalah anak yang keras
kepala, ia selalu membantah nasihat orang tuanya.
c.
sayang seribu kali
sayang yang bermakna sangat disayangkan, dalam
kalimat Sayang seribu kali sayang gadis yang ia dikagumi telah
dilamar sahabat karibnya.
2.
Memiliki bentuk yang
tetap.
Unsur-unsur pembentuk
idiom saling mengikat sehingga sehingga masing-masing unsur tersebut tidak
dapat diganti oleh kata lain. contoh: Idiom membanting tulang yang
bermakna bekerja keras, idiom ini terdiri dari dua unsur kata yaitu membanting
dan tulang, kedua unsur kata tersebut saling mengikat satu sama
lain. Seandainya salah satu unsur dalam idiom membanting tulang diganti,
misalnya kata tulang diganti dengan tengkorak, sehingga berubah
menjadi membanting tengkorak, maka kata tersebut maknanya akan berubah
bahkan tidak lagi berbentuk
idiom.
Misalnya dalam kalimat Ayah membanting tulang untuk menghidupi
keluarga.
3.
Membentuk makna
leksikal yang baru dari gabungan dua kata
atau lebih tersebut.
contoh:
Idiom meja hijau yang
bermakna pengadilan. Idiom tersebut berasal dari dua unsur kata yaitu meja yang
bermakna perkakas (perabot) rumah yang memunyai bidang datar sebagai daun
mejanya dan berkaki sebagai penyangga dan kata hijau yang bermakna warna
dasar yang serupa dengan warna daun. Dalam konteks idiom, meja hijau tidak
lagi bermakna meja yang berwarna hijau tetapi berubah menjadi pengadilan.
Misalnya dalam kalimat, Koruptor itu diseret ke meja hijau untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
4.
Pada idiom penuh
maknanya tidak lagi tergambar dari unsur
pembentuknya.
Dalam idiom penuh
maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna pembentuknya.
Contoh:
Kepala angin,
yang bermakna bodoh. Idiom ini termasuk idiom penuh karena makna dari
idiom ini tidak bisa ditelusuri berdasarkan unsur pembentuknya. Baik dari makna
kata kepala maupun dari makna kata angin .
5.
Pada idiom sebagian
maknanya masih tergambar dari salah unsur pembentuknya.
Dalam idiom sebagian
salah satu unsur pembentuknya masih tetap memiliki makna leksikalnya.
Contoh:
Salah air,
yang bermakna salah didikan. Makna dari idiom ini masih bisa digambarkan dari
salah satu unsur pembentuknya, yakni makna kata salah, sehingga idiom
ini masuk ke dalam jenis idiom sebagian.
6.
Pada idiom berjenis
peribahasa dan pemeo tidak mengalami penambahan jumlah berbeda halnya dengan
idiom berjenis ungkapan yang terus berkembang dan mengalami penambahan.
7.
Bisa berbetuk ungkapan,
peribahasa, dan pemeo.
Idiom dapat berupa
ungkapan, peribahasa, dan pemeo. Ungkapan, peribahasa, dan pemeo adalah bentuk
bahasa yang memiliki makna kias.
a.
Ungkapan
Berbadan dua (hamil)
idiom ini termasuk dalam jenis ungkapan karena memiliki ciri sebagai ungkapan.
Ada sesuatu yang dikiaskan dalam idiom ini yakni suatu keadaan seseorang yang
lazimnya memiliki satu badan namun, dua badan yang dimaksud adalah badan
seorang ibu dan seorang anak yang dikandung oleh ibu tersebut, sehingga seolah-olah
badan sang ibu ada dua.
b.
Peribahasa
Laksana burung dalam
sangkar, yang bermakna sesorang yang terikat oleh
keadaaan. Idiom ini termasuk dalam jenis peribahasa perumpamaan. Salah satu
ciri utama dari peribahasa yaitu adanya kata laksana. Pada idiom ini juga terdapat
perbandingan antara burung dengan manusia, burung diumpamakan dengan orang yang sama
yaitu dalam keadaan terkurung (pada burung)
atau terkekang (pada orang).
c.
Pemeo
Ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul. Pemeo ini bermakna
selalu bersama-sama menghadapi kesusahan dan kesenangan, pemeo ini cocok sekali
dijadikan semboyan bagi sebuah perkumpulan.
2.5 Pengertian Makna
Peribahasa
Definisi
peribahasa menurut para ahli, antara lain (1) kalimat atau kelompok perkataan
yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadarminta dalam
Sudaryat, 2009: 89); (2) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan
biasanya mengisahkan maksud tertentu; (3) ungkapan atau kalimat ringkas, padat
yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau gambaran
tingkah laku (KBBI dalam Sudaryat, 2009: 89). Peribahasa ialah salah satu
bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambang
kehidupan, peribahasa meliputi pepatah dan perumpamaan. Berbeda dengan idiomatikal, peribahasa biasanya berupa
kata atau kelompok kata yang maknanya masih bisa diramalkan atau ditafsirkan.
2.5.1
Pepatah
(Bidal)
Pepatah
didefinisikan sebagai; (1) peribahasa yang mengandung nasehat, peringatan, atau
sindiran (KBBI, 2009: 90), (2) berupa ajaran dari orang-orang tua
(Poerwadarminta dalam Sudaryat, 2009: 90), (3) kadang-kadang merupakan
undang-undang dalam masyrakat (Zakaria dan Sofyan dalam Sudaryat, 2009: 90). contoh:
Berjalam
peliharalah kaki, berkata peliharalah lidah yang
bermakna dalam bekerja selalu ingat Tuhan dan berhati-hati. Idiom ini merupakan
jenis peribahasa pepatah karena idiom ini mengandung nasihat yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat.
2.5.2
Perumpamaan
Perumpamaan
adalah peribahasa yang berisi perbandingan dari kehidupan manusia. Ciri utama
dari perumpamaan ialah adanya kata-kata bagai, laksana, seperti, dan sebagainya
(Sudaryat, 2009: 91).
contoh:
laksana burung dalam
sangkar yang bermakna sesorang yang terikat oleh
keadaan. Idiom ini termasuk dalam jenis peribahasa perumpamaan. Salah satu
ciri utama dari peribahasa yaitu adanya kata laksana. Pada idiom ini juga
terdapat perbandingan antara burung dengan manusia, burung dibandingkan dengan
orang yang sama dalam keadaan terkurung.
2.5.3
Pomeo
Pemeo
ialah ungkapan atau peribahasa yang dijadikan semboyan (Kridalaksana dalam
Sudaryat, 2009: 91). Pada awalnya pemeo merupakan ejekan (olok-olok, sindiran)
yang menjadi buah mulut orang; perkataan yang lucu untuk menyindir (KBBI dalam
Sudaryat, 2009: 91).
