ART PHILOSOPHY
FILSAFAT SENI
1.
Pengertian singkat seni
Seni adalah sebuah media yang biasa digunakan manusia untuk mengekspresikan
sesuatu. Di dalam penggunaannya seni sedikit banyak menggunakan perasaan,
yang akan berpengaruh terhadap suatu pencapaian atau hasil karya seseorang
. Dalam seni pula , perasaan harus dikuasi terlebih dahulu, diatur dan
dikelola sedemikian rupa untuk selanjutnya direpresentasikan menjadi
sesuatu. Representasi seni adalah upaya mengungkapkan kebenaran atau
kenyataan semesta sebagaimana ditemukan oleh senimannya yang kemudian tuangkan dalam sebuah karya.
Kemunculan seni di dunia barat pada zaman Yunani kuno diwarnai oleh adanya dua kubu yang memiliki cara pandang berbeda dalam hal melihat alam semesta. Cara pandang pertama, yaitu empiris yang dipelopori oleh filsafat
Aristoteles dan yang kedua yaitu cara pandang idealis yang dipelopori oleh
Plato. Dua cara pandang ini terus tumbuh dan berkembang secara bersamaaan secara dialektis sepanjang sejarah estetika di dunia Barat.
2. Ada beberapa aspek penting yang melebur dalam lingkup seni sebagai
suatu wilayah yang bebas.
Memahami kreativitas dalam berkarya seni dan mengenal tradisi yang
semakin hilang menjadi tugas kita sebagai generasi muda untuk mulai
memelihara kesadaran berkesenian sebagai bangsa yang berbudaya. Hal ini
pula yang harus dijadikan refleksi, sebenarnya tujuan kita sebagai bangsa
yang memiliki adat ketimuran untuk mulai mengkaji ulang tujuan seni
berdasarkan paham atau kepercayaan yang kita anut. Dalam pandangan kaum
“sosial” dan “pecinta estetik”. Seni mempunyai nilai-nilai yang sangat
esensial. Nilai-nilai ini menggapai ukuran universal yang relatif dapat
dikatakan absolut.
Selanjutnya adalah teknik seni, yang merupakan ciri suatu profesi. Teknik
ini yang digunakan dalam seni sebagai identitas, diklasifikasikan menjadi
beberapa cabang dan berkembang menjadi spesialisasi teknik. Mengenal
seluk-beluk teknik seni dan menguasai teknik tersebut amat mendukung
kemungkinan seorang seniman menuangkan seninya secara tepat seperti yang
dirasakan. Ini karena bentuk seni ang dihasilkan juga menentukan kandungan
isi gagasannya.
Dalam persoalan, apakah karya seni seorang seniman itu harus dinilai dari
moralitas senimannya? Apakah karya seni yang dikagumi itu menjadi berkurang
nilainya ketika orang tahu bahwa kehidupan moral sang seniman itu payah?
Atau sebaliknya, sebuah karya seni yang kurang bermutu menjadi bermutu
ketika mengetahui senimannya memiliki integritas yang tinggi dan moral yang
hebat. Dalam hal ini tidaklah relevan untuk menghubung-hubungkan sifat
seorang seniman dengan karya seni yang dihasilkan, dengan mengatakan bahwa
karya seninya itu tidak ada nilainya maka kita hanya melihat seniman ketika
melihat karyanya, sebenarnya kita itu melihat betul-betul melihat sebuah
karya seni dengan begitu kita gagal menilai seni secara objektif, kita
membutakan diri pada seni yang benar-benar ada. Begitu pula seniman yang
hidupnya suci dan shaleh tidak akan bisa mendongkrak mutu hasil karya
seninya sebab seni memiliki nilainya sendiri, dan nilai itu tidak bisa
didapat dengan melihat siapa senimannya. Dalam kesenian, setiap petualangan
cepat atau lambat akan ketahuan. Modal seniman yang utama adalah
keotentikan dan kekhasan baik seniman besar ataupun kecil.