Contoh:
Ringan sama dijinjing,
berat sama dipikul. Pemeo ini bermakna
selalu bersama-sama menghadapi kesusahan dan kesenangan, pemeo ini cocok sekali
dijadikan semboyan bagi sebuah perkumpulan.
2.6 Pengertian Makna Kias
Makna kiasan
(figurative meaning, tranfered meaning)
adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya. Sebagai contoh pada
frasa ‘mahkota wanita’ tidak dimaknai
sebagai sebuah benda berhiasakan emas dan permata yang dipakai seorang wanita
di atas kepalanya yang merupakan lambang kekuasaan seorang pemimpin, namun
frasa ini dimaknai sebagai ‘rambut wanita’. Makna figuratif atau kiasan muncul
dari bahasa figuratif. Bahasa figuratif atau kiasan merupakan penyimpangan dari
bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan dari bahasa baku atau standar,
pnyimpangan makna, dan penyimpangan susunan (rangkaian) kata-kata supaya
memperoleh efek tertentu atau makna khusus (Abrams, 1981: 63). Abrams (1981: 63)
mengelompokkan gaya bahasa kiasan dan sarana retoris ke dalam bahasa figuratif.
Menurutnya, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bahasa penyimpangan dari
bahasa sehari-hari atau bahasa standar untuk memperoleh efek tertentu.
Pembagian bahasa kias aatau figuratif terdiri atas simile (perbandingan),
metafora, metonimi, sinekdoke, dan personifikasi.
Dalam
kehidupan sehari-hari dan juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S
Poerwadarminta digunakan istilah “arti kiasan”. Penggunaan arti kiasan ini
sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa
(baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya
(arti leksiskal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti
kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti putri
malam dalam arti ‘bulan’, raja siang dalam arti ‘matahari’, daki dunia dalam arti ‘harta,
uang’, membanting tulang dalam
arti ‘bekerja keras’, kapal padang pasir dalam arti ‘unta’, pencakar langit dalam arti ‘gedung
bertingkat tinggi’, dan kata bunga
dalam kalimat Aminah adalah bunga di
desa kami dalam arti ‘gadis cantik’,
semuanya mempunyai arti kiasan Chaer, (2013:77).
2.7 Pengertian Makna
Lokusi
Menurut
Chaer, (2013:78), makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam
ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sebagai contoh misalnya, kalau
seseorang kepada tukang afdruk foto di pinggir jalan bertanya, “Bang tiga kali
empat berapa?”. Makna secara lokusi kalimat tersebut adalah keingin tahuan dari
si penutur tentang berapa tiga kali empat. Maka, sama dengan makna lokusi dari
ujaran “tiga kali empat berapa”, dia pasti akan menjawab “dua belas”, bukan
jawaban lain.
J.L. Austin mencoba membedakan makna tutur
atas lokusi, ilokusi dan perlokusi, menurutnya tindak pertuturan lokusi adalah
tindak pertuturan yang mengandung makna referensial dan kognitif.
2.8 Pengertian Makna
Ilokusi
Menurut Chaer (2013:78), makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami
oleh pendengar. Dalam kajian tindak tutur ujaran dapat bermakna ilokusi, supaya
jelas simak ilustrasi berikut.
Seorang laki-laki tua bertanya
kepada pelayan toko peti mati:
“Berapa harga peti mati yang penuh ukiran ini?”
“Dua juta, Tuan”, jawab si pelayan toko.
“Wah, mahal amat”, sahut laki-laki tua itu dengan kaget.
“Tapi, Tuan” kata pelayan toko itu menjelaskan. “Kami
jamin kalau Tuan sudah masuk ke dalamnya, Tuan pasti tidak ingin keluar lagi!”
Pada ilustrasi bagian akhir ada kalimat “Tuan pasti tidak ingin keluar
lagi!”. Makna ilokusi dari kalimat tersebut adalah “saya tidak keluar lagi
karena merasa nyaman yang bukan main”.
Menurut Leech (1993: 316), yang dimaksud ilokusi adalah dalam mengatakan X,
n meyakinkan bahwa P. Leech juga berpendapat megenai kasifikasi penggunaan kata
kerja tindakl tutur yaitu bahwa situasi berbeda, menuntut adanya jenis-jenis
kata kerja berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda pula. Pada tingkat
yang paling umum fungsi ilokusi dapat dibagi menjadi empat jenis, sesuai dengan
hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan
perilaku yang sopan dan terhormat.
Klasifikasi fungsi
ilokusi Leech adalah sebagai berikut:
1.
Kompetitif (Competitif), tujuan ilokusi bersaing
dengan tujuan sosial, misalnya: memerintah, meminta, menuntut, mengemis.
2.
Menyenangkan (Convivial), tujuan ilokusi sejalan
dengan tujuan sosial, misalnya: menawarkan/mengajak/mengundang/menyapa//mengucapkan
terima kasih/mengucapkan selamat.
3.
Bekerja sama (Colaborative), tujuan ilokusi tidak
menghiraukan tujuan sosial, misalnya: menyatakan, melapor, mengumumkan, dan
mengajarkan.
4.
Bertentangan (Conflictive), tujuan ilokusi
bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya: mengancam, menyumpahi dan
memarahi.
Menurut Levinson, berdasarkan kondisionalnya, tuturan
(10) di bawah ini dapat memiliki daya ilokusi yaitu menyuruh, mendesak,
menyarankan seseorang untuk memiliki pengaruh perlokusi, yakni meyakinkan atau
mengancam seseorang untuk memukul dia. Tuturan (11) pun dapat memiliki daya
ilokusi untuk memprotes, namun juga memiliki akibat perlokusi, yakni pengecekan
tindakan kepada seseorang atau juga dapat bermakna memarahi.
(10) Pukul dia!
(11) Kamu pasti
bisa melakukannya.
2.9 Pengertian Makna
Perlokusi
Menurut Chaer (2013:78), Makna perlokusi adalah makna seperti yang
diinginkan oleh penutur. Misalnya, kalau seseorang kepada tukang afdruk foto di
pinggir jalan bertanya,
“Bang tiga kali empat, berapa?”
Makna perlokusi yang diinginkan si
penutur adalah bahwa si penutur ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran
tiga kali empat sentimeter. Kalau si pendengar, yaitu tukang afdruk foto maka
memiliki makna perlokusi dari si penanya, dia akan menjawab misalnya “dua ribu”
atau “tiga ribu”.
Makna perlokusi sebenarnya sama
dengan “maksud”. Menurut Chaer, (2013: 35) Maksud adalah gejala dalam ujaran
yang dilihat dari segi pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjek. Suatu
ujaran entah itu berupa kata, frase maupun kalimat.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Pada hakikatnya penelitian merupakan
suatu usaha yang dilakukan oleh seorang penulis untuk memecahkan suatu
permasalahan-permasalahan yang ada, agar dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Penelitian dengan melakukan
tindakan analisis. Pendekatan adalah
metode atau cara yang digunakan dalam pengadaan penelitian. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kulitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.
Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori
dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di
lapangan. Dalam metode penelitian kualitatif, masalah-masalah yang diteliti
berwilayah pada ruang yang sempit dengan tingkat variasi yang rendah, namun
dari penelitian tersebut nantinya dapat berkembang secara luas sesuai dengan
keadaan di lapangan.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah
manusia. Pada pendekatan ini, prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati
dan perilaku yang diamati. Dalam penelitian kualitatif, peneliti bertindak
sebagai instrumen pokok.
Metode penelitian kualitatif disebut juga metode interpretive karena
data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang
ditemukan di lapangan. Menurut teori penelitian kualitatif, agar penelitiannya
dapat betul-betul berkualitas, maka data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu
berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk
verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku
yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini, subjek
penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Sedangkan
data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis (tabel,
catatan, notulen rapat dll), foto-foto, film, rekaman, video, benda-benda dan
lain-lain yang dapat memperkaya data primer.
Metode
deskriptif merupakan salah
satu jenis metode penelitian. Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk
mengumpulkan informsasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,
mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan apa yang dilakukan
dalam menghadapi masalah. Metode yang
mengambarkan gejala dan fakta secara sistematis atau karakteristik tentang penggunaan kaidah semantik pada kategori pendamping dan
kategori penghubung dalam novel
AUS karya Putu Wijaya.
Penelitian
kualitatif menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Moleong (2007: 4)
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-lata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Selain
itu ini dikatakan penelitian kualitatif karena (a) berlatar alamiah, (b)
mengutamakan manusia sebagai instumen penelitian, (c) data penelitian dianalisis secara induktif,
(d) bersifat deskriptif, lebih mengutamakan proses daripada hasil, dan (e)
rancangan bersifat sementara (Moelong, 2007: 8-12)
3.2 Sumber Data dan Data
Menurut
Sudaryanto (1988: 9), data ialah bahan
penelitian yang bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah
diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan, karena dalam bahan tersebut
diharapkan dapat mengetahui hakikat objek penelitian. Objek penelitian adalah sesuatu yang
dijadikan sebagai bahan kajian dalam suatu penelitian. Objek penelitian
merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian dan juga yang dijadikan
bahasan.
Menurut Moleong (1998), sumber data
penelitian kualitatif adalah tampilan yang berupa kata-kata lisan atau tulisan
yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang diamati sampai detail, agar
dapat ditangkap makna yang tersirat dalam dokumen atau bendanya. Sumber data
tersebut pun harus asli, apabila yang asli susah, maka fotokopi atau tiruan
tidak jadi masalah, selama dapat diperoleh bukti bukti pengesahan yang kuat
kedudukannya. Sumber data penelitian kualitatif secara garis besar dibedakan
menjadi dua yaitu manusia, dan bukan manusia.
3.2.1 Sumber Data
Sumber data
adalah subjek
penelitian dari mana data yang diperoleh. Sumber data penelitian ini adalah novel AUS karya Putu Wijaya.
No
|
Rumusan Masalah
|
Kutipan
|
1
2
3
4
5
6
7
8
|
Makna
Konseptual
Makna
Asosiatif
Makna
Idiomatikal
Makna
Peribahasa
Makna Kias
Makna Lokusi
Makna Ilokusi
Makna
Perlokusi
|
Wanita itu bergegas mencari ‘thermometer’ dan
memaksa Nak Sungkan mengapitnya di ketiak. Ketika nak Sungkan dan hendak
membantah….
….Kalau kau salah menggali, bukan harta yang
ditemukan tetapi ‘liang kubur’.
Sudah terlambat. Gusti Melem sudah terjerembab ke
atas jalan. Pengendara ‘kereta angin’ itu juga masuk ke selokan.
….Saudara misannya itu pernah jadi musuh
dalam selimut, ketika ia masih jadi pejabat.
….Waktu itu mereka baru menyadari kehadiran Gusti
Melem. Langsung keduanya ‘membuang muka’, karena malu, lalu cepat-cepat pergi.
….Semua yang mendengar kemudian hanya
menggeleng-geleng. Mereka mulai sadar pensiunan itu tak akan sembuh kalau
Bupati Tabanan belum menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil
manggut-manggut.
….Semua yang mendengar kemudian hanya
menggeleng-geleng. Mereka mulai sadar pensiunan itu tak akan sembuh kalau
Bupati Tabanan belum menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil
manggut-manggut.
“Hidup
ini seperti teka-teki Pak Bupati” kata Nak Sungkan suatu ketika
Pak Bupati mengangguk-anggukkan kepala minta
penjelasan.
“Ya seperti teka-teki silang,” lanjut Nak Sungkan.
|
3.2.2 Data
Data adalah
segala fakta yang diketahui atau diakui yang dapat dijadikan bahan untuk
menyusun suatu informasi. Data penelitian ini, yaitu berupa jenis (makna konseptual, makna asosiatif, makna
idiomatikal, makna peribahasa, makna kias, makna lokusi, makna ilokusi, dan
makna perlokusi) dengan menggunakan kaidah semantik dalam novel AUS karya Putu Wijaya. Data
tersebut nantinya akan menjadi objek
dalam penelitian ini.
3.3 Tahap Pengumpulan Data
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah analisis
tekstual. Dalam upaya pengumpulan data, peneliti menyediakan data secukupnya
semata-mata untuk kepentingan analisis. Untuk menentukan kata, frase atau kalimat
yang terdapat dalam novel berjudul
AUS karya Putu Wijaya. sebagai sumber data, peneliti memiliki
prosedur pengumpulan data. Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik baca dan mencatat dalam bentuk kutipan.
3.3.2 Prosedur Pengumpulan Data
1)
Membaca dan memilah kata, frase
maupun kalimat yang mengandung jenis makna dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
2) Menentukan dan mencatat jenis makna konseptual dalam novel AUS karya Putu
Wijaya.
3)
Menentukan dan mencatat jenis makna
asosiatif dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
4)
Menentukan dan mencatat jenis makna
idiomatikal dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
5)
Menentukan dan mencatat jenis makna
peribahasa dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
6)
Menentukan dan mencatat jenis makna kias
dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
7)
Menentukan dan mencatat jenis makna
lokusi dalam novel AUS kaya Putu Wijaya.
8)
Menentukan dan mencatat jenis makna
ilokusi dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
9)
Menentukan dan mencatat jenis makna
perlokusi dalam novel AUS karya Putu Wijaya.