SENI SEBAGAI BENDA
Dalam sejarah estetika Eropa telah lama dikenal pembedaan tentang apa yang
disebut seni. Sejak zaman Yunani dan Romawi orang telah membedakan seni
kasar dan seni halus (Liberal Arts). Seni kasar atau Vulgar Arts adalah
karya sei kaum buruh, tukang, dan budak, sedangkan seni halus milik warga
negara yang merdeka. Seiring perkembangannya dua kubu seni yang berbeda
tersebut memiliki cabang-cabang. Pengaruh penggolongan semacam ini masih
kental di Indonesia. Golongan feodal alias bangsawan menguasai kehidupan
masyarakat, maka seni hanya dapat dihargai oleh kaum feodal dan nilainya
ditentukan oleh ideologi sosial yang tengah berkuasa atau berpengaruh.
Seni bukanlah benda, melainkan nilai yang dapat dilihat oleh penikmat seni
yang terkandung dalam benda tersebut. Nilai itu sifatnya abstrak, hanya ada
dalam jiwa perorangan. Nilai itulah yang akhirnya berkembang menjadi sebuah
kebenaran (realitas) yang normatif sesuai dengan masyarakatnya. Benda seni
dapat dilihat secara visual, audio namun tak dapat dicium, inilah
kegunaannya dalam mengawetkan perwujudan bentuk nilai. Setiap bahan seni
memiliki aspek mediumnya sendiri. Dalam seni sastra bahannya memang bahasa
yang berpokok pada kata. Jadi, bahan seni hanya sekedar alat atau instrumen
seniman untuk mewujudkan gagasan seninya agar dapat diindera oleh orang
lain.
Sebuah benda harus memiliki wujud agar dapat diterima secara indrawi oleh
orang lain. Karena dalam proses itu makna atau nilai dari suatu karya seni
akan muncul. Nilai yang biasa ditemukan dalam karya seni ada dua yaitu,
nilai bentuk (inderawi) dan nilai isi (di balik inderawi). Dalam mewujudkan
benda seninya, seorang seniman memang akan menampakkan sisi yang
diinginkannya sesuai dengan ciri-ciri kepribadiannya yang khas, yakni
berapa besar asli dan bakatnya, seberapa jauh keterampilan penggunaan
teknik seninya, dan bagaimana ia memperlakukan unsur-unsur bentuk seni tadi
dalam caranya yang unik dan asli. Dilihat dari sudut pandang senimannya,
benda seni bermula dari 'isi' budi seniman dalam menanggapi lingkungannya.
Tanggapan atau respon inilah yang kemudian diwujudkan dalam suatu “bentuk”.
Seniman memang selalu memiliki tujuan dan hak sendiri dalam melahirkan
karya seninya, tetapi nilai yang ditangkap orang lain dari karya itu tidak
selalu sama.
Seni dibedakan antara bentuk perwujudan seninya dan isi jiwa yang ingin
diwujudkan. Perbedaan ini akhirnya melahirkan dua sikap dalam penghayatan
seni. Sikap atau kaum pertama yang terlalu mementingkan isi disebut
(philistin) sedangkan yang terlalu mementingkan bentuk disebut (formalis).
Kaum pemuja bentuk bersifat transendental dalam misi keseniannya, sementara
kaum pemuja isi terlalu sibuk dengan urusan imanen dunia indonesia.
Menghadapi perdebatan abadi antara kaum pemuja bentuk dan pemuja isi ini,
kita bisa saja memihak pada salah satu kubu atau berada di tengah dengan
bersikap netral di tengah-tengah kubu kebenaran mereka masing-masing. Pada
kenyataannya benda seni atau karya seni itu terlebih dahulu harus memenuhi
persyaratan bentuk seni. Sebuah karya seni yang besar tentu memenuhi bentuk
maupun isi.
Seni yang bermutu adalah seni yang mampu memberikan pengalaman estetik,
pengalaman emosi dan pengalaman yang khas bagi dirinya. Clive Bell
memaknakan kualitas seni yang demikian itu sebagai “significant form” atau
bentuk bermakna. Tidak semua karya seni, bahkan yang kita anggap besar
sekalipun, memiliki kualitas bentuk bermakna tadi. Karya seni harus selalu
bersifat sensoris, yakni terindera oleh mata dan telinga manusia. Dari
penginderaan tadi dapat merangsang emosi tertentu dalam penerima seni, maka
terjadilah apa yang disebut pengalaman seni. Seni musik misalnya, agak
mudah ( relatif ) untuk mencapai bentuk bermakna. Sebuah seni yang baik,
adalah seni yang mampu memberikan pengalaman emosi ataupun kognisi. Emosi
dan kognisi seni adalah sesuatu yang kita kenal tetapi sekaligus tidak kita
kenal sebelumnya.
Persoalan yang sudah menjadi perdebatan antara pemikir seni dan para
seniman sejak zaman Yunani Purba adalah timbulnya pertanyaan: Apakah seni
menghadirkan kenyataan seperti apa adanya kenyataan itu (fisikal,
spiritual, mental dan sosial) atau mengahdirkan sesuatu yang ada di balik
kenyataan itu? Dua kubu itu berawal dari Plato dan Aristoteles. Plato
dengan filsafat ide yang menganggap bahwa seniman itu meniru kenyataan
tiruan. Seorang pelukis yang melukis meja sebenarnya meniru (mimesis) meja
tiruan (kenyataan) dari ide meja yang ada di dunia keabadian
mutlak-universal. Aristoteles juga menganggap seni itu tiruan alam tetapi
meniru disini bukan seperti pantulan gambar di cermin, tetapi melibatkan
renungan (pikiran) dan meditasi yang kompleks atas kenyataannya.
SENI SEBAGAI NILAI
Seni memang menyangkut nilai, dan yang disebut seni memang nilai, bukan
bendanya. Nilai adalah sesuatu yang selalu bersifat subjektif, tergantung
pada manusia yang menilanya. Oleh karena bersifat subjektiflah, maka setiap
daerah memiliki nilai-nilainya sendiri yang disebut seni. Pada dasarnya
setiap seni dan konteks manapun memiliki nilai yang tetap. Setiap artefak
seni mengandung aspek nilai intrinsik-artistik, yaitu berupa bentuk-bentuk
yang menarik dan indah, hal ini berkaitan dengan seni sebagai ekspresi.
Selanjutnya nilai kognitif atau pengetahuan seperti pada relief Budha yang
menggambarkan keadaan pertapaan pada zamannya. Nilai yang terakhir adalah
nilai hidup di luar nilai artistik dan kognitif. Makna seni muncul karena
adanya ketiga nilai tersebut yang menjadi satu kesatuan. Pandangan lain
mengenai nilai-nilai selain tiga diatas yakni melalui sebuah nilai akan
tersampaikan pesan dan maknanya pada orang yang benar-benar mengerti karya
tersebut. Seni bisa bermacam ragam, tergantung pada gambaran atau konsep
seseorang mengenai seni yang diperoleh lewat pengalaman dan pengetahuannya.
Nilai juga dapat diartikan esensi pokok yang mendasar, yang akhirnya dapat
menjadi dasar-dasar normatif. Ini diperoleh dari pemikiran murni secara
spekulatif atau lewat pendidikan nilai. Nilai sebagai esensi ini, dalam
seni dapat masuk ke dalam aspek intrinsik seni, yaitu struktur bentuk seni.
Tetapi juga dapat masuk dalam aspek ekstrinsiknya berupa nilai dasar
agaman, moral, sosial, psikologi dan politik. Banyak nilai yang terkandung
dalam sebuah karya seni yang tertuang lewat aspek intrinsik maupun
ekstrinsik melalui penelusuran makna nilai.
Seni adalah kosmos. Pengalaman seni selalu berhubungan dengan segala
tindak-tanduk seseorang di dunia sehingga manusia dapat menuangkan ekspresi
diri dalam sebuah wadah yang disebut seni. Pengalaman hidup sehari-hari itu
tidak bercampur, silih berganti, tumpang tindih tak teratur, mengalir
seiring dengan waktu. Selama kita hidup dengan realitas, kita akan hanyut
dalam suatu pengalaman yang campur aduk tadi. Pengalaman di rumah, jalan
dan berbagai tempat. Ada yang menjengkelkan , menyenangkan, mengharukan,
menimbulkan stres. Inilah yang disebut suatu keadaan yang chaos
(kacau, tak teratur, tanpa bentuk). Keseimbangan dalam hidup akan terjadi
jika manusia mampu mengendalikan chaos pengalaman seni menjadi
kosmos yang utuh dan sempurna.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah seni itu pada dasarnya universal?