3.4 Tahap Penganalisisan Data
3.4.1 Teknik Penganalisisan Data
Menurut Moleong
(1998:241), yang perlu dirancang ialah analisis data tersebut telah dimulai
sejak pertama pada latar penelitian. Teknik penganalisisan data yang digunakan
merupakan hasil dari pengumpulan data kemudian dianalisis sesuai dengan kaidah jenis makna konseptual, asosiatif, idiomatikal,
peribahasa, kias, lokusi, ilokusi, dan perlokusi dalam kajian semantik pada
novel AUS karya Putu Wijaya.
3.4.2 Prosedur Penganalisisan Data
1)
Data yang berupa jenis makna diklasifikasikan
sesuai kajian
semantik.
2)
Data yang ada berupa klasifikasi
jenis makna sesuai kajian semantik.
3)
Menganalisis jenis-jenis makna dalam
novel AUS karya Putu Wijaya sesuai
kajian semantik.
4)
Menyimpulkan dari hasil analisis
data.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen
penelitian merupakan alat atau cara untuk menunjang data yang digunakan dalam
penelitian. Sedangkan pengamatan merupakan ciri khas yang tidak bisa dipisahkan
dan merupakan ciri khas penelitian kualitatif . peran penelitian ini menentukan
keseluruhan skenarionya.
Menurut
Bogdan & Biklen (1982) mengatakan dalam penelitian kualitatif ini kehadiran
peniliti sangat penting kedudukannya. Karena penelitian kualitatif adalah studi
kasus, maka segala sesuatu akan sangat bergantung pada kedudukan peneliti.
Dengan demikian peneliti berkedudukan sebagai instrumen penelitian yang utama.
Instrumen dalam
penelitian ini menggunakan korpus data, korpus data dalam penelitian ini
disusun sebagai berikut.
“Sesudah
pensiun sebagai bupati Kabupaten Tabanan, I Gusti Wayan Melem, kaget. Ia
diganggu oleh pertanyaan besar. Kota Tabanan yang tersohor sebagai gudang
beras, setiap hari digerayangi oleh orang-orang miskin dari Sanggulan.”
BAB
IV
HASIL
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.6 Makna Konseptual Berdasarkan Referen
Makna
konseptual yang pernah dibicarakan sebelumnya, ialah makna yang sesuai dengan
konsepnya atau makna yang sesuai dengan referen dari sebuah kata, frase maupun
kalimat. Dalam novel AUS cukup banyak ditemukan susunan kata atau frase dalam
sebuah kalimat yang mempunyai makna yang sesuai dengan referennya. Penempatan
sebagai sebuah kata yang memiliki makna konseptual dapat diketahui dari tidak
adanya hubungan dengan makna kata lain. Hasil pemilihan kata yang memiliki
makna konseptual telah dirangkum dalam sebuah kutipan kalimat seperti di bawah
ini.
(1) …. Mengapa Sanggulan di
batas kota Tabanan sampai begitu melarat,
tak pernah ada yang mempersoalkan.” (AUS/1/Bagian
Satu)
Dari kutipan tersebut dapat
diambil salah satu kata yang mengandung makna konseptual yaitu kata ‘melarat’,
kata ini menjelaskan makna yang sesuai konsep atau referennya yang mengacu pada
makna ‘Keadaan hidup seseorang yang miskin atau dalam kesengsaraan’. Makna ini
diperoleh karena gambaran kondisi hidup menurut pemikiran manusia yang menganggap makna kata
tersebut adalah demikian.
(2) “….Bapak harus bisa
melupakan, jangan lagi seperti dulu, ketika menjadi pejabat, sampai urusan WC orang jadi pikiran.” (AUS/11/Bagian
Dua)
Berdasarkan
kutipan di atas satu kata yang diambil makna konseptualnya yaitu kata
‘pejabat’, kata itu menjelaskan bahwa makna referen yang dimiliki yaitu
‘seseorang yang melakukan pekerjaan dengan memegang jabatan tertentu’.
(3) Polisi diundang untuk
menyelesaikan perkara itu. Setelah
meneliti batu-batu di halaman, mereka menyimpulkan bahwa yang melakukan itu
anak-anak nakal (AUS/19/Bagian Tiga).
Dari
kutipan di atas kata ‘perkara’ merupakan kata yang memiliki makna konseptual.
Berdasarkan referennya kata tersebut bermakna ‘urusan yang perlu diselesaikan’.
Makna tersebut diperoleh sebagai sebab dari penjelasan suatu kejadian yang
mempersoalkan, mempersalahkan.
(4) Wanita itu bergegas
mencari thermometer dan memaksa Nak
Sungkan mengapitnya di ketiak. Ketika nak Sungkan dan hendak membantah…. (AUS/40/Bagian Empat)
Dalam
contoh kalimat tersebut didapatkan satu kata yang memiliki makna konseptual yaitu
kata ‘thermometer’ dengan referen yang ada
yaitu ‘suatu alat yang digunakan untuk mengukur suhu’, dalam hal ini,
makna konseptual kata tersebut menjelaskan fungsi alat bernama thermometer
yaitu mengukur suhu pada tubuh sehingga digunakan dengan cara mengapitnya di
ketiak.
(5) Tetapi Nak Sungkan teguh. Ia membisu menunggu saat yang
tepat. Dia ingin istrinya memutuskan sendiri apa yang dikehendakinya. Dan itu
akan segera terjadi. (AUS/51/Bagian
Lima)
Dari kutipan di atas, kata ‘teguh’ memiliki makna
konseptual yaitu ‘kuat,
kukuh’. Kata
“teguh” tidak memiliki asosiasi atau
hubungan apapun.
(6) Hari pertama, gelas itu tumpah karena tidak ditaruh
di tempatnya yang biasa. Hari kedua terlalu dingin. Hari ketiga kepekatan dan
manisnya lain. Hari berikutnya…. (AUS/63/Bagian
Enam)
Dari kutipan di atas tersebut,
terdapat satu kata yang bisa dilihat dari makna konseptual sesuai dengan konsep
atau referennya. Kata ‘gelas’ bermakna ‘tempat untuk minum dengan bentuk tabung
terbuat dari kaca’. Kata gelas hanya menerangkan kata benda (perabotan dapur)
dan hanya memiliki satu konsep makna.
(7) Bupati sebenarnya
kurang begitu tertarik. Tetapi kemudian ada telepon dari kantor melaporkan, ia ditunggu oleh seorang Kederi, urusan izin
pembuatan pompa bensin. (AUS/84/Bagian
Tujuh)
Dalam kutipan kalimat di atas memuat
satu kata yang memiliki makna konseptual. Kata tersebut adalah ‘kantor’ yang
bermakna ‘(gedung; ruang) tempat mengurus pekerjaan atau tempat bekerja’.
(8) Di tembok yang
menghubungan dua buah candi bentar
itu, terdapat tulisan-tulisan jahil. (AUS/99/Bagian
Delapan)
Dalam kutipan kalimat di atas, yang
dicari makna konseptualnya adalah kata ‘candi’.