Pertanyaan seperti ini tentu mengandung jawaban yang mungkin selalu kita
dengar tentang seni bahwa seni itu mengandung nilai-nilai universal yang
berlaku untuk semua tempat dan zaman. Dalam hal ini tentu hanya berlaku
untuk karya seni yang memang bermutu. Nilai universal dalam seni bermutu
mengakibatkan karya seni itu tak putus-putusnya diberi makna sesuai dengan
persoalan nilai kontekstual. Apapun permasalahan konteks yang terdapat dalam seni, namun yang menjadi
prioritas utama adalah bukan persoalan yang menyangkut permasalahan
kontekstual yang terdapat dalam suatu karya seni, melainkan seni itu
sendiri. Namun kembali lagi kita akan disodori pertanyaan klise yang selalu
menjadi perdebatan dalam berbagai teori estetika dan filsafat seni yaitu:
Apakah yang disebut karya seni itu mesti indah? Dan apakah yang indah itu
merupakan seni? Maka jika kita ambil dan sederhanakan menjadi dua komponen,
yakni seni dan keindahan. Keduanya saling berkaitan atau saling menunggangi
dalam arti denotatif maupun konotatif. Setiap karya seni mengandung
keindahan. Dan keindahan tidak harus selalu senada dengan keindahan secara
kasat mata saja. Maka makna yang terkandung yang berhubungan dengan makna
ekstrinsik maupun intrinsiklah yang sebenarnya menimbulkan pernyataan atau
konotasi yang berbeda dalam seni itu sendiri.
SENI SEBAGAI PENGALAMAN
Telah disinggung sebelumnya bahwa seni sangat berhubungan dengan
pengalaman. Manusia hidup berinteraksi dengan alam lingkungannya, termasuk
dengan benda seni buatan manusia itu sendiri. Dengan pengalaman yang
melibatkan emosi, indera dan lingkungannya. Pengalaman juga selalu
melahirkan sesuatu yang tak biasa dan tak terlupakan. Dalam ilmu seni,
pengalaman dengan benda seni dinamai pengalaman seni atau pengalaman
estetik atau respons estetik. Istilah ini biasanya dibicarakan dalam
hubungannya dengan penikmat seni. Pengalaman seni adalah pengalaman yang
dialami oleh penikmat seni atau penanggap seni. Seperti pengalaman
sehari-hari, maka pengalaman seni juga merupakan suatu pengalaman utuh yang
melibatkan perasaan, pikiran, penderitaan, dan berbagai intuisi manusia.
Hanya saja pengalaman seni berlangsung dalam kualitas pengalaman tertentu
yang kadang-kadang tidak sama dengan pengalaman sehari-hari.
Selain pengalaman seni, ada juga pengalaman artistik yang berangkat dari
pengalaman estetik yang dilakukan sebagai dasar penciptaan karya seni.
Pengalaman estetik menjadi dasar sebuah seni yang bersifat pasif, sementara
itu dilanjutkan dengan sebuah proses yang berhubungan dengan kegiatan
produksi seni atau penciptaan seni. Dengan kata lain, sebuah proses
pengkaryaan seni terlebih dahulu memerlukan sebuah pengalaman seni yang
membantu seorang seniman memproduksi sesuatu, melalui pengalaman
berapresiasi terlebih dahulu. Pengalaman artistik menunjukkan bahwa kerja
penciptaan seni adalah kerja keras kreativitas yang bukan main-main dan
selalu melibatkan pengalaman terakhir yang seorang seseorang dapat.