Jika dilihat dari makna yang sesuai dengan konsep atau referennya, kata
‘candi’ bermakna ‘bangunan kuno yang terbuat dari batu’. Kata ‘candi’ sendiri
diperoleh dari nama atau sebutan untuk bangunan yang dibuat pada masa lampau.
(9) “Tapi sekarang lebih
baik Mantri pulang dulu, sebab besok ada wartawan
datang untuk menanyakan sakit Mantri. Jangan sampai tidak bisa menjawab. Sebab
itu….” (AUS/115/Bagian Sembilan)
Salah satu kata dalam kalimat di
atas yang bisa diambil makna konseptual berdasarkan konsep atau referennya
adalah kata ‘wartawan’ yang memiliki makna ‘orang yang pekerjaannya mencari dan
menyusun berita di surat kabar, majalah, radio dan televisi’. Kata ‘wartawan’
merujuk pada nama pekerjaan atau profesi seseorang.
(10) Nak Sungkan tenang lagi.
Diam-diam ia merasa damai. Ia
baringkan lagi tubuhnya. (AUS/124/Bagian
Sepuluh)
Dari kutipan kalimat di atas satu
kata yang diambil untuk ditentukan makna konseptualnya yaitu kata ‘damai’ yang
bermakna ‘tenteram; tenang’. Kata ini dapat melukiskan perasaan atau suasana
hati seseorang kepada subjek atau objek disekitarnya.
3.7 Makna
Asosiatif Berdasarkan Keterkaitan Makna
Makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa.
Makna asosiatif ini sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu
masyarakat bahasa untuk menyarankan suatu konsep lain yang mempunyai kemiripan
atau keterkaitan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata
atau leksem tersebut.
Bentuk
asosiasi dalam kata biasanya tergambar dalam hubungan atau keterkaitan makna suatu
kata dengan makna lain. Sebagai contoh perhatikan kutipan dalam novel AUS di
bawah ini yang memiliki makna asosiatif.
(1) ”Apa bedanya ia dengan
orang-orang Sanggulan itu?. Kecuali ia memang pernah menunggang kursi bupati, apa yang dapat ia
banggakan lagi sekarang? Sawah warisan leluhurnya hampir seratus hektar telah
lenyap disapu oleh landreform di awal tahun 60-an.” (AUS/1/Bagian Satu)
Dari kutipan tersebut, makna kata
‘kursi’ berasosiasi dengan makna ‘jabatan; kekuasaan’. Makna tersebut diperoleh
dari hubungan atau keterkaitan makna kata kursi dengan kedudukan atau jabatan
dari seseorang. Kata selanjutnya yaitu kata ‘bupati’ yang bermakna ‘sebuah
pekerjaan; profesi yang dimiliki oleh seseorang sebagai pemimpin masyarakat’.
(2) “….Dokter tidak tahu penyakit
apa. Sekarang ia menyerah saja. Pak Bupati juga sudah mencoba menolong.
Dicarikan orang pintar dari Wangaya,
tapi tetap saja begitu…” (AUS/49/Bagian
Lima)
Dari kutipan tersebut terdapat kata
yang memiliki makna asosiatif yaitu, kata ‘orang pintar’ yang berasosiasi
dengan makna kata ‘dukun; paranormal’. Hubungan keterkaitan makna tersebut
diperoleh dari pengguaan kata tersebut dalam kehidupan masyarakat yang
menyarankan konsep lain yang dianggap memiliki bentuk kemiripan baik dari
leksem maupun kata.
(3) Itu
benar-benar membahagiakan Gusti Melem.
Untuk
pertama kalinya ia merasa berarti bagi darah-dagingnya
sendiri. (AUS/52/Bagian Lima)
Dari kutipan kedua, kita dapat
mengambil satu kata yang memiliki makna asosiatif, kata tersebut adalah
‘darah-dagingnya’ yang berasosiasi dengan makna ‘anak kandungnya’. Makna
tersebut digunakan masyarakat untuk menyatakan hubungan yang dalam bagi suatu
keluarga lebih tepatnya hubungan orang tua dan anak sedarah atau anak sekandung.
Kata ‘darah-daging’, biasanya juga digunakan untuk menyatakan status anak
dengan orang tua dari beberapa sudut pandang, baik itu keluarga maupun
masyarakat.
(4) ….Seorang pemimpin
adalah orang yang memberi iklim
segala sesuatu yang baik itu terjadi. (AUS/56/Bagian
Lima)
Dari
kutipan di atas tersebut, sebuah kata yang memiliki makna asosiatif terdapat
pada kata ‘iklim’ yang berasosiasi dengan makna ‘keadaan; kejadian’. Dalam
pengertiannya secara harfiah iklim adalah suatu kondisi cuaca pada saat tertentu
dalam jangka waktu panjang.
(5) ….Aman Cuma
cengar-cengir dan menghaturkan terima kasih atas amplop yang dikirim Bupati. (AUS/69/Bagian Enam)
Kutipan kalimat di atas mengandung
satu kata yang memiliki makna asosiatif, kata ‘amplop’ berasosiasi dengan makna
‘uang’. Kata ‘amplop’ disini juga bisa bermakna pemberian. Pemberian tersebut
berupa uang atau kertas yang bernilai.
(6) “….Kalau kau salah
menggali, bukan harta yang ditemukan tetapi liang kubur.” (AUS/84/Bagian
Tujuh)
Dari kutipan tersebut menjelaskan
makna asosiatif dari kata ‘liang kubur’ yang berasosiasi dengan makna
‘kematian’. Dalam kalimat di atas kata salah menggali sebagai penyebab dari
bukan bertemu harta tetapi bertemu dengan liang kubur (kematian).
(7) − “Aku tidak perlu dijenguk!”
− “Sudah jangan cerewet!”
bentak istrinya sambil memaksa mengelap
muka suaminya. (AUS/21/Bagian Tiga)
Kutipan
kalimat di atas menurut pernyataan Leech mengenai hubungan makna asosiatif
dengan nilai moral dan pandangan hidup dalam suatu masyarakat yang urusannya
dengan nilai rasa bahasa kalimat tersebut termasuk makna afektif yang termasuk
ke dalam makna asosiatif. Dalam hal ini, makna tersebut berkenaan dengan
perasaan pembicara pemakai bahasa terhadap lawan bicara terhadap objek yang
sedang dibicarakan. Makna ini lebih terasa secara lisan daripada tertulis.
Pada
kalimat ‘aku tidak perlu dijenguk’ memiliki makna ‘penolakan’ dari pemicara
yang sedang sakit yaitu si suami, sedangkan makna afektif kalimat ‘sudah jangan
cerewet’ memiliki makna ‘larangan’ untuk tidak banyak berbicara.
3.8 Makna
Idiomatikal secara Leksikal maupun Gramatikal
Idiom adalah
bentuk kata yang memiliki makna khusus dan tidak dapat diterjemahkan
secara denotatif ke dalam bahasa dan situasi lain. Idiom memiliki sifat tetap
dan digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan maksud kiasan.
Dalam
unsur pembentuk makna leksikal dan gramatikal, makna idiomatikal adalah makna
satuan bahasa (baik itu kata, frase atau kalimat) yang menyimpang.
(1) ….Entah kenapa tak
pernah terlintas dalam benaknya dulu untuk menyelidiki kenapa Sanggulan selama
puluhan tahun menerima nasibnya sebagai kantong
pembantu… (AUS/2/Bagian Satu)
Dalam kalimat di atas terdapat gabungan leksem yang
memiliki makna
idiomatikal
yaitu kata ‘kantong pembantu’ yang maknanya ‘tempat penampungan pembantu’. Hal
ini termasuk pada Kriteria idiom yang memiliki bentuk tetap, itu dikarenakan
kedua unsur tersebut saling mengikat, seandanya salah satu dalam unsur idiom
kata kantong pembantu diganti, misalnya pada kata pembantu diganti dengan
empedu, maka maknanya akan berubah bahkan tidak lagi berbentuk idiom. Makna
dari idiom ‘kantong pembantu’ ini termasuk ke dalam jenis idiom sebagian karena
maknanya masih tergambarkan dari salah satu unsure pembentuknya yaitu kata ‘pembantu’,
yang masih tetap memiliki makna leksikalnya.
(2) ….Masih kelihatan
sederhana, tetapi jelas tidak semiskin ketika dibungkus pakaian sebelumnya.
Waktu itu mereka baru menyadari kehadiran Gusti Melem. Langsung keduanya membuang muka, karena malu, lalu
cepat-cepat pergi. (AUS/5/Bagian Satu)
Kalimat di atas menjelaskan mengenai
makna idiomatikal dari kata ‘membuang muka’ yang berujung pada makna
‘memalingkan wajah; muka’. Makna tersebut juga mengacu pada bentuk gabungan dua
kata yang juga memiliki keterikatan antara satu kata dengan kata yang lain,
karena apabila salah satu katanya diganti, misalnya kata muka diganti kata
sampah, maka akan menjadi ‘membuang sampah’ dan itu cenderung tidak memiliki
makna idiom tertentu. Kata atau frase ‘membuang muka’ tergolong ke dalam jenis
idiom sebagian karena maknanya masing bisa tergambarkan dari salah satu unsur
pembentuknya, yakni makna kata muka yang menjadi salah satu gambaran kata yang
masih tetap memiliki makna yang sama leksikalnya sehingga salah satu idiom
tersebut termasuk ke dalam jenis idiom sebagian.
(3) “Sudah terlambat. Gusti
Melem sudah terjerembab ke atas jalan. Pengendara kereta angin itu juga masuk ke selokan.” (AUS/5/Bagian Satu)
Di dalam kutipan kalimat tersebut
ada kata ‘kereta angin’ yang berarti ‘sepeda’, kata itu menandakan adanya makna
idiomatikal yang merupakan bentuk idiom penuh, dengan ciri maknanya tidak
tergambar dari unsur pembentuknya. Dalam idiom ini maknanya sudah menyatu dan
tidak lagi dapat ditafsirkan unsur pembentuknya. Baik dari makna kata kereta
maupun dari makna kata angin. Kata
‘kereta angin’
tergolong ke dalam jenis idiom penuh karena kata tersebut terbentuk dari
gabungan kata ‘kereta’ dan ‘angin’ . Kata ‘kereta angin’ yang bermakna sepeda
sebetulnya tidak dapat tergambarkan secara langsung unsurnya, karena kereta
sendiri merupakan salah satu kendaraan umum, namun demikian juga dengan sepeda
merupakan juga kendaraan yang biasanya bersifat pribadi. Keduanya baik ‘kereta’
maupun ‘sepeda’ sama-sama mengacu pada konsep transportasi sehingga makna kata
‘kereta angin’ juga bisa termasuk idiom sebagian, karena masih dapat
digambarkan.
(4) Pada suatu ketika,
kebetulan ada keluarga yang kena musibah. Salah seorang anak gadisnya ketahuan berbadan dua. (AUS/13/Bagian Dua)
Pada kalimat kutipan tersebut kata
‘berbadan dua’ meupakan kata yang memiliki makna idiomatikal. Makna dari kata
‘berbadan dua adalah ‘hamil’. Sumber idiom kata ‘berbadan dua’ sendiri dari
kata bilangan yaitu bilangan dua. Sedangkan, ciri idiomnya bisa dilihat dari
bentuknya yaitu ungkapan. Hal yang dikiaskan dari kata tersebut adalah keadaan
seseorang yang lazimnya memiliki satu badan, namun yang dimaksud berbadan dua
disini adalah badan seorang ibu dan seorang anak. Sehingga seolang-olah badan
sang ibu ada dua. Makna dari idiom ‘berbada dua’ ini termasuk ke dalam jenis
idiom penuh karena tidak dapat ditelusuri berdasarkan unsur pembentuknya. Baik
dari makna kata ‘berbadan’ maupun dari makna kata ‘dua’.
(5) ….Setelah menggali-gali
diri, ternyata ia hanya merasa kurang diperhatikan. Tetapi lantas salahnya,
kenapa ia sampai mengkambing hitamkan
semua orang hanya gara-gara segelas teh.” (AUS/68/Bagian Enam)
Dari kutipan kalimat di atas
tersebut kata ‘mengkambing hitamkan’ memiliki makna idiomatikal yaitu
‘menyalahkan’. Kata ‘mengkambing hitamkan’ merupakan idiom dengan sumber nama
binatang yaitu kambing. Kata ‘mengkambing hitamkan’ termasuk kepada jenis idiom
penuh karena maknanya sama sekali tidak tergambarkan dari unsur pembentuknya baik
itu kata ‘mengkambing’ atau ‘hitamkan’. Hal lain yaitu karena maknya sudah
menyatu (idiom tetap) yang tidak dapat satu persatu unsur pembentuknya
ditafsirkan.
(6) “….Gajinya tak banyak.
Bahkan tak pernah cukup untuk menghidupi keluarganya sehari-hari. Istrinya
terpaksa membating tulang cari
tambahan kemana-mana.’ (AUS/73/Bagian
Enam)
Dalam kutipan kalimat tersebut
tersemat kata ‘membanting tulang’. Kata itu memilki makna idiomatikal. Kata
‘membanting tulang memiliki makna ‘bekerja keras’. Bentuk idom dari kata
‘membanting tulang’ adalah idiom dengan bentuk tetap karena tidak tergambarkan lagi unsur-unsurnya
secara berasingan, maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan satu
persatu dengan makna pembentuknya. Kata ‘membanting tulang’ merupakan gabungan
dari dua kata yang memiliki bentuk yang tetap. Unsur katanya saling mengikat,
sehingga salah satu katanya tidak bisa diganti karena akan menimbulkan
perubahan makna bahkan tidak lagi berbentuk idiom misalnya, ‘membanting meja’.