Seni yang 'murni' hanya menawarkan aspek intrinsik tanpa kepentingan yang
bersifat pragmatis. Karena seni bukan budak lembaga keilmuan, filsafat
ataupun agama. Seni secara otonom adalah aspek intrinsik soalnya, bentuk,
unsur, dan struktur atau cara penyusunan unsur-unsur seni. Dalam bidang
seni apapun, baik itu seni rupa, seni musik, atau seni tari selalu ada dua
aspek utama yang berhubungan langsung dengan wujud kebendaan (artinya
terindera) yakni aspek intrinsik dan ekstrinsik. Aspek intrinsik selalu
berhubungan dengan kebendaan yang bersifat material yang membentuk karya
seni tersebut, seperti bunyi dan suara dalam seni musik, cat lukis dan
bidang gambar dalam seni rupa, gerakan dalam seni tari, dan bahasa yang
membentuk gambaran pada seni sastra. Selanjutnya penggunaan material tadi
dilandasi oleh niat ekstrinsiknya, yakni gagasan, pikiran, dan perasaan
seniman. Jadi tak memisahkan aspek intrinsik dan ekstrinsiknya.
Seni merupakan 'kebebasan', artinya tidak boleh ada suatu pendektean
terhadap penikmatnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertunjukkan atau
pementasan, sutradara berusaha mewujudkan apa yang dia rasakan dan
pikirkan. Perkara artinya seperti apa, itu terserah pada penonton saja.
Sutradara seperti ini bisa dikatakan seniman sejati, artinya dalam hal ini
penonton boleh saja berpendapat tentang arti seni mengenai hasil karya
seniman tadi, asal semua itu bertolak dari fakta karya seni itu sendiri.
Sebuah karya seni yang baik memang bukan ilmu pengetahuan yang harus jelas
batas dan isi pengertiannya. Sebuah karya seni disebut 'seni' apabila ia
berhasil memberikan rangsangan dan daya hidup atau daya cipta bagi
penerimanya. Seni adalah dinamika dalam suatu keutuhan pengalaman. Sesuatu
yang indahlah yang menggerakkan jiwa manusia. Dan gerak jiwa itu berenang
dalam kebiasaannya sendiri dalam suasana permainan yang tanpa beban. Tugas
seniman adalah menciptakan karya seni. Karya seni itu lahir dari pengalaman
artistiknya. Dan tugas penerima seni adalah menghayati karya itu lewat
penginderaannya yang langsung menggerakkan syaraf perasaan dan
pemikirannya.
Pada akhirnya, sebuah proses penciptan seni akan dikembalikan kepada
seorang penikmat atau penerima seni. Banyak berbagai seniman yang mewarnai
dunia kesenian di Indonesia yang tidak mungkin secara holistik menjadi
selera penikmat seni. Bagi penikmat musik pop tentu akan menilai musik jazz
adalah musik yang membosankan, atau tidak berarti, begitupun sebaliknya.
Artinya, tidak semua orang menyukai semua karya seni yang dinilai bagus.
Masalah bukan terletak pada pemahaman aliran seninya, tetapi justru pada
selera seni yang sebenarnya. Selera ini lebih menjurus kepada tempramen
seseorang, yang terkadang timbul kesan 'fanatik'. Selera tak dapat
diperdebatkan, karena masing-masing kita, baik seniman maupun penanggap
seni memang memiliki selera yang berbeda-beda. Jadi, sebenarnya seseorang
yang berselera baik bukanlah mereka yang menyukai produk mutakhir dari
produk seni Barat yang mereka anggap mewakili apresiasi seni yang tinggi,
karena yang terjadi pada mereka yang sebenarnya adalah kecerdasan yang
mengakibatkan tingginya pertimbanagan rasionalitas mereka dalam seni. Kalau
hanya perbedaan cara pandang seni, seharusnya merekajuga dapat mengambil
nilai pengalaman seni dari cara pandang seni yang lain yang pernah ada,
karena pemahaman seperti itulah yang sebenarnya baik.
Setiap manusia memiliki kepentingan pribadi yang berbeda-beda yang
disebabkan oleh kebutuhan hidup dan pemaknaan hidup yang berbeda-beda. Hal
inilah yang sangat berpengaruh terhadap kepentingan pribadi (interest)
seseorang dalam memaknai dan menghayati sebuah karya seni yang sama. Dalam
satu karya yang sama setiap orang atau penerima seni ada yang menaruh
perhatian pada gejala sosial, ada yang tertarik pada masalah kejiwaan
individu, ada yang amat religius, ada juga yang hanya tertarik pada
soal-soal ekonomi. Akan ada banyak sudut pandang yang menggambarkan sebuah
karya terhadap penikmatnya sendiri.
PUBLIK SENI
Berbicara mengenai konteks seni memang terlalu luas, akan ada banyak aspek
yang terkandung di dalamnya, termasuk sosio-budaya. Sosio-budaya memang
sesuatu yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat, baik penikmat maupun
seniman itu sendiri. Akan ada banyak nilai-nilai yang tentu saja berbeda
masing-masing daerah, sesuai dengan nilai-nilai seni yang tumbuh dari para
leluhurnya. Namun komunikasi seni akan terjadi secara alami, seiring dengan
berjalannya waktu dan proses pendewasaan dalam memahami seni tersebut.
Dalam perkembangannya, kondisi sosio-budaya dan nilai seni dapat berubah.
Terdapat 3 unsur utama dalam proses legitimasi sebuah benda untuk dapat
disebut karya seni, yakni seniman, benda seni, dan publik seni. Kondisi
sosio-budaya kita memerlukan sebuah sistem. Sistem yang mengatur seluruh
aspek kebudayaan yang akhir-akhir ini mulai hilang oleh arus modernisasi.
Kesimpulannya, hanya melaui pendidikanlah seni dapat ditanamkan. Pendidikan
yang sama akan melancarkan komunikasi seni. Berangkat dari situ orang baru
bisa berbicara tentang 'seni modern Indonesia'.
Kesenian bagi kaum terpelajar Indonesia pada umumnya masih menduduki fungsi
penghibur dan bukan bagian dari suatu arus pemikiran bangsanya. Sikap ini
tercermin dari penggunaan seni sebagai media pelepas kepenatan sehari-hari
atau mata pelajaran 'selewatan' saja. Dalam dunia pendidikan formal saja,
pelajaran seni hanya memiliki satu atau dua jam pelajaran saja dalam satu
minggu, sedangkan bila melihat target kurikulum yang ingin dicapai,
standarnya terlalu tinggi untuk masing-masing produk (SD, SMP, SMA).
Pengertian bahwa seni hanya sebagai pelengkap dan buka dijadika sebagai
arus pemikiran inilah yang sangat bertentangan dengan ideologi
negara-negara maju, yang menjunjung tinggi akan pentingnya niali seni
sebagai pembentuk kepribadian bangsa.
Melihat perkembangan seni yang terjadi di Indonesia, seakan-akan melihat
kebudayaan orang yang sukses besar di negara orang. Hal ini karena
kurangnya pertahanan kita dalam memaksimalkan budaya yang ada untuk
dijadikan sebagai aset bangsa terbesar yang wajib dilestarikan. Sehingga
tidak akan ada persoalan perebutan hak dimasa depan. Persoalan tradisi seni
bangsa yang lemah paling nyata tercermin salah satunya dari tradisi seni
elit kita yang memilki kedudukan sosial-polotik yang tinggi dan
berpengaruh, yang akhirnya ideologi hidup mereka mendominasi kehidupan
bangsanya. Sejarah seni Barat adalah sejarah seni elit ini. Yang bukan seni
elit dianggap bukan seni. Di luar seni elit ini berkembang pula seni
akademis, seni populer, seni tradisional kerakyatan (etnik) maupun klasik,
dan seni massa (radio, televisi, film). Masing-masing memiliki ideologi,
maka sikap terbaik adalah memahami dasar pijakan dan estetiknya sendiri.
Dalam setiap kasus perdebatan mengenai seni selalu ada wacana. Wacana
inilah yang akhirnya cenderung menimbulkan berbagai ideologi yang mendasari
setiap hasil karya seni. Namun, masalahnya adalah kita tidak sepintar
negara-negara yang terjadi. Muncul kaum-kaum yang memandang seni secara
objektif dan subjektif. Pada akhirnya terjadi pembiasan pemaknaan seni yang
sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita mampu menempatkan diri terhadap
setiap konteks permasalahan yang ada.