Kata ‘membanting tulang’ ini termasuk ke dalam jenis idiom penuh, karena
maknanya sama sekali tidak tergambarkan dari unsur-unsur pembentuknya yaitu ‘membanting’
dan ‘tulang’ yang bermakna ‘berkerja keras’.
3.9 Makna
Peribahasa dan Tautan Makna
Pribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang
menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan
kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa merupakan
ungkapan yang walaupun tidak langsung namun secara tersirat menyampaikan suatu
hal yang dapat di pahami oleh pendengarnya atau pembacanya karena sama-sama
hidup dalam ruang lingkup budaya yang sama.
(1) Pertemuan itu
berlangsung dalam suasana ramah-tamah dan kekeluargaan. Bupati dan bekas bupati
dapat bertukar pikiran seperti keris
dengan selongsongnya…. (AUS/25/Bagian
Tiga)
Dari kutipan tersebut, diketahui
terdapat kata yang mengadung peribahasa dari segi maknanya. Kata ‘seperti keris
dan selongsongnya’ sangat tepat digunakan untuk dua orang atau dua belah pihak.
Dalam hal ini subjek dalam kalimat tersebut yaitu Bupati dan bekas bupati, yang
digambarkan ‘seperti keris dengan selongsongnya’, makna kata tersebut adalah
‘cocok; klop’. Peribahasa ‘keris dengan selongsongnya’, bermakna demikian
karena keris dan juga selongsong merupakan dua benda yang saling melengkapi.
Keris sebagai senjata tajam dengan bentuk yang runcing di ujungnya selalu
dilengkapi selongsong sebagai pelindung atau penutupnya. Bentuk dari kata
peribahasa ‘seperti keris dengan selongsongnya’ merupakan bentuk perumpamaan,
yaitu bentuk subjek yang dimisalkan menjadi kata benda (objek).
(2) “….Saudara misannya itu
pernah jadi musuh dalam selimut,
ketika ia masih jadi pejabat.” (AUS/45−46/Bagian
Lima)
Dari
kutipan di atas, kata ‘musuh dalam selimut’ adalah kata yang memilki makna
peribahasa ‘orang terdekat yang diam-diam berkhianat’. Maknanya masih bisa
diramalkan karena berujung pada kata atau frase selimut Dalam penjelasan kalimat
tersebut, kata ‘musuh dalam selimut’ menjelaskan keterangan subjek yang ada
yaitu ‘saudara misan’. Bentuk tindakan ‘musuh dalam selimut pada kalimat tersebut’
dilakukan pada sebuah profesi yaitu perjabat.
(3) “….Kita dibela
mati-matian dulu. Kalau tidak ada bapaknya, mana bisa kita seperti sekarang.
Kok malah kita giliran punya tugas,
malah berbuat begitu. Memancing dalam
air keruh itu namanya.” (AUS/61/Bagian
Lima)
Dari kutipan kalimat tersebut,
kalimat terakhir menggambarkan adanya makna peribahasa yang terkandung di
dalamnya. Kalimat ‘memancing dalam air keruh’ memiliki makna ‘mengambil manfaat
dari orang lain yang terkena musibah’. Hal ini sering terjadi seperti yang kuat
memanfaatkan yang lemah, atau yang kaya memanfaatkan yang miskin tak berdaya.
Bentuk peribahasa tersbut merupakan penamaan atau penyebutan dari suatu
kejadian atau peristiwa berdasarkan keadaan sebelumnya. Peribahasa ‘memancing
dalam air keruh ini merupakan bentuk perumpamaan yang maknanya bisa diramalkan.
(4) “….Lalu ia mulai curiga
kalau-kalau orang yang selama ini ada di sekitar Bupati yang sebenarnya tak
becus. Mereka menjadi pagar makan tanaman
buat Bupati.:” (AUS/85/Bagian Tujuh)
Dari kutipan tersebut ada sebuah
peribahasa yang terdapat di dalamnya yaitu kata ‘pagar makan tanaman’. Kata
tersebut memilki makna peribahasa. Arti peribahasa dari kata ‘pagar makan
tanaman’ yaitu ‘seseorang yang telah dipercaya malah merusak sesuatu yang
seharusnya ia jaga’. Makna tersebut biasanya menggambarkan sifat atau perilaku
seseorang terhadap orang lain yang dekat dengannya. Peribahasa ‘pagar makan tanaman’
ini bisa diramlkan. Verba ‘makan’ di sini menjelaskan bahwa telah terjadi ‘pengkhianatan’
yang menyebabkan rusaknya sebuah hubungan yang didasari oleh kepercayaan dan terjalin
atas kebersamaan.
3.10 Makna
kias sebagai Bentuk Oposisi Arti
Makna kias atau makna figuratif merupakan penggunaan kata atau leksem yang mempunyai makna yang
tidak sebenarnya atau oposisi arti. Penggunaan bahasa kiasan biasanya merupakan
penyimpangan dari bahasa yang digunakan sehari-hari, dari bahasa baku atau
standar. Tujuan dari penyimpangan makna itu dilakukan yaitu untuk memperoleh
efek khusus atau makna tertentu.
Penggunaan bahasa kias biasanya
menggunakan teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk secara
langsung terhadap objek yang dituju tetapi menggunakan bahasa kias yang
merupakan bagian dari penggunaan gaya bahasa.
(1) ….Waktu itu mereka baru
menyadari kehadiran Gusti Melem. Langsung keduanya membuang muka, karena malu, lalu cepat-cepat pergi. (AUS/5/bagian Satu)
Dari kutipan kalimat tersebut
seperti pada umumnya makna kiasan, terdapat oposisi arti dari sebuah makna
kata. Dalam hal ini kata ‘membuang muka merupakan salah satu contoh gabungan
kata yang memiliki arti atau makna yang dikiaskan, ‘membuang muka’ dalam arti
‘berpaling’.
(2) ….Setidaknya kehidupan
di pedesaan memang begitu. Anak-anak di desa memang tak memakai alas kaki. Orang tua pun jarang memakai
baju. (AUS/6/Bagian Satu)
Kutipan di atas memuat kata yang
memilki makna kias. Pada penyebutan kata ‘alas kaki’ ada arti atau makna yang
dikiaskan. ‘Alas kaki’ disini dalam arti ‘sesuatu yang digunakan sebagai
tumpuan kaki’. Kata sesuatu tersebut tidak begitu digambarkan jelas, bisa saja
sepatu, sandal dan lain sebagainya yang digunakan pada kaki.
(3) “….Perempuan itu
sebenarnya simpanan Bupati. Mendengar gosip itu istri Nak Sungkan langsung banting stir. Ia menutup mulutnya
rapat-rapat. Kemudian berbalik mengatakan bahwa wanita itu memang dulu ada
hubungan dengan suaminya.” (AUS/36/Bagian
Empat)
Dari kutipan tersebut terdapat kata
‘banting stir’ yang memiliki makna kias ‘berubah pikiran’. Kata ‘banting stir’
dikatakan bermakna kias sebab memiliki oposisi arti darti makna sebenarnya
yaitu ‘berubah arah malalui kemudi kendaraan’. Kata ‘banting stir’ mengacu pada
penggambaran suatu tindakan seseorang.
3.11 Bentuk
Makna Lokusi dalam Kajian Tindak Tutur
Makna lokusi adalah makna harfiah atau makna secara
struktur tanpa diembeli pemahaman subjektif dari sudut penutur atau pendengar,
makna ini terkesan apa adanya seperti yang diujarkan. Sedangkan tindak tutur
lokusi adalah tindak tutur yang biasanya menyatakan sesuatu, dalam arti berkata
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
(1) ….Semua yang mendengar
kemudian hanya menggeleng-geleng. Mereka mulai sadar pensiunan itu tak akan
sembuh kalau Bupati Tabanan belum menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil
manggut-manggut. (AUS/20/Bagian Dua).
Dari
kutipan di atas tersebut, makna lokusi
dinyatakan dalam kata ‘ini politik’ yang memilki arti atau makna ’seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan’. Kata ‘ini politik’ disini bermaksud untuk menamakan
tindakan atau perbuatan seseorang. Makna ini cukup mudah dipahami oleh penutur atau
pendengar, karena tidak terjadi proses menciptakan makna kata baru yang hanya dipahami
penutur. Dengan memahami berbagai makna harifah kata, maka akan lebih mempermudah
pendengar.
3.12 Bentuk
Makna Ilokusi dalam Kajian Tindak Tutur
Makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh
pendengar. Dalam proses penangkapan kata baik itu ujaran (lisan) maupun dalam
bentuk tulisan yang dilalui adalah tahap “meyakinkan”. Seperti pada konsep
ilokusi yang dikemukakan oleh Leech (1993) yang mengatakan ilokusi adalah dalam
mengatakan X, n menyakinkan t bahwa P. Sedangkan tindak tutur ilokusi adalah
tindak tutur yang biasanya dengan kalimat performatif yang eksplisit.
….Semua yang
mendengar kemudian hanya menggeleng-geleng. Mereka mulai sadar pensiunan itu
tak akan sembuh kalau Bupati Tabanan belum menjenguknya.
“Ini politik,” bisik mereka sambil
manggut-manggut. (AUS/20/Bagian Dua).
Dari kutipan tersebut makna ilokusi yang dapat
dimengerti dari kata‘politik’ yaitu kalau pensiunan itu tidak dijenguk Bupati
Tabanan ia tidak akan sembuh itulah yang disebut perbuatan atau pemikiran
‘politik’
3.13 Bentuk
Makna Perlokusi dalam Kajian Tindak Tutur
Perlokusi adalah makna yang seperti yang diinginkan
oleh penutur. Tindak tutur dalam perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan
dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non
linguistik dari orang lain itu.
(1) “Hidup ini seperti teka-teki Pak Bupati” kata Nak Sungkan suatu ketika
Pak
Bupati mengangguk-anggukkan kepala minta penjelasan.
“Ya
seperti teka-teki silang,” lanjut Nak Sungkan. (AUS/52/Bagian Lima)
Dari penjelasan tuturan dalam kutipan
tersebut, diketahui sebuah kalimat berupa pernyataan yang bisa diartikan dalam
makna perlokusi. Kalimat tersebut adalah “hidup ini seperti teka-teki” yang
bermakna perlokusi “hidup itu susah ditebak”. Penggunaan kalimat ini disesuaikan
dengan makna yang ingin disampaikan oleh seorang penutur terhadap lawan tuturnya.
Kata atau kalimat yang bermakna perlokusi biasanya cukup aneh terdengar pada proses
percakapan antara dua subjek karena membutuhkan pemahaman antara dua belah pihak,
namun karena penggunaannya sudah sering dilakukan untuk mempersingkat penggunaan
bahasa dengan lebih memperdalam maknanya.
BAB
V
PENUTUP
3.14 Kesimpulan
Di
dalam bahasa Indonesia, makna kata sangat penting dipelajari. Pengetahuan
tentang makna kata dapat mempengaruhi pemahaman terhadap kalimat. Dalam makna
kata, dipelajari pengertian makna kata, jenis makna kata, dan perubahan makna
kata. Adapun jenis-jenis makna yang kita ketahui dalam semantik yaitu, makna
leksikal, makna gramatikal, makna referensial dan nonreferensial, makna
denotatif dan konotatif, makna kata dan istilah, makna konseptual dan
asosiatif, makna idiomatikal dan peribahasa, makna kias, serta makna lokusi,
ilokusi dan perlokusi. Namun dalam penelitian di atas materi pembahasannya
hanya meliputi makna konseptual dan asosiatif, makna idiomatikal dan
peribahasa, makna kias, serta makna lokusi, ilokusi dan perlokusi dengan
pengambilan objek atau sumber data yaitu novel berjudul AUS karya Putu Wijaya.
Makna kata dari jenis-jenis makna tersebut dianalisis, dipaparkan satu persatu
bersamaan dengan contoh yang ada. Hasil yang diperoleh dari proses analisis
dapat disimpulkan bahwa penggunaan jenis makna dalam bahasa Indonesia dapat
kita temui dalam bentuk kata, frase maupun kalimat.
Di dalam novel AUS banyak ditemukan jenis-jenis makna.
Dari banyak makna yang ditemukan melalui proses analisis, akhirnya diperoleh
jenis-jenis makna yang ada dalam novel AUS yang ditemukan yaitu pada makna yang
sesuai dengan isi materi sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai hasil
dari pembahasan.
3.15 Saran
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ilmu tentang
semantik khusunya yang berkaitan tentang jenis makna dalam semantik sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu saya sarankan kepada para
pembaca untuk terus mempelajari ilmu semantik termasuk jenis-jenis makna karena
sebuah pemahaman terhadap bacaan yang kita baca akan dimulai dari seberapa kita
paham maksud dari kata, frase, maupun kalimat yang mengandung makna. selain
itu mempelajari banyak hal dari semantik akan memberi banyak manfaat khususnya
dalam bidang pembelajaran bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Parera, Josh Daniel. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga
http//dewanadimaulanaa.blogspot.co.id/2014/03/normal-o-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1
https://bagawanabiyasa.wordpress.com/2016/01/03/kajian-etnolingusitik-peribahasa-dan-ungkapan-bahasa-cirebon/
https://pusat/bahasaalazhar.wordpress.com
digilib.ac.id
Komentar
Posting Komentar