Masalah pendidikan memang akar masalah segala persoalan yang ada di bangsa
ini, termasuk dalam pendidikan seni. Maka jika kita menyoroti lebih jauh ke
dalam dapur dunia seni kita, maka akan terlihat perbedaan yang sangat
krusial antara seniman dan masyarakat. Perangkat pengetahuan yang tersedia
selama ini tidak cukup memadai untuk dikomsumsi oleh kaum awam, sehingga
tidak terjadi sebuah komunkiasi seni yang baik. Sedang jika dikaitkan
dengan pengalaman seni yang melibatkan penginderaan yang diikuti oleh
tanggapan dari semua aspek kejiwaan seseorang, seperti layaknya dalam
pengalaman hidup sehari-hari.
Dalam pengalaman seni ini sering si penanggap
dapat mereduksi nilai-nilai seni yang terkandung dalam suatu karya, atau
sebaliknya. Pereduksian atau pemiskinan nilai-nilai seni, atau bahkan
terjadinya hambatan dalam proses pembentukan pengalaman seni menyebabkan
kita dapat berbicara tentang kesalah pahaman seni.
Di Indonesia masih sedikit sekali peran seorang tokoh yang secara khusus
'mengkritik'seni. Banyak yang menulis maalah kritik seni, tetapi sedikit
yang diakui sebagai kritikus seni. Pada akhirnya semua akan kembali kepada
masalah peran. Seniman dan kritikus tidak dapat dibentuk, dilatih, dan
dididik agar diakui statusnya sebagai kritikus. Namun peranlah yang utama,
yaitu peran yang menghasilkan karya-karya seni dan karya-karya kritik yang
berkualitas, seperti kualitas yang diharapkan oleh masyarakatnya.
KONTEKS SENI
Manusia sebagai makhluk sosial dalam masyarakat tidak terlepas dari suatu
nilai. Sebut saja salah satu sistem nilai dasar materi yang mendominasi
nilai-nilai dalam suatu kebudayaan dalam masyarakat. Dalam kehidupan
bermasyarakat, materi sangat penting dalam kehidupan. Karena materi menjadi
tolak ukur utama yang harus dicapai untuk mempertahankan hidup. Sehingga
nilai seni masyarakat dalam konteks materipun akan mengacu kepada nilai
dasar ini. Contoh lain, dalam masyarakat terpelajar yang nilai dasarnya
adalah pengetahuan dan nilai hidup yang mengarah kepada kesempurnaan hidup,
nilai seni juga berlandaskan asas itu. sekarang saja sudah terjadi banyak
pengklasifikasian mengenai nilai-nilai dasar seni tersebut dikaitkan dengan
strata sosial. Dari mulai strata terendah sampai tertinggi mempunyai
standarisasi tertentu yang dogmatis terhadap komunitasnya.
Setiap karya seni, sedikit banyak mencerminkan setting masyarakat tempat
seni itu diciptakan. Secara tidak langsung, seorang seniman yang hidup
dalam suatu masyarakat tertentu akan dididik oleh keadaan atau iklim seni
di daerah tersebut. Seniman memahami dan menguasai nilai seni dan
nilai-nilai lain dalam masyarakat. Pendidikan seni yang didapat langsung
dari masyarakat itulah yang mempengaruhi proses penciptaan karya seninya.
Sebelum menjadi seorang seniman, seniman adalah bagian dari masyarakat.
Melalui proses alamiah tadi seorang masyarakat belajar dan mengembangkan
kemampuan berkeseniannya sehingga kemampuannya diketahui, dihargai, dan
pada akhirnya mendapat pengakuan dari masyarakat. Dalam konteks lain, seni
dapat membentuk manusia dan masyarakat dengan cara yang berbeda, yakni
dengan cara yang berbeda, yakni cara ilmu dan teknologi. Ilmu yang membuat
manusia berfikir lebih baik dan belajar untuk menemukan sesuatu dan
mewujudkannya menjadi sebuah karya atau benda seni yang bernilai.
Dalam kehidupan bermasyrakat, seni selalu dikaitkan dengan masalah moral.
Ada pandangan bahwa seni harus bersendi kepada moral, sementara pandangan
lain berpendapat bahwa seni dan moral adalah dua tugas yang berbeda,
sehingga seni tak ahrus dinilai berdasarkan asas moral. Seni mengabdi
kepada keindahan, sedangkan moral pada kebaikan. Seni yang sejati sudah
barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab
keindahan adalah kebaikan dan kebenaran.
Komentar
Posting Komentar